Lima

8.1K 144 9
                                    

Norta merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya ketika suara bel dari pintu apartemennya berbunyi. Mengabaikan siapapun yang berdiri di depan pintu apartemennya. Sayangnya apa yang diharapkan Norta tidak terjadi. Pintunya terus berbunyi hingga telinga Norta jengah mendengarnya. Norta terpaksa bangkit seraya menggerutu. Mengutuk siapapun yang berdiri di depan apartemennya.

Ini hari Minggu. Hari seharusnya Norta mendapat libur dari segala pekerjaannya. Norta tadinya ingin tidur seharian. Tidak memikirkan apapun. Membiarkan mimpi menguasai pikiran dan jiwanya. Namun, harapan Norta untuk memperoleh hari libur yang tenang telah dirusak.

Ceklek.

Bibir Norta kelu. Segala makian yang telah direncanakannya tak ada satu pun yang terlontar. Tubuhnya kaku di tempat.

"Kau tidak mempersilahkanku masuk?"

Suara itu menarik kesadaran Norta. Sebelum Norta menjawab, sang pemilik suara telah melangkah masuk melewatinya. Tanpa diminta, duduk di sofa ruang tamu Norta.

Ada apa lagi ini? Norta menggerutu dalam hati. Berdiri di hadapan tamu tak diundangnya. Menatap tajam tidak terima. "Apa maumu?" Norta tidak suka berbasa-basi.

"Begitukah perlakuanmu pada setiap tamu priamu?"

"Kau bukan tamuku, Ezio!" Norta tidak akan menahan amarahnya. Biar saja Ezio melihat emosinya.

Ezio sendiri tampak biasa saja. Merasa tidak terganggu dengan sambutan tidak ramah sang pemilik apartemen. "Aku heran bagaimana bisa pria-pria itu betah di sini?"

"Jika kau bermaksud hanya mengganggu hari liburku, lebih baik kau segera keluar dari apartemenku!" bentak Norta.

"Ck! Kau jahat sekali pada adikmu."

"Kau bukan adikku!"

"Secara hukum aku adikmu, Kak Norta!"

Tangan Norta mengepal. "Terserah!" Mendebat Ezio hanya akan membuat keriput di wajahnya bertambah. Norta meninggalkan pria itu dan masuk kembali ke kamarnya. Berendam air hangat mungkin bisa meredakan amarahnya.
##

"Mas!"

Sial! Aku benci suara itu. Meski itu sebuah teriakan, tapi nada yang melantun membuatku jijik. Suara teriakan berselimut gairah yang terpuaskan.

Sial! Benar-benar sial!

Harusnya aku tidak usah pulang saja. Harusnya aku memilih menginap di tempat Andera. Aku tidak pernah memprediksi jika kepulanganku di tengah malam ini akan disambut oleh suara-suara gairah mereka.

Kutarik napas dalam-dalam dengan susah payah. Sesak yang kurasa. Bergegas kulangkahkan kembali kakiku menuju lantai dua, tempat kamarku berada.

"Wow, puas bersenang-senang, Kak?"

Kurang lima langkah menuju kamarku, suara yang kukenal menegur.

"Minggir!" Kudorong tubuh jangkung yang menghalangi jalanku. Namun, tenagaku tak mampu menggeser sedikit pun tubuhnya.

Anak laki-laki kecil yang sering kusakiti dulu telah tumbuh menjadi anak laki-laki dengan tubuh tegap dan kokoh.

"Jangan menghalangiku!" Aku kembali mendorong tubuhnya dan lagi-lagi tidak membuahkan hasil.

"Apa maumu?" Aku sudah hampir berteriak jika tidak mengingat ada yang lain selain kami di rumah.

"Kau mabuk ya, Kak?" Dia mencondongkan tubuhnya. Mengendus bau di depan bahuku.

"Kau yang mabuk, Bodoh!" Aku tidak asal berbicara. Bau alkohol tercium jelas dari tubuhnya.

"Well, kita sama-sama mabuk kalau begitu." Seringainya melebar. Ekspresi mengejek paling kubenci.

SANG JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang