Diandra: Cold and Colder

288 7 1
                                    

"Saya minta tugasnya dikirimkan ke email saya sebelum jam sepuluh nanti malam. Kalau ada pertanyaan, silahkan hubungi ke nomor saya, namun sebelum bertanya pastikan kalian membaca petunjuk pengerjaannya. Baik, saya rasa cukup. Selamat siang," Ucapku sebelum meninggalkan kelas.

Aku berjalan menyusuri lorong gedung perkuliahan menuju ruangan dosen di kantor jurusan. Aku Diandra Barata. Seorang dosen Sastra Inggris di sebuah universitas di Bandung. Aku termasuk dosen muda di sini, karena rekan-rekan dosenku yang lain kebanyakan sudah senior. Hanya ada beberapa yang usianya masih tiga puluhan.

Aku mengintip sedikit melalui kaca yang ada di pintu ruang jurusan. Ruangan itu cukup sepi karena banyak dosen lain yang mungkin sedang mengajar saat ini. Hanya ada empat orang termasuk diriku.

"Baru selesai kelas, Di?" tanya Rama. Ia mengangkat kepala menatapku begitu aku masuk ke dalam.

"Iya nih, capek banget gue hari ini full ngajar dari pagi," keluhku sambil berjalan ke arah dispenser dan mengisi botol minumku sampai penuh.

"Sama gue juga. Mana tadi pas jam makan siang ada jadwal juga sama mahasiswa bimbingan," Rama terlihat menggerutu sambil tetap mengetik sesuatu di laptopnya.

Aku meneguk air dari botol minumku sampai habis. Rasanya seperti tidak minum berhari-hari. Hauuusssssss!

"Abis ini lo ada acara, Di?" seseorang yang dari tadi terlihat sibuk dengan iPad-nya tiba-tiba bertanya tanpa mengalihkan pandangan sekalipun dari gadget di tangannya.

"Enggak, kenapa memangnya, Cas?" tanyaku. Dia Lucas Ganesha, rekan dosen yang paling dekat denganku.

"Mujigae, yuk. Tiba-tiba pengen makan bibimbap." Jawabnya.

Aku mengernyit. "Tumben banget pengen makan makanan Korea. Biasanya sok nasionalis makan makanan tradisional," ledekku.

"Ah elah, sekali-sekali kan gak apa-apa dong, Di," ujarnya kesal. Aku terkekeh.

"Iya-iya, duh sensi banget sih, Mas," aku masih menggodanya. Namun sebelum ia makin kesal, aku langsung berkata, "Ya udah yuk cabut sekarang, keburu sore. Ntar macet. Lo yang nyetir!" Aku melemparkan kunci mobilku padanya.

Dan dia langsung menangkapnya dengan kedua tangannya. "Siap, boss! Yuk,"

"Rama, Silka, kita duluan ya. Bye," aku berpamitan kepada Rama dan Silka yang masih terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sementara orang yang tadi mengajakku malah sudah lebih dulu keluar tanpa mengatakan apapun. Dasar.

-

"Tadi gue lihat mukanya Silka bete banget gitu waktu lo ngajakin gue keluar. Lucu banget sumpah," aku tiba-tiba teringat akan ekspresi Silka di ruang dosen tadi. Silka Vania adalah dosen muda yang juga mengajar di jurusan yang sama denganku. Umurnya satu tahun lebih muda dariku. Wajahnya cantik dengan riasan make up tanpa cela, serta rambut hitamnya yang dibuat bergelombang, membuat para lelaki pasti akan menoleh dua kali kepadanya. Yah, kecuali lelaki yang sedang menyetir di sebelahku ini.

"Hmm," Lucas hanya menjawab dengan gumamannya saja. Membuatku sedikit sebal.

"Apaan 'hmm' doang?" aku meliriknya kesal.

"Ya terus gue harus menanggapi gimana, Diandra? Masa iya gue harus bilang, 'Oemjiiiiii, masa sihhhh' dengan nada heboh ala-ala artis abege," jawabnya datar.

Aku mendengus. "Ya setidaknya tanggapin apa kek gitu,"

"Lagian kan lo tau, gue gak tertarik sama dia. Gak sama perempuan mana pun,"

Aku terdiam. Ya, memang sudah lama aku tahu, Lucas memang tidak suka perempuan. Dia gay.

"Yeah, and I'm the opposite. I love women and I hate men," aku tersenyum miris. Ya, aku memang lesbian. Dan dua manusia di dalam mobil yang tiba-tiba hening ini adalah seorang gay dan lesbian. Ironis, bukan?

"Ya udahlah, Di, selama kita enjoy menjalani hidup kita, kita gak perlu memikirkan pendapat orang lain yang bahkan hidupnya gak akan pernah beririsan sama hidup kita. Bukan mereka juga yang membiayai hidup kita. Jadi gak usah didengar pendapat yang cuma bikin kita nambah-nambahin pikiran yang udah banyak,"

"Iya, lo bener," sikap tak acuh Lucas kadang yang paling membuatku nyaman. Itu juga yang menjadi salah satu alasan aku paling dekat dengannya dibanding rekan-rekan dosen yang lain. Lucas sangat berpikiran terbuka dan tak pernah memedulikan orang-orang yang berpendapat buruk tentang hidupnya. Aku sering merasa kami ini mirip, meskipun Lucas jauh lebih dingin dariku.

TBC

IntersectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang