Setelah hari Senin mereka bertiga bertemu di hadapan notaris, Niken menjalani hari-harinya dengan biasa. Mengurusi rumah, anak-anak dan suaminya. Sesekali memang Heri menghilang cukup lama meski malamnya kembali ke rumah. Setidaknya Niken tahu, kemana suaminya pergi.
Dan entah kenapa, hatinya sudah tidak terlalu sakit saat menyadarinya. Mungkin sebagian hatinya sudah bisa menerima kenyataan, bahwa laki-laki yang dia cintai itu bisa membagi hati sampai berkeping-keping.
Ketika Heri datang pun, dia lebih suka mengabaikan bahwa suaminya itu punya perempuan lain yang bisa dia peluk selain dirinya. Berusaha seriang mungkin, terutama ketika mereka sedang dihadapan anak-anaknya.
Tetapi pagi ini, dia lagi-lagi harus berhadapan dengan masalah yang sama seperti kemarin. Masalah yang ingin dia hindari sampai batas waktu yang tidak perlu ditentukan. Tetapi ternyata tidak mudah. Mungkin selama dia masih menikah dengan Heri, selama itu pula dia harus berhadapan dengan yang namanya masalah ini. Masalah hubungan Heri dan Iva.
Baru saja dia menata meja untuk sarapan, dimana dua anak gadisnya sedang berkutat dengan seragam mereka dan Heri masih mandi, telepon rumah berbunyi. Hanya orang yang tidak terlalu dekat atau mertuanya saja yang menghubungi mereka melalui telepon rumah.
"Nik, kamu bisa ke rumah setelah antar anak-anak?" tanya ibu mertuanya tanpa basa-basi.
Niken mengerenyitkan dahinya. Tidak biasanya ibu mertuanya tidak ramah kepadanya seperti ini.
"Bisa, Bu. Ada apa ya?" Niken menjawab sekaligus balik bertanya.
"Heri di rumah? Suruh dia sekalian datang juga," sahut ibu mertuanya tanpa menghiraukan pertanyaan dari Niken barusan.
Nah lho, Heri ada di rumah? Niken mulai merasakan ada yang tidak beres mengenai telepon pagi ibu mertuanya ini.
"Mana Heri? Ibu mau ngomong," berkata lagi ibu mertuanya itu.
"Oh ya sebentar, Bu," jawab Niken, meletakkan gagang telepon di meja kemudian berjalan ke kamar mencari Heri. Semestinya dia sudah selesai mandi.
"Yah, Eyang Putri telepon," beritahu Niken begitu mendapati Heri masih di kamar sedang merapikan kemejanya.
Begitu melihat suaminya mengangguk, dia langsung ke kamar May dan Nay.
"Kak, Adik! Sudah siap? Ayo sarapan!" perintah Niken kepada anak-anaknya. Kedua putrinya langsung saling berkejaran, berlari menuju ke meja makan. Sedang Heri sudah menghadapi telepon paginya.
"Iya Bu, saya akan ke sana setelah sarapan," hanya kalimat itu yang berhasil ditangkap oleh Niken dari percakapan telepon Heri dan ibunya. Walaupun dia sedang KEPO akut, tetapi enggan rasanya bertanya langsung kepada Heri.
"Aku duluan ke rumah ibu dan bapak, Bunda nyusul ya setelah antar anak-anak," kata Heri memberi instruksi kepada Niken yang hanya dibalas anggukan oleh perempuan berlesung pipit yang mulai samar terlihat karena timbunan lemak di pipi itu.
"Ke rumah Eyang? Kog kita nggak diajak?" protes May, Nay yang masih penuh mulutnya dengan nasi goreng, hanya mengangguk-angguk mendukung pertanyaan kakaknya itu.
"Hari Minggu deh kita ke Eyang rame-rame, ya," jawab Heri tersenyum melihat antusiasme anak-anaknya.
Kedua dara cantik itu berteriak penuh kegirangan. Dan suasana pagi ini agak cair dengan celoteh dan tawa riang May dan Nay.
Sayangnya keadaan di meja makan tadi, berbanding terbalik dengan keadaan di ruang tamu mertua Niken, Bapak dan Ibu Pranoto.
Setelah mengantarkan anak-anak sekolah, Niken langsung melesat menembus jalanan Semarang untuk menuju ke rumah mertuanya yang berada di daerah Tembalang. Sesampainya di sana, dia hanya bisa tersenyum kecut. Iva dan Heri sudah duduk manis di ruang tamu, dan dia tahu kemana arah pertemuan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge Of Love
RomanceBagaimana perasaanmu ketika suamimu meminta ijin untuk menikah lagi? Marah? Benci kepada suami? Ingin membunuhnya? Niken dipaksa untuk menerima keinginan suaminya, Heri yang ingin menikahi Iva, teman semasa dia sekolah. Demi anak-anak, Niken memili...