Pak Pranoto menghela nafas. Terlihat dari wajahnya, dia sudah lelah menghadapi anak laki-laki satu-satunya ini.
"Berapa kali Bapak bilang, kalau keduanya lah yang lebih sering bersama Niken ketimbang kita semua?" tanya sang ayah miris.
Heri sadar, waktunya untuk ngotot sudah selesai.
Rendy duduk di dekat Malika, dia tidak mau memperkeruh suasana dengan duduk di sebelah Niken. Sekecil apapun sikapnya terhadap Niken, tentu akan membahayakan kedudukan sahabatnya itu.
"Marilah kita sudahi suasana panas ini dengan mendinginkan hati kita masing-masing. Ya perpisahan itu menyakitkan, tetapi kalau ini yang terbaik untuk hidup anak-anak, lebih baik ini yang kita pilih. Toh Niken sudah berusaha bertahan, ada batas dia merasa tidak sanggup untuk bertahan, wajar mengingat Heri tidak bisa berlaku adil. Daripada semakin menyiksa mereka, lebih baik diakhiri dengan tenang," kata Pak Pranoto panjang lebar.
Tanpa sadar, Niken menangis, air matanya mengalir di pipinya. Teringat semua kebaikan kedua mertuanya, dan nelangsa karena dia yatim piatu. Selama ini dia menggantungkan cintanya kepada kedua mertuanya, sebagai ganti orang tuanya yang sudah tiada.
Perempuan itu memeluk Bu Pranoto, yang belasan tahun jadi mertuanya, dan semenjak orang tuanya meninggal, perempuan inilah yang menjadi ibunya.
Tampaknya bu Pranoto paham dekapan Niken. Dia pun balas memeluk menantunya itu.
"Selamanya Niken adalah anak ibu. Bersama siapapun kelak kamu membangun rumah tangga lagi, jangan lupakan ibu ya," bisik wanita sepuh itu. Niken hanya mampu mengangguk.
"Rendy, Malika, kami titip Niken dan anak-anak. Tolong ingatkan dia untuk selalu membawa anak-anaknya ke rumah kakek neneknya ini," Bu Pranoto bicara kepada sahabat-sahabat Niken.
"Iya, Bu," sahut Malika dan Rendy mengiyakan permintaan Bu Pranoto.
Suasana seketika hening. Karena mereka sama-sama tidak tahu lagi apa yang akan dibicarakan.
Iva nampaknya sudah habis energinya untuk memaksakan kehendaknya, sedang Heri sudah tahu bahwa ini lah akhir dari rumah tangganya dengan Niken. Bahwa suka tidak suka, mau tidak mau, dia harus meneruskan hidupnya bersama Iva dan calon anak mereka. Meski awalnya ada keinginan untuk meninggalkan Iva demi keutuhan rumah tangganya dengan Niken, toh nyatanya keadaan yang membuatnya memilih, Iva lebih harus dia prioritaskan ketimbang Niken, meski dari perempuan itulah, dia membangun rumah tangga dari awal.
Niken menghela nafas, merasa bahwa separuh bebannya sudah terangkat di pundaknya. Ini bukan lagi tentang cinta, tapi tentang ketenangan hidupnya bersama anak-anak. Sedikit banyak, sikap Pak Pranoto terhadap masalah finansial sepeninggal Heri tidak lagi menyusahkannya. Minimal, masa depan kedua putrinya terjamin, itu yang terpenting baginya.
Tiba-tiba ada celoteh Nay dari halaman depan. Bu Pranoto langsung bangkit, menyambut kedatangan kedua cucunya yang ternyata sudah bangun dan diantar Aga.
"Eh, udah pada bangun?"
Nay dan May tertawa, berceloteh riang kepada neneknya. Seketika rumah jadi ceria. Tawa hadir demi membuat kedua anak Niken dan Heri tidak bertanya-tanya dan sedih.
Malika menghampiri Niken.
"Mau nggak mau kalian harus bicara ke mereka, bahwa kamu dan Heri akan berpisah," bisik Malika mengingatkan.
Wajah Niken seketika tegang. Ya, dia paham berita itu harus disampaikan kepada mereka. Tetapi bagaimana caranya? Minimal jangan sampai mereka benci kepada ayahnya yang pasti akan mereka anggap lebih memilih Iva daripada mereka.
Kalau benci sama Iva sih bodo amat, pikir Niken sedikit usil.
"Aku masih bingung buat bicara sama mereka," balas Niken ke Malika.
"Ajak Heri juga, kalian harus bicara berdua. Coba tanya ke Bapak, gimana kalian sebaiknya bicara dengan anak-anak," jelas Malika panjang lebar.
Niken mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar saran Malika.
"Coba nanti kubicarakan sama mereka," janji Niken kepada Malika. Untuk sore ini, dia tidak ingin mengganggu keceriaan kedua anaknya bersama kakek dan neneknya.
Tiba-tiba Nay berbalik ke arah Iva.
"Lho kog ada Tante Iva? Mau ngapain ke sini?" tanya gadis kecil itu spontan.
Yang ada di sekitar Nay pun otomatis tegang, mereka saling berpandangan untuk saling bertukar kode, bagaimana menjawab pertanyaan gadis cilik itu tanpa membuat sedih.
Cuma May yang wajahnya tenang tanpa ekspresi.
"Tante Iva kan istrinya Ayahmu, Nay. Jadi Tante ikut ke sini," jawab Iva lugas.
"Ya, tapi kan Tante bukan ibuku," balas Nay dengan ekspresi bingung yang lucu. Normalnya, orang dewasa disekelilingnya akan tertawa melihat wajahnya. Tapi saat ini bukan keadaan yang normal.
"Tante Iva istrinya Ayah, Nay, gak apa-apa ikut ayah ke sini," sahut May cuek.
Nay mempermainkan jarinya seolah berpikir keras. "Loh, bisa ya ayah punya istri dua?"
"Bisa Nay, bebas," jawab May pedas.
Orang dewasa di sekeliling mereka tidak tahu harus bagaimana caranya untuk menghentikan pembicaraan ini.
"Kog bebas? Kayak ngedance aja, bebas," kebingungan lucu Nay hadir.
"Anggep saja begitu," cetus May.
Usianya memang cukup membuat May tahu apa yang terjadi antara kedua orang tuanya.
Niken menyilangkan jarinya, mengharap ada keajaiban yang membuat percakapan ini selesai.
"Iya, nanti juga Cuma Tante yang jadi istri ayah kalian," celetukan Iva seperti membuat gelegar besar di telinganya.
Niken melongo, menatap Iva yang sepertinya perlu diplester mulutnya itu.
-BAB XVII-
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge Of Love
RomansaBagaimana perasaanmu ketika suamimu meminta ijin untuk menikah lagi? Marah? Benci kepada suami? Ingin membunuhnya? Niken dipaksa untuk menerima keinginan suaminya, Heri yang ingin menikahi Iva, teman semasa dia sekolah. Demi anak-anak, Niken memili...