Gelap. Rasanya aku sudah berjalan cukup jauh di lorong panjang yang seperti tidak ada habisnya ini, namun yang kutemukan hanyalah kegelapan yang tak berujung. Tubuhku menggigil kedinginan akibat udara yang tiba-tiba berubah. Ketakutan menyergapku dan membuatku ingin berlari sekencang mungkin. Aku berlari sambil berharap aku menemukan ujung dari lorong gelap ini. Namun yang terjadi selanjutnya adalah kakiku seketika melemas dan aku terjerembap. Lalu semuanya hilang.
--
Aku terbangun dengan napas memburu.
Mimpi itu lagi.
Sudah sejak kurang lebih satu tahun yang lalu aku sering sekali memimpikan hal yang sama. Mimpi yang bahkan aku tidak tahu apa artinya. Aku mengusap wajahku sekilas dan menengok ke sisi ranjang di sebelah kananku.
Sesosok wajah laki-laki kecil dengan bibir kecil dan merah serta alis tebal dan bulu mata yang panjang dan lentik. Pipinya yang tembam kemerahan membuat banyak orang gemas melihatnya. Putra kecilku. Namanya Biru Diwangkara Ganesha. Usianya baru tiga bulan namun tubuhnya dapat dikatakan besar untuk bayi seusianya. Aku mengusap rambutnya yang hitam dan lebat secara perlahan, takut ia terbangun. Aku memperhatikan wajah tenangnya yang tertidur dengan pulas. Semakin diperhatikan, wajahnya terlihat sangat familiar. Dia mirip sekali dengan ayahnya. Terkadang aku merasa sedih sekaligus bersalah setiap aku memandang Biru. Aku merasa sedih karena tidak bisa memberikan keluarga utuh seperti keluarga lainnya. Dan juga merasa bersalah karena aku telah memisahkannya dengan ayahnya. Dalam hal ini aku juga merasa bersalah terhadap Lucas. Namun setelah kupikir lagi, Lucas bahkan tidak tahu kalau Biru ada jadi seharusnya aku tak perlu merasa seperti itu. Lagipula aku yakin Lucas sudah melanjutkan hidupnya dengan tenang sekarang.
Waktu masih menunjukkan pukul 6 WITA namun aku beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Mimpi yang barusan kualami membuat tubuhku sedikit berkeringat sehingga aku memutuskan untuk mandi.
Setengah jam kemudian ketika aku keluar dari kamar mandi matahari sudah beranjak naik dan cahayanya masuk melalui pintu kaca di kamarku. Biru terlihat agak gelisah akibat sinar matahari yang menyinari wajahnya. Kalau sudah seperti itu biasanya tak lama lagi ia akan bangun. Aku memperhatikannya sambil berpakaian. Beberapa menit kemudian benar saja, dua matanya yang bulat dan seakan berkilau itu membuka perlahan. Ia mengubah posisi tidur dari yang tadinya telungkup menjadi telentang. Ketika matanya bertemu dengan mataku, kedua tangannya langsung menjulur. Minta digendong. Aku tersenyum dan langsung meraihnya ke dalam gendonganku. Aku ciumi setiap inci wajahnya sampai ia kegelian dan tertawa.
"Mas kecil sudah bangun, Mbak?" tanya Mbok Minah begitu aku sampai di ruang makan. Ia sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Mbok Minah memang memanggil Biru dengan sebutan "Mas Kecil" sejak ia lahir. Lucu katanya. Ketika aku tanya bagaimana kalau Biru nanti sudah besar, masa mau dipanggil 'Mas Kecil' terus? Mbok Minah malah menjawab itu bisa diganti nanti. Ya sudah aku terserah Mbok Minah sajalah.
"Udah nih, Mbok. Rajin bangun pagi dia," kataku.
"Ya bagus berarti, biar nanti kalau besar gak jadi pemalas," sahut Mbok Minah lagi. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Wah, Mbok masak nasi uduk?" tanyaku begitu melihat sajian di atas meja makan. Aromanya menggoda sekali. Biru yang ada di pangkuanku pun bergerak-gerak lincah karena penasaran dengan makanan yang ada di meja di depannya.
"Iya, Mbak. Udah lama nggak bikin. Mbok masih inget Mbak Didi kan dulu suka sekali nasi uduk bikinan Mbok,"
"Mbok emang paling ngerti aku deh," kataku senang. Biru tertawa. "Kayak ngerti aja kamu," kataku sambil menoel pipi tembamnya. Dan ia malah makin tertawa.
"Sini, Mbak, Mas Kecil Mbok yang pegang dulu. Mbak Didi sarapan saja," Mbok Minah mengulurkan kedua tangannya dan mengambil Biru dari pangkuanku. Aku kemudian mengisi piringku dengan nasi uduk buatan Mbok Minah beserta lauk-pauknya.
"Siang nanti jadi mau ke Kuta?" tanya Mbok Minah.
"Jadi, Mbok. Semoga nggak hujan. Aku mau ngajak Biru main ke pantai. Dia pasti bakal seneng lihat banyak orang," jawabku di tengah kunyahanku.
"Oh kalau gitu Mbok bilang ke Pak Haryo dulu biar bisa siap-siap," Mbok Minah pun berlalu dengan Biru di gendongannya meninggalkan aku yang sedang menikmati sarapanku.
--
Aku duduk di kursi malas beratapkan payung lebar di tepi pantai Kuta. Biru di pangkuanku terlihat sibuk dengan teether-nya. Dia terlihat tidak begitu lincah seperti sebelumnya, mungkin lelah akibat tadi kuajak bermain air pantai. Mbok Minah dan Pak Haryo duduk di kursi sebelahku. Mereka sedang menyiapkan bekal makanan yang dibawa dari rumah.
Mataku kembali tertuju ke arah pantai. Namun aku sedikit terhenyak ketika di kejauhan aku melihat sosok yang sangat aku kenal. Aku mengerjapkan mataku. Dan sosok itu menghilang.
Ah... mungkin hanya perasaanku saja.
TBC
![](https://img.wattpad.com/cover/41013482-288-k381729.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection
RomanceDua garis lurus yang bersisian seharusnya tidak akan pernah menemui titik temu, namun bagaimana jika takdir mempertemukannya dalam sebuah persimpangan?