Aku berjalan memasuki gang menuju rumahku setelah turun dari mobil Diandra dan menyerahkan kemudi kembali padanya. Aku memang tidak mempunyai mobil di sini. Setiap hari aku ke kampus menggunakan kendaraan umum. Bukannya aku tidak mampu membeli, uang tabunganku dari gaji sebagai dosen serta bayaran yang cukup tinggi dari menjadi penerjemah dan interpreter selama bertahun-tahun sangat cukup untuk membeli mobil. Namun aku pikir aku tidak begitu membutuhkan mobil, toh aku menikmati kemana-mana menggunakan angkutan umum.
Jam menunjukkan pukul sembilan. Belum terlalu malam. Pantas saja daerah di sekitar rumahku belum begitu sepi. Masih ada beberapa penjual makanan dengan gerobak-gerobak mereka yang mangkal dekat pos ronda.
Aku langsung melempar tasku ke tempat tidur sesampainya aku di kamar. Aku berjalan masuk ke kamar mandi dan menanggalkan semua pakaianku sebelum aku akhirnya mengguyur tubuhku dengan air hangat. Ahh... segarnya. Rasa penatku rasanya langsung hilang ketika bulir-bulir air hangat itu menyentuh permukaan kulitku.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku menggelar sajadah yang ada di kamar untuk shalat Isya yang belum sempat aku tunaikan. Walaupun aku bukan orang yang alim, setidaknya aku selalu berusaha untuk tidak meninggalkan shalat lima waktu. Yah, walaupun di luar sana aku tetap saja melakukan banyak dosa besar sepeti minum minuman beralkohol dan melakukan hubungan terlarang. Tapi ya sudahlah, ibadahku diterima atau tidak kan urusanku dengan Tuhan;
Seusai shalat, aku mengecek hapeku yang sejak sore tadi belum sempat aku cek. Ada satu pesan LINE masuk. Dari Leo.
Leo Prananta:
Sudah sampai di rumah? Kabari aku kalau sudah.
Aku pun mengetikkan balasannya dengan cepat.
Lucas Ganesha:
Sudah, baru saja sampai. (read)
Ia membalasnya lagi tak kurang dari dua menit.
Leo Prananta:
Jangan lupa makan. Nanti maag-mu kambuh.
Lucas Ganesha:
Ya, kamu juga. (read)
Kulempar hapeku ke tempat tidur dengan asal ketika aku membaringkan tubuh. Kupijit pelan kepalaku yang terasa sedikit pusing. Pasti karena akhir-akhir ini aku terlalu banyak mengonsumsi kafein dan kurang tidur. Kuambil lagi hapeku dan kulihat obrolanku dengan Leo. Tidak dibalas, hanya dibaca saja.
Leo Prananta. Dia adalah teman laki-laki yang paling dekat denganku. Teman dekat—jika sebutan kekasih terlalu menjijikan untuk menyebut status antara dua laki-laki. Aku mengenal Leo sejak empat tahun lalu. Semuanya berawal dari penelitianku tentang faktor yang menyebabkan orang-orang melakukan hubungan sesama jenis. Waktu itu, salah satu temanku mengenalkan aku dengan Leo. Leo secara terang-terangan mengaku kalau ia adalah gay tanpa merasa sungkan sedikit pun. Aku merasa hal tersebut adalah hal baik untuk penelitianku. Seiring berjalannya penelitianku, waktu yang aku habiskan bersama Leo pun semakin sering. Yang awalnya hanya melakukan wawancara, kemudian berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya yang sama sekali tidak berhubungan dengan penelitian untuk jurnalku. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat nyaman berbicara tentang apa saja dengan seseorang. Entah itu tentang olahraga, fotografi, traveling, sampai tentang masalah pribadi. Leo mempunyai sudut pandang yang berbeda dari orang kebanyakan. Leo adalah pendengar yang baik. Ia tak pernah memotong perkataanku sebelum aku selesai berbicara.
Ah, mengingat dulu, aku malah jadi teringat yang lain. Sesuatu yang pada akhirnya mengubah orientasi seksualku. Pada saat itu, aku baru saja mendapatkan kabar yang membuatku seperti disambar petir di siang bolong. Perempuan yang lebih dari lima tahun aku kencani, tiba-tiba saja kudengar akan menikah kurang dari seminggu lagi. Padahal selama kami menjalin hubungan, belum pernah ada masalah yang berarti. Hingga di suatu waktu ia menanyakan tentang kelanjutan hubungan kami, mau dibawa ke mana hubungan ini. Seharusnya aku mudah saja menjawabnya, jika saja hubungan kami tak terganjal restu orang tuaku. Kala itu aku memintanya menungguku selama sebulan untuk meyakinkan orang tuaku dan meminta mereka untuk merestui hubungan kami. Tiga minggu aku berhasil mendapatkannya, namun ketika aku kembali ke Bandung malah kabar buruk yang kudengar. Ia keburu dijodohkan oleh orang tuanya. Ia bilang orang tuanya tak sabar menungguku yang tak kunjung memberi kepastian. Dan sebagai anak satu-satunya, mantan kekasihku itu tak mampu menolak permintaan orang tuanya. Aku sangat kecewa dan sakit hati. Restu yang dengan susah payah aku dapatkan dari orang tuaku pada akhirnya tidak berarti apa-apa.
Aku sangat stress dan hampir depresi saat itu, hingga Leo datang di saat yang tepat. Aku menceritakan segalanya kepada Leo. Ia sama sekali tak terlihat mengasihaniku, justru ia yang membantuku bangkit dari keterpurukan. Dari situlah segalanya berjalan lebih jauh. Aku sangat menikmati waktu-waktu yang sangat jarang di mana aku bisa bersama Leo, mengingat pekerjaan Leo sebagai senior manager di sebuah bank swasta di Bandung yang lumayan menyita waktunya untuk bertemu denganku.
Hapeku bergetar menandakan ada pesan masuk. Kukira dari Leo, namun ternyata bukan. Itu adalah LINE dari Diandra.
Diandra Barata:
Cas, lo udah cek email? Ada email dari pak Ibrahim. Kita disuruh ikutan seminar di Singapura bulan depan.
Aku langsung mengecek kotak masuk email-ku. Ternyata benar, ketua jurusan kami, pak Ibrahim, mengutus aku dan Diandra untuk mengikuti workshop Linguistik se-ASEAN di Singapura bulan depan.
Lucas Ganesha:
Iya, ini barusan gue buka email-nya. Cuma kita berdua aja nih yang berangkat? (read)
Diandra Barata:
Gue tadi udah nanya pak Ibrahim, katanya memang cuma kita berdua yang berangkat. Soalnya dosen lain pada nggak available.
Lucas Ganesha:
Hahh.. berarti harus booking tiket dari sekarang dong. High season gini pasti harga bakal gila banget naiknya kalo mesen gak dari jauh2 hari. (read)
Diandra Barata:
Nanti tiket pesawat biar gue yang urus, lo bagian booking hotel ya.
Lucas Ganesha:
Oke, sip. Besok kita omongin di kampus aja. (read)
Diandra Barata:
Sip.
Aku menghela napas. Lumayan juga dapat jatah tugas ke luar negeri. Setidaknya bisa sebagai pelarian sementaraku dari deadline-deadline pekerjaan yang mencekik. Ah, sudahlah, masih bulan depan. Sekarang yang paling aku butuhkan adalah tidur sebelum sakit di kepalaku semakin menjadi.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Intersection
RomansaDua garis lurus yang bersisian seharusnya tidak akan pernah menemui titik temu, namun bagaimana jika takdir mempertemukannya dalam sebuah persimpangan?