Dua belas

2.2K 87 13
                                    

Yuda Wardana terbaring di atas ranjang putih. Beberapa alat medis terpasang di tubuh pria itu. Norta memandangnya dalam diam. Tak ingin mengusik apalagi mengumumkan keberadaannya. Ia hanya berdiri mematung dalam jarak setengah meter dari tempat Yuda terbaring.

Dokter sekaligus teman Yuda yang tanpa sengaja bertemu Norta tadi telah mengatakan segalanya perihal kondisi ayah angkat Norta itu.

Norta tidak pernah tahu Yuda Wardana selemah itu. Yuda menyimpan rapi catatan medisnya selama ini.

Tak mau berlama-lama, Norta keluar dari ruang rawat Yuda. Akan sangat berbahaya jika salah satu anggota keluarga Yuda berpapasan dengan Norta. Liska, mantan istri Yuda pasti akan menunjukkan rasa bencinya. Sedangkan, anak kandung Yuda akan membuat Norta kerepotan dengan segala keegoisan yang dimilikinya. Tapi, sebelum itu Norta yakin akan menerima muntahan amarah Ezio terlebih dahulu.

Norta berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Sebuah amplop besar berada di tangan kanannya. Ketika menyadari apa isi amplop itu, Norta tidak bisa memikirkan apapun. Dokter yang ditemuinya sudah menjelaskan secara rinci apa yang harus Norta lakukan untuk mengatasi penyakitnya.

Ada tumor seukuran biji apel di lambungnya. Itu sebabnya Norta sering mual bahkan berujung memuntahkan isi perutnya. Norta dapat menduga penyakit apa yang akan menimpanya. Buah kebiasaan buruk merokok dan mengonsumsi minuman berakohol sangat mudah diperkirakan. Yang terburuk pastilah kanker.

Norta tidak tahu harus bersyukur atau memaki. Ia hanya terkena tumor biasa. Akan hilang jika Norta mau melakukan operasi. Dokter sudah menawarinya agar segera melakukan operasi. Norta belum mengiyakan tawaran itu.

Handphone dalam tas Norta bergetar. Menghela napas panjang, Norta meraih handphone miliknya. Yang menghubunginya sudah jelas.

"Ya?" seru Norta.

"Kamu dimana?"

"Pelataran rumah sakit, menunggu taksi," jawab Norta.

"Alif..."

"Ya, dia sudah menghubungiku tadi. Aku akan ke tempatnya menggunakan taksi," potong Norta sebelum ceramah panjang keluar dari mulut lawan bicaranya.

Reinard menggerutu tak jelas di seberang sana. "Hati-hati," ucapnya pasrah.

"Ya."

"Sampai jumpa nanti malam."

Norta memutus sambungan telepon tanpa membalas kalimat terakhir Reinard. Baginya tidak penting. Ia juga tidak mau berjanji untuk berjumpa dengan Reinard.

Sebuah taksi berhenti di depan Norta saat wanita itu melambaikan tangan. Segera Norta masuk ke dalam taksi itu. Ia teramat lelah untuk sekedar waspada pada sekitarnya. Sehingga Norta tidak menyadari saat sepasang mata dikenalnya menangkap bayang tubuhnya.

Pemilik sepasang mata itu mengumpat. Kembali masuk ke dalam mobil yang di parkir tak jauh darinya. Mengabaikan seseorang yang menyerukan namanya. Mengejar taksi yang ditumpanginya jauh lebih penting. Ia sudah muak berkutat dengan frustasi karena tak kunjung menemukan keberadaan Norta selama sebulan terakhir ini.
#

Hal yang dicemaskan Norta terjadi pula. Padahal ia belum menyiapkan diri untuk bertemu dengan pria yang dihindarinya selama sebulan terakhir ini.

Norta meringis merasakan nyeri pada pergelangan tangannya. Ezio menumpahkan amarah melalui tatapan mata dan cengkeraman yang dilakukan pada tangan Norta.

Ezio langsung memburu Norta ketika wanita itu turun dari taksi yang ditumpanginya. Tak membuang waktu, Ezio meraih tangan Norta dan tak membiarkan wanita itu bergerak ke sisi lain. Norta hanya mampu meronta. Menggumamkan kata sakit dan lepaskan yang tak digubris Ezio.

SANG JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang