Prolog

47K 424 4
                                    

Aku hafal di luar kepala segala kebiasaannya. Pukul 23.00. Dia telah mengantarku tidur. Memastikan aku benar-benar terlelap lalu keluar dari kamarku. Dulu sekali, mungkin aku sudah terlelap tidur. Tapi tidak untuk sekarang. Tidur di waktu seperti ini hanyalah kepura-puraanku.

Mengendap nyaris tanpa suara, aku mengintip dari dalam kamarku. Dia berdiri di tengah ruang tamu. Dengan gaun merah dengan panjang di atas lutut. Dadanya sedikit terbuka. Lekut tubuhnya tercetak jelas.

Pak Imron, guru ngajiku pasti akan geleng kepala dan mengucap istigfar bila melihat penampilan wanita itu sekarang. Sayangnya, Pak Imron tak pernah bertemu dengannya dalam wujud seperti sekarang ini. Dia selalu terlihat berpakaian tertutup ketika menjemputku pulang mengaji.

Wanita bermuka dua. Aku pernah mendengar istilah itu diucap Mpok Hani untuk mencercanya ketika kami melintasi rumah Mpok Hani. Istri Pak RT itu bermulut pedas dan tukang gosip. Rasanya saat itu aku ingin melempari mulutnya itu dengan batu. Sayangnya, dia tak pernah membiarkan aku melakukan itu.

"Biarkan saja. Jangan dengarkan omongan mereka."

Itu yang selalu dia katakan untuk meredakan emosiku. Aku menurut. Aku memang selalu mematuhinya.

Suara mesin mobil di depan rumah memecah lamunanku. Pandanganku kembali fokus pada pergerakan dia di tengah ruang tamu. Kaki rampingnya melangkah ke pintu depan. Aku mengendap keluar ketika dia keluar rumah. Mengintip dari jendela depan rumah, dia masuk ke dalam mobil mewah yang berhenti di depan rumah. Aku tidak tahu itu mobil siapa.

Dalam keremangan terlihat sekilas si pemilik mobil. Seorang pria paruh baya. Dia mengecup pipi pria itu. Keningku berkerut heran. Apa itu ayahku? Kenapa wajahnya berbeda dari pria yang ditemui dia beberapa hari lalu? Lalu mana pria yang sebenarnya ayahku?

Aku memang tidak sedang berusaha memata-matai dia. Aku hanya sedang mencari kebenaran atas rasa penasaranku. Mencari jawaban dari pertanyaan yang sudah kupendam selama sepuluh tahun hidupku. Aku hanya ingin tahu siapa ayahku.

Mobil itu menghilang beberapa menit kemudian, membawa dia bersama pemiliknya entah kemana. Aku tak pernah tahu apa yang mereka lakukan.

"Mama mau kemana?" Tanganku menarik daster biru yang dipakainya. Menahan wanita yang melahirkanku untuk tidak pergi.

"Mama harus bekerja. Kamu tidurlah." Dia membelai rambutku lembut. Mengecup keningku lalu menyelimutiku.

Setiap malam itulah yang selalu dikatakannya. Bekerja katanya?

Aku melangkah kembali ke kamarku. Membawa beragam pertanyaan dalam benakku.

"Apa pekerjaan Mamamu?" tanya Ninda, teman baruku saat hari pertama masuk Sekolah Dasar.

"Pelayan restoran," jawabku.

"Bukan, Mamanya perek!" Bagus menimpal tiba-tiba.

"Perek? Apa itu?" Aku benar-benar tidak tahu apa maksud Bagus.

"Pelacur, bodoh!" Riki malah yang menjawab.

"Nggak, mamaku bukan pelacur!"

Aku terduduk di atas tempat tidurku. Kedua lenganku memeluk lutut. Tubuhku gemetar. Namun, bukan karena hawa dingin malam. Wajahku perlahan mulai basah. Aliran air menetes dari kelopak bawah mataku.

Dadaku mendadak sesak memikirkan segala kilasan kejadian itu. Lalu hujatan dari orang-orang di sekitarku. Benarkah kenyataan yang mereka lontarkan kepadaku itu?

Mamaku pelacur?

Isakku semakin kencang. Aku memang belum mengerti benar seberapa buruk pelacur itu. Tapi, dari semua cercaan dan hinaan yang dilontarkan orang-orang membuat aku yakin bahwa itu pekerjaan buruk. Mungkin tak ubahnya seperti pencuri.

Apa mama akan masuk penjara? Apa polisi akan menangkapnya?

Isakku semakin kencang sejalan dengan pikiran buruk di kepalaku. Aku takut. Benar-benar takut.

Bagaimana jika mama masuk penjara? Aku dengan siapa nanti?

Mama tak pernah mengenalkan sanak keluarganya kepadaku. Di dunia ini hanya mama yang kupunya.

Aku akan sebatang kara.

Satu kesimpulan menyedihkan itu menghempaskanku pada keterpurukan. Menangis tiada henti hingga lelap mengantarkanku pada tidur tanpa mimpi.

SANG JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang