Lucas tidak langsung pulang setelah mengantarkan aku ke apartemenku. Ia membaringkanku di tempat tidur dan membuatkan aku secangkir the hangat serta menawarkan apa aku ingin makan sesuatu yang hanya aku jawab dengan gelengan kepala. Ia juga menanyakan apakah aku perlu dibawa ke klinik atau dipanggilkan dokter, yang akhirnya aku tolak juga. Setelah berpesan ini-itu tentang menjaga kesehatan dan sejenisnya baru ia pulang.
Jam menunjukkan pukul tiga dinihari namun aku belum juga mampu memejamkan mata. Kepalaku berat dan perutku mual. Tubuhku terasa lelah namun menolak untuk tidur. Padahal hari ini aku ada jadwal mengajar di kampus. Sepertinya aku akan izin tidak mengajar saja hari ini. Dua jam kemudian baru akhirnya aku menyerah dan jatuh tertidur.
--
Aku terbangun ketika jarum jam dinding di kamarku menunjuk angka 10. Aku mengecek handphone-ku dan melihat ada beberapa pesan masuk. Beberapa dari mahasiswa yang menanyakan ada atau tidaknya kelas hari ini, dan beberapa lagi dari Lucas yang menanyakan keadaanku. Aku membalas pesan mahasiswaku terlebih dahulu sebelum membalas pesan Lucas.
Diandra Barata:
Gue udah mendingan kok, Cas. Cuma masih agak pusing aja sedikit. (read)
Lucas membalas tak lebih dari satu menit kemudian.
Lucas Ganesha:
Beneran? Nanti gue mampir ke apartemen lo setelah selesai ngajar. Mau nitip sesuatu gak? Biar nanti gue beliin.
Diandra Barata:
Ya udah, gue minta tolong beliin tom yam di tempat biasa, ya. Jangan pake sayur. (read)
Lucas Ganesha:
Sip. Ada lagi?
Diandra Barata:
Nggak, itu aja. Thanks, Cas. (read)
Lucas Ganesha:
Sans. Kayak sama siapa aja.
Pesan terakhir hanya aku baca saja. Kuletakkan handphone-ku di nakas sebelah tempat tidur sebelum aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
--
Bunyi bel membangunkanku yang tak sengaja kembali jatuh terlelap setelah mandi tadi. Entah kenapa badanku terasa lemas sekali hari ini. Mungkin karena aku belum makan apapun sejak pagi. Cahaya matahari sore masuk dari jendela kamarku, membuat refleksi jingga yang menghangatkan.
Kulihat dari layar intercom ada Lucas yang berdiri di depan pintu dengan membawa kantung berlogo sebuah restoran.
"Hai," sapa Lucas ketika aku membukakan pintu untuknya. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.
"Masuk, Cas," ajakku.
Lucas langsung mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah apartemenku. Kantung makanan yang dibawanya ia letakkan di meja. Sementara aku pergi ke dapur untuk membuatkannya minum. Aku memutuskan untuk membuatkan teh madu hangat untuknya.
"Nih," aku menaruh secangkir teh yang baru kubuat di meja di depannya.
"Thanks, Di. Oh iya, nih tom yam-nya buruan dimakan. Gue yakin lo pasti belum makan apapun hari ini, kan?" tanyanya.
"Iya. Nanti aja deh gue makannya," kataku malas.
"Nggak ada nanti-nanti, ya. Buruan makan sekarang. Muka udah pucet banget kayak mayat gitu masih malas makan," gerutunya.
"Iya ih, bawel," aku membawa kantung makanan yang dibawanya ke dapur dan menyajikannya di mangkuk. Lucas mengikutiku dari belakang, mungkin ia ingin memastikan kalau aku akan benar-benar makan.
Setelah menyajikannya ke dalam mangkuk, aku membawanya ke meja makan. Lucas duduk di hadapanku. Namun ketika aku baru saja menyuap satu sendok, tiba-tiba rasa mual yang hebat menyerangku. Aku refleks langsung berlari ke wastafel dan memuntahkan isi perutku. Yang keluar hanya air dan liur karena aku belum mengonsumsi apapun hari ini. Kurasakan Lucas memijat tengkukku untuk membantuku memuntahkan lebih banyak agar aku lega. Setelah aku berhasil menguasai diriku dan membersihkan mulutku, kulihat Lucas menatapku dengan pandangan khawatir.
"Lo beneran gak apa-apa, Di? Udah dua malam lo begini. Kemarin malah hampir pingsan. Gue rasa lo harus ke dokter," ucapnya sarat akan kekhawatiran.
Aku menggeleng. "Nggak, gak usah. Paling besok udah mendingan,"
"Diandra being Diandra. Keras kepala. Ya udah, kalau besok belum mendingan juga, gue anterin lo ke dokter,"
"Nggak perlu! Gue bisa ke dokter sendiri," kataku cepat. Lucas menatapku heran karena aku menjawab agak keras, namun ia tidak mengatakan apapun dan hanya menggelengkan kepala.
"Ya udah, terserah. Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa, kok," Lucas menepuk kepalaku pelan.
"Sorry, lagi sensitif," kataku sedikit meringis.
"Iya, nggak apa-apa. Masih mau dimakan gak tom yam-nya?"
"Nggak, mual," jawabku.
"Terus mau makan apa? Lo harus makan sesuatu," katanya cemas.
Aku berpikir sejenak sebelum satu jenis makanan tiba-tiba muncul di kepalaku.
--
Lucas menatapku dengan pandangan aneh. Aku tidak mempedulikannya dan terus melahap sate padang di hadapanku. Entah kenapa rasanya enak sekali sampai aku tak ragu untuk memesan porsi kedua.
"Seinget gue ya, Di, lo nggak pernah mau gue ajak makan sate padang. Ini kenapa tiba-tiba...." Lucas menggelengkan kepalanya.
"Nggak tau, yang pasti ini enak banget," kataku sambil tetap mengunyah.
"Ya memang enak! Makanya gue suka banget. Tapi gue tetep aja heran lo yang gak suka sate padang tiba-tiba makannya kalap begini. Kayak orang ngidam tau gak," celetuknya.
Aku tersedak. Lucas langsung menyodorkan segelas air sambil mengusap-usap punggungku.
"Makannya pelan-pelan dong,"
"Lagian ngomongnya jangan aneh-aneh, deh," gerutuku lalu melanjutkan makanku.
--
"Istirahat yang bener. Jangan begadang. Kalau ada apa-apa, kasih tau gue, oke?" pesan Lucas ketika mengantarkanku kembali ke apartemen.
"Iya iyaaaaaaa. Udah sana pulang, udah malem," candaku.
"Ngusir nih, ceritanya?" ia pura-pura tersinggung.
"Canda ih. Makasih ya udah mau gue repotin hari ini," kataku tulus.
"Ya elah, kayak sama siapa aja. Ya udah gue balik sekarang, ya," pamitnya.
"Hati-hati,"
--
Aku merebahkan badanku ke tempat tidur. Sesekali mengusap-usap perutku yang terasa sangat penuh akibat dua porsi sate padang yang kumakan tadi. Tak sengaja mataku terhenti di kalender meja di sebelahku. Aku terperanjat dan kuraih cepat kalender itu. Aku mulai menghitung tanggal dan.........
Shit! I'm two weeks late...
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection
RomansaDua garis lurus yang bersisian seharusnya tidak akan pernah menemui titik temu, namun bagaimana jika takdir mempertemukannya dalam sebuah persimpangan?