Satu

37.8K 306 5
                                    

Takdir bukanlah hal yang bisa kita tulis sendiri sesuka hati kita. Gores tangan Tuhan yang bahkan tidak kita ketahui bentuknya. Sesuatu yang bisa diubah dan tidak bisa diubah. Namun, jika Norta bisa memilih, ia tentu akan memilih mengubah takdirnya.

Pandangan hampa tertuju pada sosok terlelap di atas tempat tidur Norta. Ini terjadi lagi. Akan selalu sama meski dengan orang yang berbeda. Kehampaan memang mencekat sisi terdalam hatinya.

Norta meringis. Meraih kemeja lengan panjang di atas lantai dan memakainya. Berjalan ke balkon.

Hitam kelam melingkupi di atas sana. Tanpa binar bintang. Bulan separuh bersinar sendirian. Hingar bingar kota yang tak pernah tidur terdengar. Menciptakan alunan musik malam yang menjenuhkan. Tak ada yang bisa protes akan alunan bising itu.

Norta mencengkeram erat daun pintu kaca yang membatasi balkon dan kamarnya.

"Kau tidak tidur."

Suara bariton mengisi kesunyian dalam pikiran Norta. "Pulanglah!" Norta membalas tanpa mengalihkan pandangan pada pemandangan kota.

"Aku mau bermalam. Tidurlah."

Norta membalikkan badan. Melihat raut datar dari sosok yang mengajaknya bicara. Mengernyit sejenak lalu mengambil kesimpulan. Ia tak akan tidur malam ini. Melangkah tanpa beban menuju pintu kamarnya.

"Aku akan membayarmu lebih."

Langkah Norta terhenti sejalan dengan suara yang menggema. Tangannya mencengkeram erat handel pintu yang akan diputarnya. Suara itu menusuk terlalu dalam. Mengoyak apa yang selama ini Norta lindungi. Ini bukan apa-apa. Tak perlu terluka. Mantra dirapalkan dalam hati. Suara itu tidak akan melukainya. Ia tak perlu terluka. Bukan sekali ini saja. Puluhan kali ia mendengarnya dari sosok yang berbeda. Sudah biasa.

Memutar handel pintu, Norta keluar dari kamarnya. Mengabaikan suara yang memanggilnya. Ia memilih masuk ke ruang lain di samping kamarnya. Menutup dan mengunci rapat-rapat pintu. Tak ada yang boleh mengganggunya sekarang.

Kakinya mendekat pada benda hitam putih tak jauh dari pintu ruangan. Jemarinya meraih benda setengah lingkaran dengan dua bulatan di kedua ujungnya. Memakainya di kepala. Menutup seluruh akses suara dari luar.

Jemarinya kembali aktif merabai warna putih dan hitam pada benda di hadapannya. Menekan perlahan sehingga tercipta alunan melodis.

Berjam-jam Norta bergelut dengan melodi. Menekan benda putih hitam lalu menggores beberapa simbol nada pada buku di meja sampingnya. Membuat lupa akan dunia di luar sana.

Norta memilih tenggelam dengan dunia yang ia ciptakan sendiri.

Pukul 5.36. Norta meraih handphone di atas meja kerjanya. Membiarkan nada tunggu berdengung sejenak.

"Sudah saya kirim." Tak ada getar lelah dari nada suaranya. Padahal matanya belum beristirahat barang semenit.

"Astaga, ini masih terlalu pagi, Ta. Kamu begadang lagi?" Suara di seberang sana seakan hafal dengan tingkah Norta.

"Tanggung jawab saya selesai. Finishnya tolong kirimkan pada saya seperti biasa." Norta mengabaikan segala bentuk pembicaraan akrab dari lawan bicaranya. Bersikap seprofesional mungkin terhadap pekerjaan yang ia lakukan. Selalu seperti itu. Hidupnya untuk bekerja secara profesional. Apapun itu.

"Oke. Selesai rekaman akan kukirim padamu."

"Thanks."

"Harusnya aku yang bilang terima kasih."

Norta terdiam. Pandangannya memindai ruang kerjanya.Entah sudah berapa lama benda-benda dalam ruangan ini tetap pada posisinya. Tidak ada yang berubah. Sama seperti hidup Norta. Tak ada perubahan yang berarti.

SANG JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang