Diandra: Let It Stay There

128 5 2
                                    

Waktu boarding masih satu jam lagi. Namun aku dan Lucas sudah berada di lounge Changi Airport. Aku menyesap iced americano-ku pelan. Kulirik Lucas, ia sedang membaca entah apa di iPad-nya. Tidak satu pun dari kami mengeluarkan suara. Tidak setelah kejadian nista yang terjadi pada kami berdua tadi malam.

Masih tercetak jelas di ingatanku betapa hinanya kondisiku ketika aku terbangun pagi tadi. Seluruh tubuhku nyeri dan diperparah dengan kenyataan bahwa aku terbangun tanpa sehelai benang pun melekat di sebelah seorang pria yang juga dalam keadaan tanpa busana. Aku bangkit perlahan dari tempat tidur dan memunguti semua pakaianku yang tercecer di lantai sekitar tempat tidur. Aku berjalan sambil sesekali meringis karena ngilu di bagian bawah tubuhku. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhku dengan air hangat. Semuanya terjadi terlalu cepat dan tiba-tiba sampai aku kesulitan memproses segalanya.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Lucas telah bangun dan sedang mengenakan celana pendeknya. Kami bertukar pandangan selama beberapa detik sebelum akhirnya sama-sama mengalihkan pandangan ke arah lain. Ada komunikasi non-verbal tercipta di antara kami yang intinya baik aku maupun dia tidak berniat untuk memulai percakapan. Lucas baru beranjak masuk ke kamar mandi ketika aku memilih pakaian di dalam koper.

Setelah selesai bersiap-siap, aku dan Lucas beranjak turun untuk check out dan sarapan di restaurant hotel. Bahkan ketika sarapan pun, tidak ada obrolan yang tercipta. Baik aku maupun Lucas tetap bungkam. Dan keadaan tersebut bertahan hingga sekarang.

Aku menghela napas berat. Aku masih tak habis pikir dengan apa yang telah terjadi antara aku dan Lucas. Tak pernah terpikirkan sebelumnya kejadian seperti ini akan menimpaku. Untuk orang-orang yang menganut budaya Barat, mungkin hal seperti ini bukanlah sesuatu yang besar. Namun untukku, apa yang terjadi ini bukanlah sesuatu yang kuanggap wajar. Bagaimana pun itu adalah yang pertama bagiku. Dan sesuatu yang kujaga itu hilang begitu saja dirampas oleh orang yang tak pernah kuduga. Aku memang tidak pernah berpikir untuk menikah dan memiliki seorang suami, namun tetap saja rasanya sangat salah ketika kehormatanku sebagai seorang perempuan terenggut oleh seseorang yang tidak seharusnya.

Aku melirik lagi ke arah Lucas. Ia masih mengutak-atik iPad-nya dalam diam. Namun pandangannya tidak fokus. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Apakah dia memikirkan tentang apa yang terjadidi antara kami atau sesuatu yang lain. Aku tak bisa menebak dari ekspresi wajahnya yang datar bahkan terkesan dingin itu.

--

Sesampainya di Bandung, aku dan Lucas langsung berpisah begitu kami selesai mengurus bagasi. Aku memang memilih penerbangan langsung ke bandara Husein Sastranegara dari Changi.

"Gue duluan, Di," katanya sebelum memasuki taksi yang akan membawanya pulang ke rumahnya.

Aku hanya mengangguk. Hanya itu komunikasi yang kami lakukan hari itu.

--

Keesokan harinya, aku kembali mengajar seperti biasa. Seharusnya Lucas juga. Namun sejak tadi pagi aku belum melihatnya di ruang dosen. Mungkin ia ada di laboraturium, atau perpustakaan, atau kantin, atau ... entahlah.

Pandanganku kembali terfokus pada mahasiswa-mahasiswaku yang sedang mengerjakan ujian akhir. Waktu sudah memasuki bulan Juni, yang berarti semester genap akan segera berakhir. Kuperhatikan satu per satu para mahasiswa di depanku. Ada yang fokus dengan lembar ujian di meja mereka, ada juga yang sesekali menengok ke teman sebelahnya. Biasanya aku sangat menentang keras kerja sama dan kasus mencontek pada saat ujian berlangsung, namun sekarang rasanya aku sedang tidak bergairah untuk marah-marah. Biar sajalah. Anggap kali ini aku memberikan mereka bonus.

Tepat waktu makan siang, aku menyudahi ujian akhir mata kuliahku.

"Kumpulkan kertas dan lembar jawaban kalian. Taruh di meja terdepan barisan kalian. Nanti saya yang mengambil. Yang sudah mengumpulkan lembar ujian, boleh meninggalkan ruangan," ucapku.

Satu per satu mahasiswa meninggalkan kelas. Menyisakan aku sendiri yang menyusun semua lembar jawaban para mahasiswa dan memasukkannya ke dalam amplop besar berwarna cokelat.

Dari kelas aku tak langsung ke ruang dosen melainkan langsung berbelok ke kantin. Aku lapar sekali. Dan aku baru ingat kalau terakhir kali aku makan adalah ketika kemarin aku sarapan di hotel bersama Lucas. Ngomong-ngomong tentang Lucas... dia tidak menghubungiku sama sekali sejak kemarin, juga sebaliknya. Aku sama sekali tidak berniat untuk menghubunginya duluan.

Suasana kantin siang ini padat sekali. Hanya menyisakan satu meja kosong di sudut ruangan yang letaknya agak tersembunyi. Tanpa pikir panjang aku pun melangkah ke sana dan memesan makanan. Sambil menunggu pesananku datang, aku mengecek sekilas lembar-lembar ujian mahasiswaku. Ada beberapa mahasiswa yang lupa menuliskan nama, dan hal itu membuatku mendengus. Menambah-nambah kerjaan saja.

"Tempat duduknya kosong, kan?"

Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi. Tanpa aku mendongak pun aku tahu itu suara siapa. Suara seseorang yang sebenarnya belum ingin aku temui untuk sekarang-sekarang ini. Lucas Ganesha. Tapi kalau sudah begini ya aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku mengangguk. "Nggak kok, Cas. Nggak ada orang," jawabku.

Bermenit-menit kemudian aku dan Lucas sudah menghabiskan makanan kami. Lalu suasana kembali seperti yang sudah-sudah.

Hening.

"Diandra..."

"Lucas..."

Aku dan Lucas berbicara berbarengan.

"Lo duluan, deh," kataku.

Ia berdehem pelan sebelum akhirnya bersuara.

"Soal kemarin... sorry," ucapnya pelan.

Aku menatapnya. Wajahnya masih datar namun aku bisa melihat seberkas perasaan menyesal di matanya.

"Kenapa minta maaf? Kan bukan salah lo," balasku.

Ia menghela napas. "Tapi kan awalnya gue yang ngajak lo ke tempat sialan itu,"

"Dan pada akhirnya gue kan yang memutuskan untuk mau ikut?"

"Tapi tetap aja, Di-"

"Udahlah, Cas. Gue nggak apa-apa kok," kataku memotong ucapannya. "Biar aja apa yang terjadi di sana, tetap tertinggal di sana. Nggak usah dibawa-bawa ke sini," lanjutku.

"Lo... serius?"

"Sangat. Nggak akan terjadi apapun. Percaya sama gue,"

Ia akhirnya mengangguk pasrah. "Oke kalo itu mau lo. We let what happened there, just stay there,"


TBC

IntersectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang