12. Kebenaran

38 3 4
                                    

Sally terbahak-bahak sementara Reno kebingungan melihatnya. Kenapa tiba-tiba Sally tertawa seperti itu? Apakah salah kalau Reno khawatir mengetahui kebenaran kalau Celin lah yang tempo hari menolongnya. "Lo kenapa?" tanya Reno.

"Sumpeh, muke lu kocak, Ren!"

"Gue kaget aja ternyata Celin yang nolongin gue tempo hari. Gue takut dia minta imbalan. Gimana kalau dia minta gue jadi pacarnya? Kan serem." Reno bergidik ketika membayangkan Celin menjadi pacarnya, bisa-bisa kemanapun ia pergi Celin akan terus membuntutinya. "Tapi kenapa lo malah ketawa?"

"Lo sih, main percaya aja sama apa yang gue omongin barusan. Lagian, ya, mana mungkin cewek model Celin mau repot-repot minjemin jaketnya ke gue."

"Jadi yang nolongin gue bukan Celin?"

Sally menggeleng. "Gue nggak tau siapa orang yang pernah nolongin lo, tapi, yang jelas jaket itu punya Rena. Bisa aja, kan, Rena minjemin jaketnya ke Celin? Soalnya tempo hari dia minjemin jaketnya ke gue, dan waktu mau gue balikin, baju seragam gue robek, jadi terpaksa gue pakai lagi jaket itu dan kebetulan waktu itu lo liat gue."

Reno tersenyum cerah, dia merasa senang mengetahui kebenaran, kalau Rena lah malaikat penolongnya. Tapi, sekarang masalahnya adalah cewek itu terlihat dekat dengan Pak Alvin. Bisa saja Rena menyukai Pak Alvin, jarak usia mereka bahkan tidak terlalu jauh, mungkin tujuh atau delapan tahun. Dan Reno tahu kalau zaman sekarang di novel-novel banyak sekali cerita tentang anak SMA yang dijodohkan dengan orang yang lebih dewasa. Seperti novel milik Amel--teman sekelasnya. Ketika Reno bertanya bacaan apa yang asyik dia baca, sampai-sampai Amel dimari oleh gurunya karena membaca novel ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Dan, dengan santainya Amel menjawab kalau itu cerita anak SMA yang dijodohkan dengan guru muda di sekolahnya, Amel juga bilang dia berharap kisahnya bisa sama seperti novel yang ia baca.

Dan satu lagi. Setelah kedatangan Pak Alvin, Amel semakin sering berkhayal. Ia selalu mengatakan kalau ia berharap kakeknya dan kakek Pak Alvin adalah sahabat, dan Amel berharap ia dan Pak Alvin dijodohkan. Sungguh aneh.

***

"Enak, kan, Kak?" tanya Rena setelah menghabiskan es krim stroberinya, dan masih ada dua es krim yang mengantre untuk dihabiskan.

Alvin mengangguk atusias. "Boleh juga selera lo, nggak nyesel deh gue tau tempat ini. Nanti gue bawa cewek gue ke sini, gue ajak makan es krim sepuasnya."

"Emang Kakak udah punya pacar?" tanya Rena meremehkan.

Alvin tersenyum kikuk. "Belum sih, tapi yang ngantre banyak lah, Dek. Kalau gue pengin punya pacar mah gampang, tinggal comot satu, beres, deh."

Rena memukul tengan kakakknya gemas, tidak terima dengan perkataannya barusan. "Comot-comot, emangnya makanan dicomot. Kakak nggak boleh gitu sama cewek! Kalau Kakak mainin cewek seenaknya, gimana kalau kena karma?"

"Bukan gitu, Dek. Itu kan cuma perumpamaan, gue nggak mungkin, lah, mainin perasaan cewek. Gue punya adik cewek, gue juga akan marah kalau seandainya ada yang mainin perasaan lo."

"Bagus lah. Lagian ya, Kakak udah tua, cepet-cepet nikah gih," sindir Rena. Rena tahu kalau kakaknya saat ini sedang menjomblo, terakhir kali Alvin berpacaran adalah ketika ia SMA. Dan, Rena tidak tahu alasan kakaknya bertahan dengan statusnya itu. Padahal, kalau boleh jujur yang dikatakan oleh kakaknya memang benar, banyak cewek yang ingin menjadi pacar Alvin. Bahkan teman-temannya saja banyak yang membicarakan kakaknya.

"Feeling gue, sih, lo duluan yang bakal nikah. Sama si Rano."

"Apaan sih, Kakak! Lagian namanya Reno, ya, bukan Rano!"

"Cieee ... belain cowoknya ya. Kira-kira," Alvin tersenyum usil sambil memerhatikan Rena, "kalau papa dan mama tau lo punya pacar di sekolah, bakal gimana, ya, reaksi mereka?"

"Kakak mah gitu, aku nggak pacaran sama dia, kok!"

"Sekarang belum, nanti siapa tahu kalian pacaran. Oya, gue ngerjain dia waktu di kelas, gue suruh dia kerjain soal yang lumayan susah, tapi dia bisa ngerjainnya. Dia pinter, gue setuju-setuju aja lo sama dia."

Pipi Rena bersemu merah, ia memalingkan wajah supaya kakaknya tidak melihat perubahan ekspresinya. Alvin malah semakin iseng kepada adikya, ia terus menggoda Rena sampai mereka pulang.

"Ayo, Dek, kita pulang. Keburu sore, gue mau antar mama belanja bulanan. Lo jangan ikut, ya!" ujar Alvin sambil bangkit berdiri.

Rena menggandeng lengan Alvin dan merajuk supaya ia diperbolehkan ikut. "Aku ikut dong, Kak. Kan Kak Alvin baik, Kakak mah pokoknya kakak terbaik di seluruh dunia."

"Lo mah, kalau ada maunya aja bicara baik-baik sama gue, biasanya juga nyolot lo. Tapi yaudah deh, bisa-bisa kalau gue tinggal, lo nangis kejer."

"Yeay!" Rena memekik girang lalu mencium pipi kakaknya tepat ketika seorang cewek berseragam sama dengan Rena masuk dan melihatnya.

Alvin mengacak rambut Rena dan Rena mempererat gandengannya di lengan Alvin. Ketika mereka menyadari ada siswa yang melihatnya, baik Rena maupun Alvin hanya tersenyum kepada cewek itu. Mereka mengira kalau semua siswa di SMA Pertiwi sudah mengetahui kalau mereka adalah sepasang kakak-beradik.

Ketika mereka berada di parkiran, sebuah mobil warna putih berhenti di sebelah mobil Alvin. Sang pengendara keluar dan membuat Alvin terkaget.

"Kak Alika!" sapa Rena ramah.

"Hey, Ren. Kamu sama siapa ke sini?" tanya Alika.

"Aku bareng kakakku, nih. Kenalin, Kak, dia Alvin, kakakku,"jawab Rena, lalu cewek itu beralih menatap kakaknya. "Kak Alvin, ini Kak Alika, sepupu Sally sekaligus pemilik kedai es krim ini."

Sekarang bukan hanya Alvin yang berdiri mematung, tapi Alika juga.



Our FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang