Lucas: Happy Beer-day

103 7 3
                                    

Ada banyak yang berubah semenjak kejadian yang terjadi di Singapura. Terutama kepadaku dan Diandra. Tak terasa sudah tiga minggu berlalu sejak kepulanganku dan Diandra dari negara itu. Meskipun sudah disepakati bahwa kami berdua akan melupakan kejadian itu, jauh di dalam pikiranku, aku belum mampu melupakannya seutuhnya. Apa yang terjadi saat itu benar-benar di luar dugaan. Seandainya aku bisa lebih menahan diriku, mungkin kejadian tolol itu tidak akan terjadi. Entah apa yang terjadi pada tubuhku, aku sama sekali tak punya tenaga untuk menolak. Sentuhan Diandra membuatku bereaksi tak sewajarnya. Padahal sebelumnya aku belum pernah berhubungan seintim itu dengan seorang perempuan. Dan sekalinya terjadi, hal itu terjadi padaku dan Diandra. For God's sake! Diandra! Satu-satunya perempuan yang paling tidak mungkin terjebak dalam situasi gila semacam itu bersamaku.

Berkali-kali kuusap wajahku dengan kasar. Semua hal ini membuatku benar-benar merasa frustrasi. Seharusnya apa yang terjadi antara kami tidak lagi menjadi beban pikiranku, namun ada satu hal yang aku khawatirkan. Aku ingat saat itu aku tidak memakai pengaman. Bukan tidak mungkin hal itu akan berdampak sesuatu di kemudian hari. Bagaimana pun baik aku dan Diandra sudah sama-sama dewasa dan mampu untuk... yah, itu.

Getar ponselku menyadarkanku dari lamunanku. Aku mendengus begitu melihat siapa yang mengirimkan sebuah pesan LINE.

Leo Prananta:

Hari ini bisa bertemu?

Aku membalasnya tak lama kemudian.

Lucas Ganesha:

Ada apa? Aku sibuk. (read).

Tidak sampai satu menit, ia membalasnya.

Leo Prananta:

Sebentar saja, ada yang mau aku bicarakan.

Lucas Ganesha:
Jam 7. Starbucks di Jalan Gatot Subroto.
(read).

Leo Prananta:

Okay.

Aku menghembuskan napas lelah. Kulihat sekelilng ruang jurusan yang mulai sepi. Hanya menyisakan aku dan Bagas, dosen baru pengutamaan Sastra. Ia sedang membereskan kertas-kertas di mejanya dan membereskan semua peralatan di mejanya; laptop, buku-buku, dan alat tulis. Sepertinya ia sudah bersiap pulang.

"Saya duluan ya, mas Lucas," pamitnya.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Aku kemudian mulai membereskan barang-barangku sendiri dan memutuskan meninggalkan kampus. Hah... firasatku aku akan mendapatkan kabar tidak menyenangkan lainnya dari Leo hari ini.

--

Ketika aku sampai di Starbucks, kulihat Leo sudah duduk di salah satu meja di sudut coffee shop. Di atas mejanya ada satu cup minuman yang kuyakin isinya iced chocolate. Leo memang tak pernah menyukai kopi. Ia lebih suka cokelat atau hazelnut.

"Sorry, telat. Macet," kataku sedikit mengejutkannya.

"Oh, nggak apa-apa. Aku belum lama," balasnya.

"Jadi, ada apa?" tanyaku tanpa berbasa-basi.

"Kamu nggak mau pesan sesuatu dulu?" tanyanya. Aku tidak meresponnya, hanya tetap melihatnya dengan tatapan gue-nggak-mau-pesan-apapun-lo-mendingan-buruan-bilang-ada-apa.

Kulihat ia mendengus pelan. Hening beberapa saat sampai akhirnya ia mengangkat kepalanya yang tertunduk, menatapku.

"Pernikahannya nggak bisa dibatalkan," ucapnya pelan. Aku mendadak seperti terkena serangan jantung, namun kupertahankan wajah tanpa ekspresiku di depannya.

"Kenapa?" tanyaku datar.

"Perusahaan ayahku dan perusahaan teman bisnisnya itu sudah terikat kontrak kerjasama dan sekarang sedang melakukan proyek pembangunan hotel berbintang di Lombok. Dan kalau perjodohan ini batal, ada kemungkinan teman bisnis ayahku menggagalkan kerjasama dan menarik sahamnya dari perusahaan ayahku," jelasnya.

"Keluargamu nggak akan miskin hanya gara-gara itu," cetusku.

"Memang benar, tetapi ayahku tak mungkin membiarkan perusahaan yang susah payah dibangun oleh leluhur keluargaku perlahan-lahan hancur," tambahnya.

Hening.

"Tidak ada pilihan lain kalau begitu," ucapku akhirnya.

Leo sedikit tersentak. "Maksudmu?"

"Kita akhiri saja semuanya sampai di sini,"

"Kamu yakin, Lucas?" Wajahnya menyiratkan kekecewaan ketika ia mengatakannya.

Aku mengangguk. "Seperti yang pernah aku bilang, dari awal hubungan ini tidak akan pernah punya harapan,"

Aku kemudian berdiri dan menepuk pundaknya sekilas, sebelum meninggalkannya keluar kedai kopi. "Selamat tinggal, Le. Semoga kamu bahagia,"

--

Di dalam taksi yang akan membawaku ke rumah, aku sekuat tenaga menahan diri agar aku tidak memukul apapun dan meluapkan amarah dengan membabi buta. Akibatnya dadaku terasa sesak karena menahan emosi yang tak terlampiaskan. Di depan Leo tadi mungkin aku terlihat kuat, namun di dalam diriku sebenarnya aku sangat marah dan kecewa setengah mati. Kuambil hapeku dan men-dial nomor seseorang yang mungkin bisa membuatku lebih tenang. Teleponku diangkat pada nada sambung ketiga.

"Halo, Di. Lo di mana?"

--

Aku sekarang duduk di bar stool sebuah pub di daerah Setiabudi. Kuminum perlahan bir beralkohol rendah yang kupesan dari bartender. Lima belas menit kemudian Diandra datang dan langsung duduk di sebelahku.

"Kenapa?" tanyanya. Aku tak langsung menjawab, kusesap birku kembali sebelum mulai bercerita tentang Leo dari awal. Sebelumnya aku memang belum pernah menceritakan kisahku dan Leo kepada siapapun termasuk Diandra. Namun aku tahu Diandra tahu tentang orientasi seksualku. Begitupun aku yang mengetahui orientasi seksualnya.

Aku mulai menceritakan segalanya dari awal, tanpa ada detil yang kuhilangkan. Diandra menyimak ceritaku dan sesekali mengangguk tanda dia mengerti.

"Gue bingung mau berkomentar gimana. Mau ngasih kata-kata motivasi kayaknya malah bakal bikin lo makin bete," ia tertawa kecil sebelum melanjutkan, "memang susah, Cas, apalagi di Indonesia. Orang-orang yang bahkan lapis ke sekian di hidup kita, yang walaupun kalau keluarga kita menikah gak bakalan masuk daftar undangan, ikut nyinyir aja tentang apapun yang kita pilih. Terima ajalah, positive thinking aja. Kita gak pernah tau apa yang bakalan terjadi sama kita di masa depan, kan? Selalu saja ada hal yang gita duga bahkan gak kita inginkan hadir tiba-tiba tanpa permisi," di ujung kalimatnya kulihat Diandra seperti menerawang. Entah apa yang dipikirkannya.

Aku mengangguk. "Yah, mungkin. Semoga akan ada banyak hal-hal baik yang menunggu gue di masa depan," aku mengambil sebatang rokok dan menempatkannya di sela bibirku sebelum membakar ujungnya dengan lighter. Aku sebenarnya bukan perokok, namun di saat seperti ini rasanya menghisap satu atau dua batang tidak apa-apa.

"Rokok, Di?" tawarku sembari menyodorkan bungkus rokokku ke hadapannya. Yang kutahu Diandra adalah seorang perokok. Namun Diandra menggeleng. Aku mengedikkan bahuku. Mungkin dia sedang malas saja.

"Lo nggak pesan minum? Di sini alkoholnya pada rendah kok,"

"Nggak deh, lagi nggak pengen minum," katanya. Kuperhatikan wajahnya yang agak pucat, sepertinya jadwalnya memang agak padat akhir-akhir ini. "Gue mau ke toilet dulu, deh," katanya kemudian berjalan menuju toilet. Namun, baru beberapa langkah, tubuhnya tiba-tiba oleng.

"Diandra!"

Jika tidak berpegangan pada meja di dekatnya, mungkin ia sudah jatuh ke lantai.

"Lo nggak apa-apa?" tanyaku panik. Ia hanya menggeleng. Wajahnya yang pucat kini sedikit berkeringat.

"Kalo sakit gini harusnya lo bilang, nggak usah maksain diri dateng. Gue anterin pulang, ya?" Ia hanya mengangguk lemah sebelum tubuhnya aku papah menuju mobilnya.


TBC

IntersectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang