"Kenapa nggak ngasih tahu aku semalam? Kami cemas karena nggak tahu kabar kamu kayak gimana." Reinard menghela napas panjang.
"Tapi kayaknya kamu sama sekali nggak mencemaskan kami yang khawatir sama keadaanmu."
"Rei..."
"Apa kata dokter? Alif nggak cerita apapun. Kamu nggak ngasih tahu dia?" Reinard memotong sebelum Norta sempat memberi penjelasan. Rupanya Reinard benar-benar mencemaskannya.
"Aku tidak apa-apa, Rei," serga Norta cepat sebelum Reinard kembali bersuara.
"Tapi..."
"Cuma maag biasa dan aku baik-baik saja."
"Jadi, maag."
"Ya, dan kamu atau kalian tidak perlu mencemaskanku. Aku tadi malam tinggal di tempat temanku."
Reinard menyipitkan mata, memandang penuh selidik. "Kok nggak jawab teleponku?"
"Aku sudah tidur kayaknya," jawab Norta.
Bahu Reinard mulai turun. Ketegangan dan amarah di wajahnya mulai luntur. "Anak-anak pengen ketemu kamu."
"Aku sudah berbicara tentang hal itu dengan Alif. Kamu pasti paham."
"Ya, udah deh." Reinard memandangi moccahino yang ia pesan dalam diam.
"Kamu mau balik kapan? Aku masih ada jadwal latihan sampai senin depan. Mau nunggu aku nggak?" tanya Reinard kemudian.
"Itu yang mau aku bicarakan sama kamu. Sepertinya aku tidak akan kembali ke tempatmu," terang Norta.
"Kenapa? Kamu udah ngelunasin utang kamu? Nggak dikejar orang lagi?"
Norta menggeleng sebagai jawaban tidak. "Aku hanya tidak ingin melarikan diri lagi."
"Jadi, kamu sudah membereskan masalahmu?"
"Sedikit lagi."
Reinard kembali terdiam. Rasanya...
"Aku mau mengucapkan terima kasih sama kamu dan yang lain," tambah Norta.
"Jangan pergi!" serga Reinard seraya menarik sebelah tangan Norta.
"Rei..." Norta menarik tangannya dari genggaman Reinard. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. "Maaf, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu. Aku harus pergi."
"Kenapa? Kenapa kamu harus pergi? Tinggal saja bersamaku. Jika itu membuatmu tidak nyaman, aku bisa mencarikanmu sebuah rumah," tuntut Reinard.
"Kamu tahu Rei, usahamu dalam membujukku itu bisa membuat aku salah paham." Norta lagi-lagi tersenyum. Entah menertawakan jalan hidupnya yang rumit atau perhatian Reinard yang hampir membuatnya salah paham.
"Untungnya, aku bukan seseorang yang mudah terpikat oleh perhatian orang lain," lanjut Norta.
"Aku..." Reinard mendadak kelu.
"Aku bukan Melta, Rei. Meski fisik kami terlihat sama. Aku bukan orang baik yang pantas untuk disamakan dengan kakakmu."
"Tapi, Ta..."
"Terima kasih atas perhatianmu, Rei," potong Norta.
Kini Reinard hanya menunduk menerima semua pembenaran dari Norta.
"Aku senang bisa bertemu denganmu," lanjut Norta tulus.
"Kamu tidak akan kembali?"
"Aku harap tidak."
Reinard semakin murung mendapati jawaban Norta. Melihat Norta memang membuat Reinard mendapatkan kembali kakaknya yang telah tiada. Meski sikap Norta jauh berbeda dari Melta, Reinard tidak mempermasalahkan itu. Ia hanya ingin melihat perwujudan kakaknya secara nyata, mencurahkan kasih sayang yang ia pendam lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG JALANG
ChickLitAku hidup dalam kubangan kelam. Tak tergapai oleh cahaya apapun. Bahkan tangan-tangan yang mengatas namakan uluran cinta pun tak mampu meraihku. Cinta adalah kesemuan. Tubuhku, nafsu itu, uang, hasrat, dan kepuasan semalam. Tercetak jelas bahkan di...