Part #13

354 21 1
                                    

Aku berlari menelusuri tiap-tiap lorong dari gedung bercat putih ini. Bau obat-obatan terus tercium di Indra penciumanku dan juga, sudah beberapa kali aku menabrak orang-orang yang menghalangi jalanku. Setelah tadi aku mendapatkan kabar dari tante Wiwit kalau Papa dan Mama mengalami kecelakan, langsung saja aku meluncur dengan panik ke alamat rumah sakit yang tante Wiwit beritau.

Aku terus berlari sampai aku menemukan ruangan yang bertuliskan UGD. Aku mengatur nafasku yang sesak kemudian aku melihat papa mendekat lalu memelukku, aku pun membalas pelukan papa sambil bergetar. Aku sangat bersyukur, papa baik-baik saja sekarang.

"Kenapa ini bisa terjadi, pa?" Tanyaku gemetaran. Papa belum menjawab, beliau mengajakku untuk duduk di kursi tunggu. Oh, astaga aku baru sadar jika kepala papa diperban dan ada beberapa luka lainnya.

Dengan refleks aku menyentuh kepala Papa pelan "papa baik-baik aja kan?" Tanyaku sangat kawatir Papa menjawabnya hanya dengan anggukan sambil menunduk "oh, syukurlah. Bagaimana dengan mama, baik-baik juga kan?"

Papa mengangkat kepalanya, ketika itu aku sadar jika sekarang mama tidak lagi baik-baik saja. Terlihat jelas dari mata papa yang menyiratkan kesedihan "saat kecelakaan itu, Mama mu sudah tidak sadarkan diri" jelas Papa kemudian beliau kembali menunduk. Aku yakin, papa menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi, tetapi sungguh ini bukan lah salah nya.

"Jadi, bagaimana keadaan mama sekarang pa?" Tanyaku tak kuasa menahan air mata.

Papa menggeleng "dokter masih menangani" jawab papa murung.

"Pa, kita harus berdoa supaya mama bisa selamat dan baik-baik aja ya, papa jangan sedih seperti ini, semua ini bukanlah salah papa" ujarku papa menganguk mengiyakan.

Beberapa menit setelah itu datang lah tante Wiwit dan suaminya -alias ayahnya si om atau Reinald- yang juga tidak kalah panik terutama tante Wiwit. "Reinaa! bagaimana, sudah ada kabar?" Tanya tante Wiwit duduk disebelahku kemudian merangkulku sedangkan suaminya duduk disebelah papa.

"Bel-" baru saja aku ingin berbicara dokter yang menangani mama keluar, membuat kami semua berdiri dan papa langsung menghampiri dokter tersebut. Setelah selesai berbicara dengan dokter tersebut papa tersenyum. Somoga saja mama tidak apa-apa.

"Bagaimana pa?" Tanya ku tak sabar

Papa tersenyum "mama mu sudah sadar dan akan segera dipindahkan dikamar rawat" pernyataan papa membuat beban dihatiku seperti terangkat. Terasa lega sudah mengetahui mama sudah sadar. Tak ada yang harus di kawatirkan lagi.

"Alhamdulillah.."

****

Sekarang Mama sudah dipindahakan kekamar rawat, walaupun belum diperbolehkan untuk pulang, tetapi aku sudah sangat bersyukur sekarang, karena keadaan mama sudah membaik.

"Mama udah nggak papa kan" tanyaku yang ke sekian kalinya sambil menyuapi mama bubur yang telah disediakan di RS ini.

Mama berdecak "kamu ini, mama udah bilang tidak apa-apa masih aja nanya terus, berisik tau ngga!" omel mama dengan suara serak. Lihat? Bahkan sedang sakit saja masih bisa mengomeliku.

"Iya, kan Reina kawatir sama mama, gitu banget sih. Lagian kenapa sih mama sama papa itu ke Bandung nggak bilang-bilang terus pake nyiapin segala hal untuk pernikahan. Emangnya siapa yang mau menikahh mamaaa" ucapku mengebu-ngebu namun, belum sempat Mama menjawab pintu kamar terbuka dan muncul lah tante Wiwit tanpa ayah Reinald, dan dilanjutkan dengan omongan ala ibu-ibu. Sampai tante Wiwit bertanya

"Reina kamu tau tidak dimana Reinald sekarang? Dari tadi tante telfonin nggak diangkat terus" tanya tante Wiwit kepadaku
"Ha?" Aku membeo. Mamun tak lama setelahnya aku teringat sesuatu, mataku langsung melotot dan mengaga lebar. Kutepuk jidatku lalu langsung lari keluar dari kamar rawat tersebut kemudian menuju parkiran. Sepertinya Reinald akan membunuhku sekarang.

Beating HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang