Tiga

13.3K 173 0
                                    

Garam kembali ditabur.
Mengangah luka, menguak cerita rahasia.
Kau yang tak pernah tersentuh.
##

Tangannya menggapai sisi di sebelahnya. Kehampaan. Ruang kosong tanpa makna. Selalu seperti itu. Lalu apa yang diharapkan? Bukankah ini hal biasa? Selalu berulang tanpa diminta. Norta menghela napas, menarik tangannya tadi ke atas dada. Sesak.

Dering menghentak lamunan. Pandangannya melayang pada benda berukuran 5 inchi di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Tangannya menggapai benda itu.

"Ya?" Tak ada sapaan formal dalam suara Norta. Malas berbasa-basi.

"Kau baru bangun?"

"Hmm.. ada apa?" Norta beranjak dari tempat tidurnya, berjalan mendekat beranda masih dengan ponsel di dekat telinga.

"Aku dalam perjalanan."

"Ini masih terlalu pagi." Bukan dalam makna logis. Pukul 7 adalah pagi yang pas. Tapi, bertemu Norta di pagi seperti ini agaknya tidak tepat. Lagi pula Norta sedang tidak ingin bertemu siapa pun.

"Apa aku tidak boleh mengantarmu ke kantor?"

Memutar mata. Jelas ekspresi yang percuma. Toh, lawan bicaranya tak dapat melihat kekesalan Norta saat ini. "Terserah!" Norta menutup pembicaraan sepihak. Waktunya terbuang beberapa menit.

Bergegas ia memulai ritual paginya. Mandi dan bersiap ke kantor.

James bukan tidak tahu aturan yang dibuat Norta. Ia pun tidak sedang ingin melanggarnya. James berkunjung hanya sebagai teman. Dan entah mengapa kejadian semalam membuatnya terus memikirkan keadaan Norta.

"Apa yang kau bawa?" Norta melangkah mendahului James setelah wanita itu membukakan pintu.

"Oh, ini sarapan untukmu. Kamu pasti belum membuat sarapan kan?" James melewati Norta berjalan menuju dapur. Ia menata makanan yang dibawanya ke atas mangkok. Sementara itu, Norta menunggu duduk di depan meja pantry.

"Makanlah dulu." James menyodorkan semangkok bubur ayam ke hadapan Norta.

"Tidak ke kantor?" tanya Norta sembari menyendok bubur ayam di hadapannya.

"Nanti setelah mengantarmu." James mengambil sendok dan ikut makan dalam mangkok yang sama dengan Norta. Ia hanya membeli satu bubur ayam.

"Perusahaanmu bisa bangkrut jika kamu tidak mengurusnya dengan baik."

James tersenyum kecil. Di luar keprofesionalannya Norta adalah teman yang perhatian. Sayangnya wanita itu selalu menutupi sikap baiknya itu dengan kata-kata sinis dan sikap dingin.

"Tenang saja. Jika bangkrut aku masih bisa membangun lagi dengan uang ayahku."

"Dasar anak papi!" Norta beranjak dari pantry.

"Kenapa tidak kamu habiskan?" protes James.

"Kamu saja yang habiskan."

James tidak bisa memaksa Norta. Menghela napas, akhirnya ia yang menghabiskan bubur ayam yang masih setengah.

Sepanjang perjalanan keduanya memilih keheningan mengisi. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Banyak hal yang ingin James tanyakan. Namun, Norta mungkin tidak akan menjawabnya. Wanita itu tidak suka membahas masalah pribadinya.

Sejauh apapun James berusaha mendekat, dinding tinggi selalu dibentangkan Norta.

"Ada apa?" James sedikit tersentak kala suara Norta menangkap basah pandangannya.

"Ng.. tidak," kilah James.

"Katakanlah." Norta sedang berbaik hati rupanya.

"Em.. kamu ada hubungan apa dengan Ezio?" Akhirnya James mengatakan tanya dalam pikirannya.

SANG JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang