Dia tak akan kembali. Kemutlakan yang abadi telah memenjarakannya. Tak akan pernah ada lagi pria yang berbeda. Aku pun tak akan melihatnya mengendap dan meninggalkanku saat malam beranjak.
Yang tersisa hanya satu. Seorang pria yang sering hadir di sisinya. Dia yang saat ini berada di belakangku. Membiarkanku terdiam memandangi gundukan tanah yang diselimuti kelopak mawar.
Dia cukup bijak untuk tidak mengusikku saat ini. Aku memang sedang butuh waktu untuk mencerna semua di sekelilingku. Perubahan drastis ini cukup mengejutkan. Belum lagi tatapan mencela dari beberapa orang yang hadir.
Mereka hadir bukan karena simpati. Rasa penasaranlah yang menarik mereka. Akhir seperti apa yang menimpa dia? Apakah ini karma? Karma atas pekerjaan yang selama ini ditekuninya? Semua pertanyaan itu saling berbisik di belakangku.
Ada pula bisik kesimpulan atau dugaan yang berkeliaran liar. Tak bisa kucegah atau kubantah. Mungkin mereka benar. Ini karmanya. Dia pergi dalam keadaan yang tak kuketahui. Membusuk dalam dosa.
"Ta, sebaiknya kita pulang?"
Pulang? Aku menoleh pada suara itu. Pada pria yang terlalu sering muncul di sisinya. Bahkan saat terakhirnya, aku rasa pria ini bersamanya.
"Mamamu sudah pergi dengan tenang."
Aku tak perlu disadarkan pada kenyataan itu. Aku tahu benar dia sudah pergi. Aku terdiam membeku di sini bukan karena sedang menangisinya. Air mataku sedikit pun tidak turun. Di saat orang-orang memasang wajah sedih dan simpati, aku lebih suka memasang wajah datar. Bukan karena aku sedang menyimpan kesedihanku sendiri.
Entahlah. Sedikit pun tak ada rasa sedih. Aku bersyukur. Tak akan ada lagi yang menjadi alasan untukku dipermalukan dan diolok. Aku akan terbebas dari cercaan. Label itu akan hilang. Tak akan ada lagi Norta si anak haram. Tak akan ada lagi Norta anak si pelacur.
Sekarang aku dapat hidup dengan normal.
##
"Kau tak berubah."
Norta membeku di tempat. Menoleh pada suara itu. Seorang pria tengah tersenyum meremehkan.
Norta mengangkat dagu. Bukan bermaksud menantang. Hanya menunjukkan bahwa dia tidak terintimidasi pada keberadaan pria itu. Pria sampah! Begitulah batin Norta menyebutnya.
"Kali ini suami siapa lagi?"
Norta memutar mata. "Lalu bagaimana denganmu?"
Ledak tawa memenuhi pendengaran Norta. Bukan dari suaranya, tapi suara pria itu. "Seleraku jelas bukan istri orang."
"Meski begitu, kau sama-sama penikmat ranjang," sarkas Norta.
"Apakah seperti itu pandanganmu tentangku?"
"Aku masih ingat bagaimana Gendis menangis tersedu waktu kau merebut keperawanannya dulu."
"Ah, itu sepuluh tahun lalu. Kudengar dia sudah memiliki dua anak sekarang." Senyum meremehkan masih menghias bibir pria itu. Begitu mudah melupakan kenangan bahwa dia pernah menyakiti seseorang.
"Dasar brengsek!"
Gelak tawa kembali pecah. "Senang bisa mendengar umpatanmu."
Norta memilih menghentikan konfrontasi tak berujung ini. Ia menjauh.
"Melarikan diri, eh?"
Meski telah mengambil jarak beberapa langkah, suara itu masih dapat didengar Norta. Menghentikan langkahnya. "Berhenti mencampuri urusanku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG JALANG
ChickLitAku hidup dalam kubangan kelam. Tak tergapai oleh cahaya apapun. Bahkan tangan-tangan yang mengatas namakan uluran cinta pun tak mampu meraihku. Cinta adalah kesemuan. Tubuhku, nafsu itu, uang, hasrat, dan kepuasan semalam. Tercetak jelas bahkan di...