#31 Desember 2016 #
Karin memandang putus asa pada hujan yang mengguyur deras atap stasiun kereta Manggarai. Tiga jam dia di sini, menunggu kereta yang menuju ke stasiun Sudirman. Tapi setiap kereta yang melintas, penuh sesak tanpa celah sedikitpun untuk masuk.
Jam sudah menunjukkan pukul 5.30 ketika akhirnya Karin bisa menjejalkan dirinya ke dalam kereta. Berdempetan dengan ibu-ibu berwajah piranha di gerbong khusus wanita. - Tau kan? Ibu-ibu yang memelototimu sampai terlihat hampir menelanmu karena kamu menyenggolnya. Penikmat ular besi pasti hafal dengan jenis ibu-ibu ini. Hehehe -
Brrrr....
Angin dingin dari AC menyapa kulitnya yang tak tertutup dan sedikit basah karena tampias air hujan di stasiun tadi. Tangannya mengapit tas tangan kecil berisi buku yang di pegangnya laksana sebuah harta karun.
Buku itu, My Guardian Evil, yang hanya dia cetak 2 eksemplar, satu untuk Farrell dan satu untuknya. 3 hari lagi dia akan terbang jauh, meninggalkan jakarta. Dia ingin setidaknya Farrell tau kalau dirinya ada. Dan perasaannya nyata, meski dia tidak sanggup mengatakan apapun padanya.
Hari sudah petang saat dia sampai, hujan hanya tersisa genangan air di mana-mana. Setelah membayar sejumlah rupiah pada tukang ojek yang mengantarnya dari stasiun Sudirman kesini, Karin mendorong pintu. Tersenyum pada dering lonceng yang pasti akan di rindukannya.
Di London, dia wajib dan harus mencari warung kopi yang setara dengan tempat ini. Meski dia tau, tak mungkin ada. Karena setara baginya, harus yang mempunyai Farrell Alfaren juga di dalamnya.
Dadanya entah kenapa berdenyut nyeri, meratapi perpisahan tanpa pertemuan. Panjang umur, cowok yang sedari tadi memenuhi otak dan hatinya itu berdiri sambil memamerkan senyum berlesung pipit di belakang meja kasir. Karin menelan ludahnya yang memadat. Berjalan langkah demi langkah menuju kearahnya. Mencoba mengeluarkan suara yang biasa saja di tengah debur dadanya yang membahana.
"Ah.... uhm, Adam, ga ada?"lirih suara gadis itu, hampir setara bisikan. Farrell sampai harus mengerutkan kening mencerna ucapannya.
"Adam, kejebak hujan jadi mungkin telat kesini."jawabnya ramah."Mau pesan apa?"
"Chocolate Caramel,"kata Karin,"Gulanya sedikit aja."
"Oke, ada lagi?"
"Uhmm..."Karin memandang etalase cake, tapi rasanya sulit sekali memilih potongan kue itu saat dia merasakan mata Farrell tertancap padanya, serasa ada ribuan cahaya blitz menyorotinya dalam waktu yang bersamaan.
"Itu aja deh,"tukas Karin, dia melangkah meninggalkan kasir mencoba menjauhi Farrell secepatnya demi kesehatan jantungnya. Baru beberapa langkah dia berhenti mendadak, dan menepok jidatnya."Maaf, lupa."
Karin nyengir malu, menyodorkan lembaran uang lima puluh ribuan yang di terima oleh Farrell, sesaat tangan mereka bersinggungan, itu membuat Karin terpaku di tempat. Takjub akan lembutnya tangan cowok itu. Belum pernah dia menyentuh tangan selembut ini sebelumnya.
"Ada lagi?"tanya Farrell, karena di lihatnya Karin tak juga beranjak pergi.
"Oh, engga... hehe."dia putar langkah, agak bingung ingin duduk di mana. Padahal hampir setengah kursi di café kosong tanpa penghuni.
Segalanya terasa canggung, melalui belakang kepalanya dia seperti bisa melihat Farrell memandanginya. Itu membuatnya makin salah tingkah. Karin melangkah pelan, melenggak lenggokkan pingulnya – entah kenapa dia harus berjalan dengan cara begini- menuju meja sudut tempat dia biasa duduk.
Dia baru menghenyakkan pantat saat Farrell sudah berdiri di depan meja. Menenteng baki berisi gelas kaca tinggi dan sebuah piring kecil berisi dua slice, tiramisu dan rainbow cake.
"Kuenya?"tanya Karin, karena Farrell meletakkan kue itu di mejanya.
"Gue yang traktir, anggap aja reward buat loe di hari pelanggan nasional."dia mengerling.
Karin sesaat cengo, 'hari pelanggan nasional?' memangnya itu hari ini.
"Oh..."hanya itu yang mampu Karin katakan, saat Farrell berlalu dia seperti ingin memukul kepalanya sendiri.
Oh???? reaksi macam apa itu bodoh...
"Hey,"
Farrell yang sudah setengah jalan kembali ke meja kasir, berhenti dan menoleh.
"Thanks...."Karin berusaha mempersembahkan senyum terbaiknya. Farrell mengacungkan jempol dan memberinya kata "siip"
Tak ada laptop hari ini, untuk pertama kalinya dia kesini bukan untuk menulis, tapi untuk menikmati senyum Farrell, untuk melukis senyuman itu di dasar hatinya. Karena entah kapan dia bisa melihatnya lagi.
Dia mengeluarkan buku kecil itu, memandang Farrell yang sibuk melayani pelanggan, berpose sedikit dengan pelanggan cewek yang memintanya berfoto.
Tak lama, Adam datang. Karin langsung berdiri. Ini satu-satunya kesempatan yang dia punya untuk mengatakan perpisahan itu. Sekedar memberi tahu Farrell kalau dirinya tidak akan datang kesini lagi. Entah kenapa dia merasa harus repot-repot memberi tahu cowok itu. Orang yang sama sekali tidak mengeanlnya.
"Hey,"sapanya.
"Hey, mau tambah lagi Rin?"Adam sedang memakai apron, sambil masih tetap tersenyum pada Karin.
"Engga, gue mau pamitan."ucap gadis itu, berharap Farrell yang sedang berkutat dengan gelas cup di belakang Adam mendengarnya.
"Wah, mau kemana?"
"Beasiswa gue, yang ke London, lolos, jadi lusa gue berangkat kesana."entah kenapa ada rasa nyuttt di dadanya. Dia berharap Farrell membalikkan badan. Mengatakan sesuatu. Tapi cowok itu terlihat begitu sibuk di sana.
"Wah, selamat ya..."Adam memutari meja kasir, memberikan pelukan hangat.
"Thanks Dam, sampai ketemu lagi."Karin berusaha tersenyum. Meski hatinya terasa berat. Farrell, ayo dong liat kesini.
"Semoga lancar di sana."kata Adam.
"Loe juga, semoga sukses bisnisnya."ucap Karin. Dia berbalik, melangkah menuju pintu. Tak ada alasan untuk berdiri lebih lama atau dia akan kelihatan sangat konyol.
Setengah jalan mendekati pintu keluar, Karin berhenti. Dia berbalik, kali ini, Farrell yang ada di sana. Memandangnya, senyum menghiasi wajah itu. Karin mendekat lagi. Tangannya memegang buku tipis, bercover satu sayap malaikat berwarna merah. Karin mengulurkan buku yang di terima cowok itu dengan tatapan bingung.
"Buat loe,"cuma itu yang sanggup di katakan Karin. Dia sudah teramat sangat malu. Entah apa yang akan Farrell katakan setelah dia membaca buku itu. Dia tak sanggup membayangkannya. Bagusnya... dia tak akan ada di sini untuk melihat ekspresinya.
"Rin,"panggilnya.
Gadis itu berhenti, menoleh.
"Bagaimana kalau segelas Caramel Macchiato? Sebagai ucapan selamat jalan."katanya.
Dia dengerin
Senyum Karin mengembang, entah seberapa lebar.
"Kalau loe suka caramel macchiato,"Farrell terlihat salah tingkah, "Kalo loe ga suka, chocolate caramel is ok."
"Bagaimana kalau besok sore?"tanya Karin. Malam ini dia harus menandatangani buku Love, Lust, Lie-nya yang sudah naik cetak. Duh!!!!... andai dia ga harus tanda tangan.
"Oke, besok jam 5 di sini ya."
"Kay... sampai ketemu besok."
Lekuk sempurna lesung pipit Farrell kembali terlihat. Itulah hal terakhir yang Karin lihat sebelum dia meninggalkan Coffee Leaf. Menembus belantara jalanan Jakarta yang ruwet tapi pasti bikin kangen.
![](https://img.wattpad.com/cover/6447750-288-k741363.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Guardian Angel - Revisi
Dragoste#IndonesiaMembaca Setiap kisah mempunyai jiwa, setiap goresan merupakan doa. berhati-hatilah dengan kisah yang kamu tulis. bisa jadi kamu sedang menggoreskan kisah hidupmu sendiri di lembaran naskah yang kamu buat. Sincerely Evil