Diandra: Whelve

52 2 1
                                        


Mbok Minah dan Pak Haryo menyambutku begitu aku sampai di villa. Pak Haryo dengan sigap mengambil alih koper dan tasku untuk dibawanya menuju kamar yang aku tempati. Sementara Mbok Minah masih memasang wajah bahagia yang tak mampu ditutupinya. Aku pun mendekat dan memeluknya.

"Aku kangen sama Mbok," kataku sambil mengusap punggungnya.

"Mbok juga kangen sama mbak Didi," balasnya. Didi adalah panggilan kecilku.

Aku melepaskan pelukan kami dan duduk di sofa.

"Mau Mbok buatkan minuman apa, Mbak?" tanya Mbok Minah kemudian.

"Teh manis hangat aja, Mbok." Mbok Minah mengangguk lalu meninggalkanku menuju dapur.

Aku menghela napas berat. Pandanganku terarah menuju pemandangan sawah yang terhampar di depanku. Aku kembali teringat alasanku hingga memutuskan untuk datang jauh-jauh ke tempat ini. Alasan yang benar-benar membuatku ingin menghilang seketika. Dua minggu lalu aku akhirnya memberanikan diri untuk memeriksakan diriku ke dokter. Dan hal yang kutakutkan pun terjadi. Dokter bilang aku positif hamil. Aku tentu saja terkejut dan bingung. Otakku tidak bisa memikirkan apapun. Aku tak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi padaku.

Hingga sampai di apartemen pun aku masih tidak tahu harus bagaimana. Sempat terbersit niat untuk memberitahu Lucas, namun aku mengurungkan niatku itu. Aku pikir itu bukan cara yang bijaksana untuk kulakukan. Aku tahu mungkin saja Lucas akan bersedia bertanggung jawab. Namun aku juga tahu Lucas masih memiliki banyak hal-hal yang ingin dicapainya. Dan kupikir jika ia memutuskan bertanggung jawab, itu hanya akan menghambat kehidupannya. Aku juga tak tega jika memikirkan ia harus menghabiskan seluruh hidupnya bersamaku atas rasa tanggung jawab karena aku tahu dia sudah memiliki orang yang ia cintai.

Akhirnya aku pun memutuskan untuk merawat anakku sendirian karena tak sekalipun aku berpikir untuk menggugurkannya. Dan di sinilah aku sekarang. Di villa keluargaku yang berada di Ubud. Villa ini memang sudah diwariskan untukku, sehingga aku bebas datang kapan saja. Aku juga sudah membicarakannya dengan ibuku. Dan ibuku setuju untuk mengalihkan urusan villa kepadaku. Ia tak bertanya banyak tentang alasan mengapa aku tiba-tiba memutuskan berhenti bekerja di Bandung dan memutuskan ke Bali. Kurasa alasannya karena ia memang tak pernah benar-benar peduli.

Dan di sinilah aku sekarang. Melarikan diri dari kehidupanku sebelumnya dan memulai hidup baru bersama calon anakku kelak.

"Ini tehnya, Mbak," Mbok Minah datang dengan secangkir teh hangat di tangannya.

"Terima kasih, Mbok,"

"Mbok tinggal lagi, ya. Barang-barang Mbak Didi udah ditaruh di kamar atas. Mbak bisa langsung istirahat. Mbok mau belanja dulu untuk makan siang."

Aku tersenyum dan mengangguk. Mbok Minah pun berlalu.

Aku menyesap teh dari cangkir perlahan. Rasa hangat langsung mengalir hingga ke perutku. Seketika aku terhenyak. Kuletakkan kembali cangkir yang kupegang di meja. Aku menunduk dan mengusap perutku. Usianya baru lima minggu. Masih kecil sekali. Namun entah mengapa sejak aku tahu dia ada, aku selalu merasa tidak sendirian lagi. Aku tersenyum dan kembali mengusapnya pelan.

Cukup kita berdua aja. Cukup kita.


TBC

IntersectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang