Aku berjalan menyusuri pantai Kuta. Suasananya sangat ramai karena kebetulan hari ini weekend, walaupun sebenarnya di hari biasa pun pantai ini tak pernah sepi pengunjung karena ini menjadi semacam tempat wajib yang dikunjungi oleh wisatawan. Kedatanganku ke pantai ini sebenarnya bukan karena aku ingin benar-benar berlibur tetapi aku hanya merindukan suasana pantai yang dulu sering aku kunjungi ketika aku masih tinggal di Bali. Aku juga sengaja datang sendiri. Tadi Levi menawarkan diri untuk menemaniku tetapi aku menolak. Aku bilang aku sedang ingin menjernihkan pikiran dengan jalan-jalan sendirian.
Setelah beberapa lama aku berjalan tak tentu arah, akhirnya aku duduk di salah satu kursi berpayung yang ada di tepi pantai. Aku menyusuri keadaan dengan pandanganku. Ada yang berenang, berselancar, berjemur, atau sekedar duduk-duduk seperti yang kulakukan. Namun yang pasti, mereka terlihat menikmati apapun yang mereka lakukan. Aku masih memerhatikan situasi di sekelilingku hingga mataku menangkap sosok perempuan yang begitu familiar. Dia duduk cukup jauh dariku. Ia memakai t-shirt longgar berwarna putih dan jeans pendek sementara rambut panjangnya ia ikat membentuk ekor kuda. Aku menajamkan pandanganku dan aku yakin sekali kalau itu memang dia.
Dadaku bergetar menahan gugup. Aku bangkit dari dudukku dan berniat menghampirinya. Semakin dekat, aku baru menyadari kalau di pangkuannya ada seorang bayi yang menyandar di dadanya. Tadi ketika aku melihatnya dari jauh, sebagian tubuh bagian depannya terhalangi oleh orang-orang yang duduk di sebelahnya. Namun kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Dia hanya ada beberapa meter di depanku dan sepertinya dia belum menyadari kehadiranku. Matanya terfokus pada bayi di pangkuannya yang terlihat mengantuk.
"Diandra..."
Ia mendongak dan seketika matanya melebar begitu melihatku. Aku tak tahu mengapa ia bereaksi begitu berlebihan ketika tahu akulah yang memanggilnya. Namun beberapa detik kemudian dia terlihat berusaha menguasai diri.
"Oh, hey, Lucas. Kok bisa di sini?" jawabnya masih belum bisa menutupi keterkejutannya. Ia mengubah posisinya yang tadinya duduk sambil setengah berbaring menjadi duduk sepenuhnya.
"Iya. Memang gue lagi ambil cuti terus pulang ke Bali,"kataku. Aku kemudian memerhatikan wajahnya. Satu tahun tidak bertemu, wajahnya masih sama. Pipinya sedikit berisi tetapi malah entah mengapa membuat auranya lebih cantik.
"Oh gitu,"
Lalu kami berdua diam. Aku bingung harus berkata apa. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Apa, kenapa, di mana, bagaimana. Tetapi tak satu pun keluar dari mulutku. Aku hanya menatapnya seperti aku baru mengenalnya saja. Dia pun tak berbeda jauh dariku. Bedanya ia tak menatapku. Matanya terfokus pada tangannya yang sedang memegang tangan kecil bayi di pangkuannya. Aku baru menyadari keadaan itu.
"Ini anak siapa, Di?" tanyaku membuka percakapan.
Sekali lagi ia terkejut. Lalu dengan sedikit ragu dia menjawab, "Oh? Ini anak gue,"
Kali ini giliran aku yang terkejut.
"You are married? Kok nggak bilang-bilang?"
"Nggak sempat, Cas. Waktu itu cuma keluarga saja yang diundang," jawabnya. Ia menggigit bibir bagian dalamnya. Mengenal Diandra bertahun-tahun, membuatku sadar kalau itu adalah kebisaannya ketika ia berbohong. Tetapi aku tak mau mencecarnya sekarang. Setidaknya tidak di tempat ini.
"Di, boleh minta waktu lo sebentar? Gue ingin ngobrol," kataku akhirnya.
"Ini kita kan lagi--"
"Maksud gue nggak di sini. Gue ingin ngobrol di tempat yang lebih tenang,"
Ia terlihat ragu sebelum akhirnya mengangguk. Ia menengok ke sebelahnya. Ada dua orang yang memang memerhatikan kami dari tadi tapi aku pikir mereka bukan siapa-siapa. Sampai Diandra menyerahkan bayi di pangkuannya ke perempuan paruh baya itu.
"Mbok, aku titip Biru sebentar ya. Mbok sama Bapak balik ke hotel duluan aja. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku," pesannya. Perempuan yang dipanggil 'Mbok' itu hanya mengangguk dan menatap aku dan Diandra dengan pandangan yang sulit aku artikan.
"Yuk, Cas," katanya sambil berjalan mendahuluiku.
Aku hanya mengangguk dan berjalan mengikutinya.
===
Aku dan Diandra tiba di kafe tak jauh dari pantai. Suasananya lumayan ramai tapi setidaknya lebih layak untuk dijadikan tempat bicara. Kami menempati satu meja di pojok lantai dua. Setelah memesan minuman, aku mulai membuka pembicaraan. Aku menarik napas sebelum bicara.
"Okay, gue sebenarnya nggak tahu harus mulai dari mana. Karena kepala gue sekarang penuh sama pertanyaan-pertanyaan yang ingin gue tanyain ke elo," kataku. "But let's start with this, where have you been, Di?"
"Bali," jawabnya tenang.
"Fine. Terus kenapa selama setahun ini lo ngilang gitu aja? Nggak ada yang tahu lo ke mana. Pesan-pesan gue juga nggak ada yang lo balas. Lo kenapa sih sebenarnya?" tanyaku tanpa repot-repot menyembunyikan rasa penasaranku.
"Gue nggak kenapa-kenapa. Cuma memang ada sesuatu yang terjadi dan gue susah untuk ngejelasinnya. Lo nggak akan ngerti,"
"No. Try me," tuntutku.
"Cas, please," katanya dengan pandangan memohon.
"Gue nggak ngerti, Diandra. Gue sama sekali nggak ngerti. Gue sadar sejak kita pulang dari Singapura itu sikap lo memang berubah. Ditambah tahu-tahu lo resign dari kampus tanpa ngabarin siapapun dan nggak bisa dihubungin sama sekali. Menurut lo itu wajar?" Aku memuntahkan keresahanku.
"Nggak semua hal harus lo mengerti, Lucas. Lagian kenapa harus repot-repot ngehubungin dan cari gue segala sih? Lo nggak harus buang-buang waktu kayak gitu,"
"You've got to be kidding me. Lo anggap gue apa sih, Di? Kita temenan udah bertahun-tahun, kita dekat. We practically know almost everything about each other. Bagian mana yang lo anggap buang-buang waktu ketika gue khawatirin temen deket gue sendiri?" tanyaku kesal.
Ia menghela napas. Ia mengusap ke belakang poni yang menutupi keningnya dengan gusar.
"Okay. Kalau gitu gue minta maaf karena udah bikin lo khawatir. But as you can see, gue baik-baik aja. Lo udah ketemu gue. Dan gue gak akan mengabaikan chat lo lagi. Lo bisa berhenti khawatir sekarang,"
Giliran aku yang menghela napas. Keadaan kembali hening sejenak sebelum aku kembali bertanya.
"Lo... benar-benar udah menikah?"
Aku menangkap sedikit keterkejutan di matanya tetapi ia menutupinya.
"Iya," Ia menggigit bibir dalamnya lagi. Dia kembali berbohong. Baik, aku ikuti perminannya.
"Terus suami lo mana? Kok nggak ikut sama lo?" tanyaku.
"Dia kerja di luar kota," jawabnya sedikit menggumam.
"Sejauh mana?"
"Euh... kadang masih di Bali, kadang ke luar--"
"Maksud gue, sampai sejauh mana lo mau bohongin gue dengan cerita lo ini?" potongku.
Ia memejamkan matanya. Merasa tertangkap basah.
"Come on, Di. Kita sama-sama tahu 'keadaan' masing-masing. Lo pikir segampang itu gue akan percaya dengan cerita kayak gini?" tanyaku akhirnya.
Diandra hanya menunduk.
"Jadi, lo nggak menikah. Terus yang lo bilang anak lo tadi adalah...?"
"Dia memang anak gue,"
"Wait, gue nggak ngerti. Lo bilang dia anak lo tapi kan lo nggak menikah... wait, wait... how old is he?" seketika sebuah pemikiran liar masuk ke otakku.
Wajah Diandra berubah sedikit panik.
"Nggak, Lucas. Bukan gitu--"
"How old is he, Diandra?" ulangku tajam.
Diandra menghela napas lelah.
"He's three months-old,"
Otakku mulai berhitung dan...
"Goddamit, Diandra. Is he mine?!"
-TBC-
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection
RomanceDua garis lurus yang bersisian seharusnya tidak akan pernah menemui titik temu, namun bagaimana jika takdir mempertemukannya dalam sebuah persimpangan?