"Halo semuanya, perkenalkan nama saya Renata Putri Anindya. Kalian bisa panggil saya Rena, saya pindahan dari Jakarta. Ada yang ingin ditanyakan?" Rena memperkenalkan diri di depan kelas, dihadapan teman-teman barunya.
"Rena udah punya pacar belum?" tanya seorang siswa yang duduk di barisan paling depan.
Rena tersenyum sambil memamerkan barisan giginya yang rapi. "Belum," jawabnya santai.
"Gue boleh daftar, kan, Rena?" Kali ini siswa yang duduk di bangku pojok yang bertanya kepada Rena.
"Jangan mau sama Tito, dia jarang mandi!" teriak seorang cewek.
Orang-orang tertawa mendengar ucapan cewek itu. Membuat Ibu Guru menggelengkan kepala. "Sudah, jangan seperti itu. Rena, kamu boleh duduk disana," kata Bu Dini sambil menunjuk salah satu bangku kosong.
"Hai, Rena. Gue seneng kita bisa satu kelas, gue kira lo cuma bercanda waktu bilang mau sekolah di sini," ujar Sally-teman sebangku Rena.
Rena dan Sally memang sudah lama saling mengenal, mereka adalah teman sewaktu SMP. Sally ikut orang tuanya pindah ke Bandung, karena ayahnya harus pindah tugas. Sedangkan Rena tetap sekolah di Jakarta untuk menemani kakaknya yang kuliah di sana. Rena dan kakak laki-lakinya sangat dekat, sehingga sewaktu kakaknya memutuskan untuk kuliah di Jakarta, Rena juga meminta izin kepada orang tuanya untuk ikut dengan kakaknya. Orang tua Rena pun mengizinkan, karena Rena dan kakaknya akan tinggal bersama nenek mereka.
"Nggak kok, lagian kan, emang dari dulu gue tinggal di Bandung. Abang gue juga udah selesai kuliah, jadi kita pulang," jawab Rena.
"Oh, iya. Gimana kabar abang lo yang ganteng itu?" tanya Sally.
"Baik, dia tambah ganteng lho, sekarang." Rena mengeluarkan alat tulis dari dalam tasnya, lalu mulai membuka halaman yang sudah disebutkan oleh Bu Dini.
"Wah, gue jadi gak sabar pengin main ke rumah lo," kata Sally sambil mengguncang-guncang lengan Rena.
"Iya, tapi sekarang kita belajar dulu, ya. Tuh, Bu Dini udah mulai menjelaskan materi," kata Rena dan akhirnya mereka fokus belajar.
***
Begitu bel istirahat berbunyi, seluruh siswa langsung berhamburan keluar kelas. "Ren, kita ke kantin, yuk," ajak Sally. Rena mengangguk, kemudian berjalan mengikuti Sally.
Begitu sampai di kantin, Rena memerhatikan suasana kantin yang cukup ramai, dia melihat seorang cewek yang mengusir sekelompok orang yang sedang mengobrol di salah satu bangku dekat jendela yang menghadap ke lapang basket.
"Sal, dia itu sekelas sama kita, kan? Gue gak suka sama sikapnya, emangnya dia siapa, sih?" tanya Rena.
"Itu Celin, dia emang sok berkuasa di sini. Mentang-mentang anak kepala sekolah, dia jadi bersikap seenaknya kayak gitu," jawab Sally sambil menarik Rena untuk duduk.
Selama ulah Celin tidak melebihi batas, Rena akan membiarkannya. Tapi, jika Celin sudah bersikap keterlaluan, maka Rena akan turun tangan untuk menghentikannya, Rena pasti menegur Celin, karena sejak kecil Rena tidak menyukai ketidak adilan.
"Ren, gue mau pesan nasi goreng sama jus lemon, lo mau pesan apa? Biar sekalian gue pesankan?" tanya Sally.
"Sama aja, deh," ujar Rena. "Gak apa-apa cuma lo sendirian yang pesan?"
Sally terkekeh lalu mengibaskan tangannya. "Elah, Rena. Kayak sama siapa aja, santai aja keles," jawab Sally.
Setelah memesan makanan untuk mereka berdua, Sally duduk di bangkunya bersama Rena, membicarakan mengenai masa SMP mereka. Waktu itu, Sally sangat sering bermain ke rumah Rena karena dia ingin bertemu dengan kakak Rena. Sedari dulu Sally selalu berkata, suatu saat nanti mereka akan menjadi saudara. Walaupun Rena berkata bahwa dengan kebersamaan mereka pun, persaudaraan diantara mereka sudah terjalin, tapi Sally selalu mengatakan, "Bukan seperti itu, Ren." Namun, ketika Rena menanyakan alasan Sally selalu mengatakan hal itu, Sally hanya menjawab kalau itu hanya feeling-nya saja.
Di tengah obrolan mereka, Sally memerhatikan Rena kemudian berkata, "Eh, Ren. Gue baru sadar, kalau lo berubah total, lo jadi kayak cewek beneran."
Rena mengusap wajah Sally dengan sedikit gemas. "Enak aja lo, dari dulu gue beneran cewek, tau! Eh, Sal...," ujar Rena, "lo gak mau mengubah penampilan lo, jadi lebih feminin, gitu?"
Sally menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, kemudian dia memiringkan kepala sambil tersenyum lebar. "Sebenernya ... gue mau, tapi gue belum siap sama apa yang bakal orang lain bilang tentang perubahan gue."
Begitu mendengar jawaban Sally, Rena malah tertawa membuat Sally mengerutkan keningnya. "Lho, kenapa lo ketawa? Emangnya ada yang lucu?" tanya Sally polos.
Rena berhenti tertawa, kemudian menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. "Sally, lo itu cantik. Kalaupun ada orang yang ngebicarain perubahan lo, pasti yang mereka ucapin adalah hal yang positif," jawab Rena sambil menatap manik mata Sally, supaya sahabatnya itu percaya dengan apa yang barusan dia katakan.
Sally merasa bimbang menerima usul itu. Di satu sisi dia belum siap, namun, di sisi lain dia ingin membuat seseorang memandang dirinya. Tapi Sally masih membutuhkan sedikit waktu untuk memikirkannya.
"Permisi, ini nasi goreng dan jus lemon pesanannya," kata Ibu penjual nasi goreng.
"Makasih, Bu," ucap Rena dan Sally secara bersamaan.
Sepertinya Rena tahu apa yang ada di pikiran sahabatnya itu, sehingga dia tidak lagi membahas masalah tadi, dan akhirnya mereka makan dalam diam. Saat mereka makan, Rena memerhatikan Sally yang terus menoleh ke sebelah kiri sambil sesekali tersenyum. Karena penasaran, Rena pun mengikuti arah pandangan Sally.
Ternyata Sally sedang memerhatikan sekelompok siswa yang sedang makan sambil mengobrol. Tapi Rena merasa bingung, siapa yang menjadi fokus utama Sally, hingga akhirya Rena bertanya, "Sal, lo lagi liatin siapa, sih?"
Sally tersenyum sambil terus memandang sekelompok siswa itu, dan tanpa sadar dia pun menjawab, "Fiko."
"Cieee ... Sally lagi jatuh cinta," goda Rena sambil mencolek dagu Sally.
Setelah sadar apa yang sudah dia katakan, Sally memalingkan wajahnya, dan terlihat salah tingkah. "E-enggak, kok!" kilah Sally, padahal Rena bisa melihat rona merah di pipi Sally.
"Gue percaya sama perkataan pertama, karena yang pertama diucapkan, bisanya itu yang benar," jawab Rena.
Rena terus saja menggoda Sally sampai wajahnya merah. Namun sayang, sampai sekarang dia belum mengetahui yang mana Fiko. Tak lama kemudian segerombolan siswa-yang salah satu diantaranya adalah Fiko-berdiri lalu berjalan meninggalkan kantin.
Rena terus memerhatikan mereka, sambil menerka siapa yang bernama Fiko. Tapi sepertinya Rena harus mencari tahu sendiri, karena tidak ada satu orang pun diantara mereka yang menyebutkan nama Fiko.
"Fiko! Bola basket lo ketinggalan," ujar seorang siswa berkacamata.
Seorang cowok menoleh ke belakang, dan saat itu juga Rena tahu siapa yang bernama Fiko. Fiko mengisyaratkan kepada si kacamata untuk melemparkan bola tersebut. Karena saat itu kantin sudah cukup lengang, si kacamata melemparkan bola itu kepada Fiko. Dan, hap, Fiko menerima bola itu dengan tangkapan sempurna. Oleh karena itu, Rena bisa mengetahui bahwa Fiko mahir berolahraga.
Setelah Fiko dan teman-temannya pergi, Rena mengajak Sally kembali ke kelas, karena sepuluh menit lagi bel masuk akan segera berbunyi. Sambil berjalan menuju kelas, Rena tersenyum sembari memikirkan sebuah cara untuk mendekatkan Sally dan Fiko.
Halo, kubawa chapter baru lg nih. Semoga kalian suka ya^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Feelings
Teen FictionSekarang kita bisa saja mengatakan kalau kita menyukainya. Besok, bisa jadi kita mengatakan kalau kita sudah tidak lagi menyukainya. Tidak ada yang tahu seberapa lama kita akan menyukai seseorang. Namun, seiring berjalannya waktu, kita pasti mengeta...