Enam

6.5K 158 7
                                    

Menghindar dari masa lalu memang tidak akan membuahkan hasil apapun. Hanya kecemasan dan rasa takut yang menghantui sepanjang waktu.

Norta bukannya ingin menghindar dari masa lalunya. Ia hanya tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Akhirnya, Norta memilih pergi.

Lalu haruskah Norta pergi lagi kali ini setelah masa lalunya kembali muncul dan mengejarnya?

"Kau sedang ada masalah?"

Norta menaikkan pandangannya. Seorang pria paruh baya menatapnya cemas.

"Tidak. Hanya lelah," jawab Norta. Mengangkat gelas berleher panjang di tangannya dan menenggak seperempat isinya. Manis bercampur pahit membasahi tenggorokan Norta saat wine putih meluncur masuk dalam mulutnya.

"Apa begitu berat pekerjaan yang kuberikan?"

Norta menggeleng. "Tapi kau harus mencari manager baru."

Kening pria paruh baya itu berkerut. "Kenapa? Gaji yang kuberikan kurang besar?"

"Aku akan pergi," jawab Norta.

"Jika hanya berlibur tak perlu mengundurkan diri kan?"

"Aku akan lama, Om."

Menghela napas panjang, bersandar pada kursi yang didudukinya, ia kembali menyuarakan tanya dalam benaknya. "Kau ada masalah, Norta? Apa ada yang mengganggumu?"

"Tidak. Aku hanya bosan, ingin mencari suasana baru."

"Ah, jadi kau akan meninggalkanku."

"Om Willi nggak usah pura-pura sedih. Om pasti senang jika aku pergi."

Willi tergelak sejenak. "Kenapa aku harus senang?"

"Karena tidak akan ada lagi yang melapor ke Tante Maya."

Willi tergelak lepas. "Ah, kau benar. Aku bisa bebas dari ancaman."

"Jangan coba-coba ya, Om!" ancam Norta.

Willi kembali tergelak. "Kau mau kemana memangnya?"

"Suatu tempat dimana tak ada orang yang mengenalku."

"Apa kau sedang berhutang pada rentenir?"

"Yang benar saja, Om. Aku tidak memiliki ketergantungan terhadap uang."

"Lalu?" Willi mengerutkan keningnya semakin dalam. Berbicara dengan Norta selalu membuatnya berpikir keras.

Norta mengangkat bahu acuh. "Hanya sedang bosan."

"Baiklah. Aku tidak akan memaksamu lagi." Willi menyerah. "Aku pasti akan merindukanmu."

Norta tersenyum kecil. Sebuah senyum tulus. "Aku akan menghubungimu."

Mata Willi menyipit dengan bibir melengkung ke atas. Senyum tulus yang selalu ditujukan untuk Norta. Senyum terima kasih karena berkat Norta ia dapat memahami siapa wanita yang sesungguhnya dicintainya. "Kau juga harus menghubungi Maya. Dia pasti akan sangat merindukanmu juga."

Norta mengangguk mengiyakan. "Selamat tinggal, Om."

##

Silahkan menamaiku pengecut. Tidak berani menghadapi masalah yang menimpa. Melarikan diri tanpa menyelesaikannya. Itulah keputusanku saat ini.

Aku melangkah tertatih. Sesekali meringis merasa perih pada bagian bawah tubuhku. Sebelah tanganku berada di atas perut. Tidak ada luka yang tergores di sana. Hanya sesuatu yang pernah menghuni di dalamnya selama beberapa minggu kini telah lenyap.

Aku menarik napas kuat-kuat. Menahan sesak yang memberontak keluar. Sudah cukup kesedihan yang kurasa tiga hari terakhir ini.

"Kamu mau kemana?" Suara wanita yang tiga hari ini sering kudengar muncul dari balik pintu.

SANG JALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang