"Kamu tadi kenapa?"
Anna terdiam beberapa saat. Merasakan dirinya menegang seperti baru saja tertangkap mencuri. Cewek ini menoleh dan melirik pada Astha. Mendapati laki-laki yang tadi melemparinya senyuman menjadi menatapnya penuh tanda tanya. Ada sorot bingung di wajah Astha.
"Itu, aku cuman-" Anna terdiam beberapa saat. Memikirkan kalimat apa yang harus dia ucapkan. Tapi tak ada satu pun yang terlintas di kepalanya dan dia hanya mampu menghembuskan napasnya pasrah. Biarlah Astha memikirkan hal-hal aneh tentang tindakannya tadi.
"Ya udah, nggak apa kalau nggak bisa jawab." Astha memberikan senyuman manisnya pada Anna untuk pertama kali. Menatap sang adik yang malah membeku di tempatnya--di sampingnya yang kini berada di dalam bus menuju rumah.
Untuk waktu yang lama, hanya ada keheningan yang tercipta. Astha mulai memfokuskan diri pada laporan event yang ingin digarap OSIS tahun ini. Sedangkan Anna, cewek ini hanya memilih untuk diam. Melirik sekilas pada Astha, berharap cowok itu memperhatikannya. Meski sampai akhirnya dia mulai angkat tangan dan menyerah. Astha tidak akan berubah.
*****
Rasanya baru beberapa menit yang lalu dia masih merasakan panas mentari di atas kepalanya. Sekarang bumi berputar menjadi gelap. Hanya sinaran redup rembulan dan kilauan cahaya bantuan dari lampu-lampu di kota.
Astha membuka pintu rumahnya. Dia baru saja kembali dari acara belajar bersama dengan seseorang. Matanya menyapu seluruh ruangan dan menyadari satu hal, rumahnya kosong. Tak ada siapa pun di rumah hari ini.
Berjalan ke arah kamar, Astha hanya butuh istrihat dan tak peduli apa dia harus menelpon salah satu dari anggota keluarganya--sekedar menanyakan keberadaan mereka atau tidak. Yang terpenting adalah ranjangnya.
Tapi saat hendak menggapai pintu kamarnya, seseorang memanggilnya. Astha menoleh dan mendapati sang adik berdiri di depan pintu kamarnya.
"Aku pikir semuanya sedang pergi." Hanya itu yang diucapkannya dan berjalan ke arah Anna yang juga mendekat ke arahnya.
"Kalau Kak Astha di sini, berarti cuman ada kita berdua doang sekarang," balas Anna. Gadis ini berdiri di samping Astha dan kemudian memasang wajah memelas pada kakak laki-lakinya itu. "Kak," panggilnya.
"Apa?"
Anna nampak ragu, tetapi sesuatu semakin memancingnya untuk mengakui apa yang sedang dia pikirkan sekarang.
"Aku ... laper," ucapnya memelas. "Kak Aron dari tadi belum sampai rumah dan aku udah kelaperan. Kak Astha mau masakin aku, nggak?" pelasnya. Sungguh, dia sebenarnya malu untuk meminta ini pada Astha. Tapi kedua kakaknya yang selalu memanjakannya--Aron dan Lio--tak pernah mengizinkannya untuk memasak. Yang pada akhirnya, dia selalu bergantung pada kakak laki-lakinya itu.
"Kenapa nggak masak sendiri-" Astha memotong kalimatnya sendiri dan langsung menyadari sesuatu, "oke aku masakin."
Ada binaran di mata Anna. Cewek ini menatap pada sang kakak dan terus memujanya penuh keagungan. Seolah Astha adalah pahlawan super yang baru saja menolongnya yang sudah di ujung kematian.
Keduanya mulai melangkah ke arah dapur. Bergerak cepat, Astha butuh istirahat dan permintaan Anna untuk memasakkan cewek itu membuat imajinasinya tentang terlelap di atas kasur musnah sudah.
"Kamu mau makan apa?" tanyanya saat mereka sudah sampai di dapur. Astha melihat pada rice cooker. Melirik apakah mereka masih punya persediaan nasi untuk menjadi teman makan malam mereka.
"Terserah deh, Kak. Yang penting aku bisa makan," jawab Anna pasrah. Dia sungguh tak mau merepotkan Astha lebih parah lagi.
Astha tak menjawab. Cowok ini sibuk menatap ke arah kulkas dan mengecek apakah ada persediaan yang bisa dia masak. Tapi hari ini dia menyadari kalau dirinya hanya menemukan telur saja di dalam kulkasnya. Sepertinya ada yang lupa belanja hari ini. Astha mendengus.
"Cuman ada telor. Nggak apa, kan?" tanyanya dan menoleh pada Anna.
Ada raut tak suka dari cewek ini. Astha tahu, Anna tak terlalu menyukai telur. Jika makan nasi hanya dengan telur, dia lebih memilih untuk tidak makan. Merepotkan memang.
Dihembuskannya napasnya pasrah. "Oke, kita makan di warung Buk Yun aja."
Hebat! Astha bisa melihat bagaimana wajah itu kembali berbinar. Anna segera bangkit dan berlari ke arah pintu. Kebiasaannya ketika mendengar warung Buk Yun disebutkan. Tempat makan paling Anna sukai di kompleks.
Astha mengikuti Anna. Mengambil posisi untuk berjalan di samping adiknya itu. Tangannya memeriksa saku dan memastikan bahwa dia sudah membawa dompet. Karena dia yakin, Anna tak akan membawa uang sepeser pun.
Tak perlu waktu yang lama, mereka sudah sampai di tempat Buk Yun. Memasuki kedai itu dan melihat lauk-lauk yang tersisa di sana. Anna sedikit cemberut karena dia tak menemukan makanan kesukaannya.
"Acarnya kemana, Buk?" tanyanya pada Buk Yun yang sudah tersenyum manis ke arah mereka saat mengetahui kedua kakak beradik ini datang.
"Abis, Anna. Kamu kemaleman sih datengnya," jawab Buk Yun ramah.
Anna melirik jam dan menemukan jarum panjang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Pantas saja menu di warung sudah sangat sedikit. Cewek ini memberenggut dan menatap lesuh pada Astha. Sedangkan Astha, cowok ini hanya bingung. Tak mengerti dengan kemauan Anna kali ini.
"Apa?"
"Penyet," balas Anna memelas.
Cowok ini mendengus. Penyetan hanya berada di luar kompleks ini dan rumah mereka jauh berada di dalam kompleks. Sekali lagi, dia menoleh pada Anna dan mendapati wajah memelas Anna. Baik, dia mengalah.
"Maap yah, Buk Yun," ucap Astha pelan dan segera keluar diikuti oleh langkah girang Anna.
Keduanya kembali berjalan. Menempuh dengan berjalan kaki sepertinya bukan masalah. Lagi pula, tak akan ada preman yang berani mengganggu mereka dan kompleks ini selalu aman. Teriak sedikit, satu kompleks langsung keluar.
Dalam diam, Anna mencoba melirik pada Astha. Cewek ini tersenyum. Menyadari kalau sebenarnya Astha juga memperhatikannya. Jadi setidaknya, kekhawatiran tentang Astha yang tidak menyayanginya seperti kakakknya yang lain tak perlu diragukan lagi. Semua kakaknya menyayangi dirinya dan menomorsatukannya.
"Kenapa kamu ngaku jadi pacar aku?"
Anna terdiam saat pertanyaan tiba-tiba Astha menyerangnya. Cewek ini bingung seketika. Melirik pada sekitar, lalu kembali menatap pada Astha.
"Ak-aku ... tadi aku cuman bercanda, Kak," jawabnya asal. Dia melirik ke arah Astha yang menatapnya heran. Mereka masih melanjutkan langkah menuju tukang penyet yang berada di luar kompleks.
Astha tak ingin banyak bicara lagi. Dia memilih untuk diam dan menertawakan dirinya sendiri. Anna bercanda. Setidaknya dia tahu kalau itu hanyalah sebuah candaan dan tak perlu berbesar hati. Karena pada faktanya, tak mungkin adiknya itu membalas perasaan yang sama dengannya. Sister complex memang hanya itu yang terjadi. Tak ada brother complex untuk Anna.
*****
Ketika semua orang pada disibukkan dengan Dies Natalis Undip yang menghadirkan sheila on 7, saya malah sibuk di kamar dengan bejibun chat omes dan kejombloan di kamar -_- *epek gak bisa ikut nonton sheila on 7*
Sebelumnya, makasih banget buat yang nungguin dan mengerti kesibukanku. Serta buat para readers yang juga nungguin kelanjutan introvert. Jujur, sebenernya aku pengen unpublish itu cerita. Tapi takut merasa jahat, jadi aku biarkan dulu. Tapi aku pasti bakal lanjutin, kok. Hehehe
Salam bunga cinta bermekaran dari chokiwa97
Semarang, 18 Desember 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Sister Complex
Teen FictionSister complex? Mungkinkah hal seperti itu benar-benar nyata? Namanya Anna Gerenia Pramutja. Cewek 16 tahun yang sukses membuat teman-teman di sekolah merasa iri dengannya. Bagaimana tidak? Hidup satu atap dengan cowok-cowok keren yang menjadi id...