Bab 2

14.8K 1.2K 54
                                    

DILARANG KERAS MENJIPLAK KARYA TILLY D; MENGUTIP SEBAGIAN, MENYALIN, MENGAMBIL INSPIRASI PENUH, MENGGANTI JUDUL; NAMA TOKOH, ALUR. BAIK DISENGAJA MAUPUN TIDAK DISENGAJA. CERITA INI MEMILIKI HAK CIPTA.-Tilly D

***

Ketika Adara terjaga, dia tahu semuanya masih sama; gelap dan dingin. Adara tak dapat melihat di mana dirinya berada karena kain itu masih menutup kedua matanya. Dan semakin Adara berusaha, rasa dingin itu menyergap diiringi rasa panas—yang nyaris terasa membakar—ke seluruh tubuhnya.

Tenggorokannya kering. Adara membutuhkan sesuatu agar dia dapat berkata. Dia tak tahu berapa lama akan terikat di sini. Bahkan kini, Adara merasakan sesuatu yang berat melingkari kaki kanannya.

Air matanya memaksa untuk melesak keluar. Adara tertunduk sedalam-dalamnya. Dia ingin pulang. Dia ingin bertemu dengan Ayahnya. Adara menyesal meninggalkan mansion malam itu. Jika waktu dapat diputar kembali, Adara memilih agar Violet membencinya karena Adara tak menghadiri konser pertamanya.

Napas Adara tersendat. Ia berusaha meraba-raba sekitarnya. Tubuhnya sekarang menggigil. Luka sayatan di lehernya membuat demam Adara bertambah parah. Sedikit saja bergerak, Adara akan merasakan luka itu menyiksanya perlahan.

"Tolong," Adara merintih dengan suara serak. "Tolong keluarkan aku dari sini." Meskipun mulutnya disumpal dengan kain, Adara tak menyerah untuk berusaha.

"Tol—" Suaranya tertelan tatkala suara pintu yang dibuka perlahan terdengar.

Oh God.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Adara membayangkan detik-detik kematiannya lebih cepat. Atau dia akan mendapatkan penyiksaan baru selain sayatan di leher. Orang-orang yang menculiknya mungkin akan melakukan sesuatu yang lebih buruk.

Adara memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menabrak dinding. Dia tak ingin ditempatkan di tempat sebelumnya. Adara masih merekam dengan jelas bagaimana alat-alat tajam itu menghiasi tiap dinding. Kemudian, dia melihat pria-pria berpakain serba hitam di sekelilingnya. Dan si penyayat lehernya...

Meskipun samar, Adara yakin pria itu berperawakan paling mengerikan. Tubuhnya menjulang tinggi menutupi pandangan Adara. Dalam benaknya, Adara membayangkan betapa dinginnya pria itu hingga suaranya mendominasi.

"Nona Adara." Adara tersentak mendengar suaranya dipanggil begitu pelan. Dia mengerjap.

"Nona, saya adalah Sanorah." Wanita itu membuka penutup mata Adara, tapi tidak dengan mulutnya. Seketika Adara melihat sekelilingnya. Tempat ini tidak kalah gelapnya dengan tempat sebelumnya. Lalu pandangan Adara berhenti pada Sanorah.

"Saya membawa makanan untuk Anda." Sanorah menunjukan nampan di hadapannya. Apa Adara akan diracuni?

Menyadari pandangan Adara, Sanorah tersenyum lembut. "Anda tidak perlu khawatir. Saya akan mencobanya jika Anda curiga." Dengan sendok yang lain, Sanorah mencicipi hidangan itu satu per satu di hadapan Adara.

Adara tak yakin. Tapi sepertinya wanita itu cukup baik. Senyumannya tampak tulus. Maka dia memutuskan untuk memandang dalam diam.

"Saya akan melepaskan penutup mulut Anda, dan berjanjilah untuk tidak berteriak." Sanorah menatap Adara masih dengan senyuman di bibirnya. "Jika Anda berteriak..." Senyuman Sanorah memudar seiring besi dingin ditekan di kepala Adara.

Penutup mulut Adara dilepas. Dengan air mata yang berlinang, Adara menatap hidangan di hadapannya.

"Saya akan menarik pelatuk ini." Masih dengan menyodorkan pistol di kepala Adara, Sanorah melepaskan ikatan tangan Adara, tapi hanya tangan kanan.

Sinful EnfireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang