Menunggu dan menunggu. Al mengatupkan kedua telapak tangannya sembari berpikir tentang bagaimana nasib gadis yang ia cintai di dalam ruangan itu. Dua kali tepukan tangan Ron di punggungnya membuat Al merasa sedikit lebih tenang. Di depan mereka, Markas Besar Pelupaan, masih sibuk dengan eksekusi seorang Muggle yang baru saja mendapat tindakan dari Kementerian. Namanya Willow Primrose Mellark dan ia sangat dicintai oleh Albus Severus Potter.
"Seperti apa cara mereka memodifikasi ingatan Prim, Uncle?" tanya Al pada Ron.
Ron membuat sedikit gerakan naik pada kedua pundaknya. "Aku tak pernah mengantar Muggle untuk dimodifikasi ingatannya, Al. Mungkin nanti kau tanya ayahmu saja. Oke! Sabarlah," Ron membujuk Al untuk kembali tenang.
Hari semakin sore, itu menurut penglihatan Al pada cahaya di jendela-jendela Kementerian. Meski di bawah tanah, cahaya yang masuk sudah diatur sesuai keadaan di luar.
30 menit berlalu. Kini mendekati satu jam waktu yang dibutuhkan untuk membuat Prim melupakan masalah tentang sihir. Benar saja, pintu terbuka dan keluarlah Harry dengan membawa tubuh Prim yang tak sadarkan diri di gendongannya.
"Willow? Dad, kenapa sampai tak sadar?" Al bergegas berlari menuju ayahnya.
"Ingatannya tentang sihir terlalu banyak, Prim juga mengingatnya lebih dari satu hari tanpa modifikasi ingatan. Jadi mereka butuh waktu lama untuk membuat Prim tak tahu lagi dengan sihir. Kita harus segera membawa Prim pulang. Dad takut Mr. dan Mrs. Mellark curiga."
Al tahu, itu memang yang terbaik untuk Prim. Ia juga tak mau Prim menjadikan dirinya sebagai orang yang akan dirugikan jika mengetahui urusan sihir yang sama sekali tak akan ia mengerti.
Keluar dari area Kementerian, Harry masih menggendong Prim dengan kedua tangannya. Di belakang, Al diminta Harry untuk mewaspadai orang-orang yang sekiranya melihat mereka curiga. Pasalnya, Prim dalam keadaan tidak sadar dalam gendongan Harry.
"Maaf, tolong bantu jaga putri saya sebentar. Saya mau menghubungi istri saya di rumah," Harry mulai bermain sandiwara di pinggir area parkir mobilnya di stasiun. Al menurut saja dan berpura-pura sedih melihat keadaan Prim. Walaupun sebenarnya ia memang sedih melihat keadaan Prim.
Sepasang suami istri nampak kasihan melihat keadaan Prim yang sangat pucat. "Adikmu, nak?" tanya si suami. Al mengangguk.
"Kenapa?"
"Sakit," jawab Al singkat. Takut menjawab lebih jauh dan merusak semua sandiwara mereka.
Harry mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Ginny. "Halo, Ginny—" panggil Harry sedikit keras. Harry sengaja masih ada di dekat suami istri itu agar mereka dianggap benar tentang keadaan Prim.
"Harry? Kenapa kalian lama sekali?" Ginny terdengar panik.
"Ahh maaf lama. Mereka butuh memeriksa keadaan Prim lebih teliti—" kata Harry sesekali melihat keadaan Prim yang didudukkan di kursi panjang.
"Ow.. tapi ia tak apa-apa, kan?"
"Prim tak sadarkan diri. Kata dokter ia harus menjalani tes laboratorium lagi untuk mengetahui hasilnya," Harry menelan ludahnya susah payah. Saatnya bermain drama.
Ginny terdiam, mencerna perlahan kata-kata Harry yang tak masuk akal. Urusan Kementerian mengapa harus ada dokter? "Harry, kau bicara apa, sih? Kok ada dokter segala? Tes laboratorium apa?" Ginny bingung.
"Kami masih di stasiun, ada suami istri yang baik hati mau menjaga Prim selagi aku menghubungimu. Sebentar lagi aku akan pulang dengan Al," kata Harry berharap Ginny mengerti maksudnya.
Dari balik sambungan, Ginny berdehem, "ahh aku paham Mr. Potter, kau genius. Kau sedang bersama Muggle di sana?" tanyanya, sedikit memancing agar Harry bisa menjelaskan sedikit tentang keadaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Willow (Fanfic Crossover Harry Potter x The Hunger Games)
FanfictionKeluarga Mellark pindah ke Inggris dan menetap di Godric's Hollow, tepat di samping rumah keluarga Potter. Prim, anak gadis tertua keluarga Mellark merasa orang tuanya pengecut karena kabur demi menjauhi Hunger Games. Prim tak suka dengan sikap peng...