Mengapa sih hal-hal buruk selalu saja terjadi di waktu yang tidak tepat? Satu hari menjelang keberangkatanku ke Singapura, tiba-tiba saja Leo memberikanku kabar gila. Dia bilang orang tuanya berniat menjodohkannya dengan anak dari rekan bisnis ayahnya. Apa-apaan itu? Tentu saja aku langsung berang. Memang sih belum pasti terjadi, namun tentu saja aku merasa insecure.
"Keputusannya baru akan diambil ketika keluarga rekan bisnis ayahku kembali ke Indonesia. Dan itu masih dua bulan lagi. Sampai waktu itu datang, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membatalkan segala perjodohan konyol ini," katanya ketika kemarin ia datang ke rumahku untuk menjelaskan perihal kabar mengejutkan ini.
Aku menatapnya ragu sebelum kemudian menghela napas. "Aku nggak tahu apakah aku harus tetap optimis atau pasrah. Seharusnya kejadian seperti ini memang sudah kita prediksi sejak awal. Kita nggak akan pernah punya masa depan, Leo,"
Ada binar kekecewaan di matanya ketika mendengar perkataanku. "Kamu harus yakin, Lucas. Kalau kamu sendiri sudah menyerah dari awal, aku nggak akan mampu mengatasi semuanya sendirian. Aku butuh dukunganmu,"
Aku mengusap wajahku gusar. "Ya, ya. Nggak seharusnya aku pesimis. Lakukanlah sebisamu, Le. Lakukan yang terbaik untuk kita. Namun jika segalanya memang tak lagi bisa diubah, yah... mau bagaimana lagi,"
"Kamu tahu yang aku mau hanya denganmu, Lucas. Kamu tahu," ia menatap ke dalam kedua mataku.
"Aku juga, Leo. Sungguh kamu tahu aku juga,"
Dan malamnya ketika Leo sudah pulang dari rumahku, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Begitu banyak pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Dan pikiran-pikiran tersebut menyerbu masuk ke otakku dan membuatku terjaga hingga pukul tiga dinihari.
Subuh ketika aku dan Diandra bertemu di pool travel yang akan membawa kami ke Jakarta, ia memandangku curiga.
"Lo nggak tidur ya?" ia memperhatikan wajahku lekat.
"Emang kelihatan banget?" tanyaku.
"Iyalah, mata lo merah banget gitu. Ngapain aja sih sampe gak sempat tidur?"
Aku mendengus. "Ada lah. Lagi banyak pikiran aja,"
Melihat reaksiku yang terlihat enggan menjelaskan lebih jauh, Diandra pun akhirnya hanya merespon dengan anggukan kecil.
—
Jam setengah dua belas siang aku dan Diandra sudah mendarat di Singapura. Kami memilih taksi untuk mengantarkan kami ke hotel tempat kami menginap. Ngomong-ngomong, kami tidak jadi menginap di Marina, karena setelah kukonfirmasi kembali, ternyata semua kamar penuh. Jadilah kami menginap di Novotel di Clarke Quay. Sesampainya di kamar hotel aku langsung menghempaskan tubuhku ke ranjang. Hahh... nyamannya.
"Kita pesan makan siang lewat layanan kamar aja, ya. Nggak tega gue ngeliat kondisi lo mengenaskan gitu,"
Aku hanya mengangguk menanggapinya. Lalu kulihat Diandra menghubungi pihak hotel dan memesan beberapa jenis makanan yang tidak begitu aku dengar apa karena badanku terlalu lelah.
"Lucas, Lucas," Diandra bergumam lirih sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari. Mungkin ia penasaran dengan apa yang terjadi denganku namun ia enggan bertanya karena melihatku yang juga terlihat tak berniat bercerita.
45 menit kemudian makan siang kami datang. Diandra memesan risotto dan jus jeruk untukku dan sup tom yum serta greentea shake untuknya sendiri. Ia juga memesan dua pudding vanilla untuk dessert kami berdua. Aku mahan dengan sangat lahap. Aku baru ingat terakhir aku makan adalah kemarin malam sebelum Leo datang dan menjatuhkan kabar sialan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection
RomanceDua garis lurus yang bersisian seharusnya tidak akan pernah menemui titik temu, namun bagaimana jika takdir mempertemukannya dalam sebuah persimpangan?