Bab 3

11.9K 894 26
                                    

Mencari celah dengan berpura-pura buta mungkin akan memuluskan rencana Adara untuk kabur. Dia tahu rencananya memang sekonyol itu. Tapi Adara tak memiliki pilihan. Di antara rasa takutnya, dan tubuhnya yang lemah, dia menatap wanita yang sempat memberinya makan—beberapa waktu lalu—tergeletak di lantai karena pingsan.

Di samping itu, Adara menyimpan kayu di tangannya ke pinggiran ranjang. Adara melangkah keluar kamar dengan mengendap-ngendap. Kedua matanya bergerak ke sana kemari, mengawasi. Tiap kakinya menginjak lantai marmer yang dingin, saat itu juga Adara yakin dia kehilangan napasnya.

Mansion itu luas. Pencahayaannya kurang. Semua ruangan tidak terlihat bersinar di matanya. Tapi Adara sadar apa yang dia pijakki sekarang adalah istana yang megah. Silau benda-benda antik sempat membalas tatapannya. Dan benda seperti itu juga ada di mansionnya.

Lalu... penculik mana yang memiliki kemewahan sebagus ini? Selain itu, tempat di mana Adara dikurung adalah kamar yang mewah. Adara sadar disela-sela dia memukul wanita tadi dan berhasil melepaskan rantai di kakinya.

"Kau tersesat gadis buta?"

Adara merasakan cengkraman kasar di lehernya. Tubuhnya tersentak ke belakang dan ia nyaris terhuyung. Napasnya untuk beberapa saat seperti ditarik paksa.

Sebelum bibir Adara terbuka untuk menjawab, Adara merasakan tekanan lain di sisi kepalanya. Benda dingin yang sebelumnya dia rasakan mendarat di kening, kini beralih di sana. Tekanannya cukup kuat. Seperti tanpa ditarik pelatuknya, pistol itu dipaksa untuk membelah kepala Adara.

Tubuh Adara yang lemah bergetar seketika. Ketakutannya kian menjadi-jadi. Dan dia panik. Adara akan mati. Mungkin detik-detik waktunya yang tersisa saat ini hanya untuk meringis pelan.
Atau sekadar menahan napas sebelum pria di belakang tubuhnya, benar-benar menarik pelatuknya. Tapi ternyata, setelah memejamkan mata untuk beberapa detik, dilingkupi ketakutan yang luar biasa, Adara tak merasakan apa pun.

"Kau pikir... kau bisa kabur dariku?"

Bibir Adara bergetar. "Tolong," lirihnya di antara rasa lemah yang dia rasakan. Dia sendiri dapat merasakan napasnya yang panas. Juga perih di lehernya.

"Tolong lepaskan aku," isaknya.

Adara tidak tahu reaksi apa yang diberikan pria itu di belakang tubuhnya. Yang dia rasakan hanya suhu tubuhnya yang beradu halus dengan suhu tubuh Adara. Dingin dan panas. Kuat dan lemah.

"Aku tidak memiliki apa pun, kumohon..." Air mata Adara menetes perlahan. "Ayahku... dia mungkin bisa membayar jika—"

Suara itu penuh tekanan. Dalam dan napasnya menggelitik pundak Adara. "Sekalipun Ayahmu memberikan sebongkah berlian untukku..."

"Aku lebih memilihmu dan menyiksamu perlahan."

Adara mengerjap. Tubuhnya tiba-tiba didorong paksa ke depan. Dia diharuskan berjalan ke tempat semula dengan pria itu yang mengikutinya. Dan tentu pistol yang masih menekan kepalanya.

"Jalan, sebelum aku membunuhmu sekarang."

Adara menggeleng. "Tidak, lepaskan aku!" Dia berontak di dalam tekanan Kyran. Meskipun tubuhnya kian melemah, Adara terus berontak.

Adara berusaha untuk berlari dengan kakinya yang bergetar. Namun, keberhasilannya hanya nol persen ketika dia ditarik kasar kembali. Tatkala cengkraman di pundaknya nyaris meremukkan tulangnya, pandangan Adara berkunang-kunang.

Tubuh Adara luruh. Semuanya berubah gelap. Kyran menangkapnya dan Adara pingsan di pelukannya.

"Gadis sialan," desis Kyran menggendong Adara menuju kamar.

"Aku seharusnya memenggal kepalamu dan mengirimkannya pada Avram."

Kyran tahu tubuh Adara panas. Dia benci mengakuinya bahwa hatinya sedikit tergerak untuk tak melingkarkan rantai di kakinya. Kyran menjauh. Menatap Adara yang terlelap di atas ranjang. Tatapannya dingin tak terbaca.

Sinful EnfireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang