Bulan tersenyum ragu ketika Aska mengenalkannya sebagai pacar di hadapan keluarganya. Mama Aska berusia hampir enampuluh tahun. Cantik dan anggun. Dia duduk di samping putra sulungnya, Artha. Sedangkan Bulan duduk di antara dua anaknya yang lain, Aska dan Aulia. Semua duduk berhadapan di meja makan yang sangat panjang dengan deretan kursi yang terlalu banyak karena ternyata hanya terisi oleh mereka berlima.
"Jadi bagaimana ceritanya?" bisik Aulia dengan antusias.
Bulan menatap gadis cantik bergaya cosmopolitan yang duduk di samping kirinya itu dengan bingung.
"Sejak kapan kalian pacaran? Memangnya kamu nggak tahu ya, kalau Aska itu..."
Aulia tidak melanjutkan kalimatnya, melirik Aska dan tertawa cekikikan.
Aska berdiri dari kursinya. Bergeser satu langkah di belakang Bulan lalu membungkukkan badannya.
"Honey, tolong geser ya, aku mau duduk di tengah, " bisik Aska ke telinga Bulan sambil mengedipkan matanya .
Bulan tersipu. Dengan perasaan lega dia bergeser ke kursi yang semula ditempati Aska. Duduk dengan nyaman setelah tidak lagi berhadap-hadapan dengan mama Aska dan tidak melayani pertanyaan-pertanyaan dari Aulia.
"Ma, Bulan ini putrinya Om Winata lho," ucap Aska sambil duduk.
Tersenyum geli melihat Aulia yang cemberut.
"Kamu sudah sering mengatakannya, Aska. Mama belum pikun."
Bulan melirik Aska, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Oh, ya? Aku lupa."
Aska tersenyum. Balas melirik Bulan dengan semburat merah di wajahnya.
"Bagaimana kabar ayahmu, Bulan? Masih sering lembur, ya?" sapa Mama Aska dengan ramah.
"Ayah baik-baik saja, Tante. Masih suka lupa waktu kalau sudah bekerja."
"Hati-hati kalau kerja dengan Aska, ya? Dia juga suka lupa waktu. Tolong kamu ingatkan dia ya?"
"Iya, Tante."
Bulan tersenyum dan hampir pingsan ketika lengan Aska tiba-tiba melingkari bahunya.
"Tenang saja, Ma. Bulan selalu mengingatkan kok!"
Aska meremas lengan Bulan pelan. Membalas tatapan matanya yang sudah ingin menelannya bulat-bulat sambil tersenyum geli.
Bulan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Makan malam berjalan lancar. Semuanya berpindah ke ruangan lain yang lebih luas. Dindingnya berwarna ungu lembut dengan sofa-sofa putih, hiasan-hiasan kristal dan guci-guci keramik cina. Mendengarkan Aulia memainkan piano yang berada di tengah ruangan.
"Memangnya harus?" gerutu Bulan tanpa menoleh. Diam-diam berusaha menggeser tubuhnya.
"Apa?" tanya Aska pelan.
Matanya tertuju ke tengah ruangan dimana Aulia sedang bermain. Lengan kirinya memeluk pundak Bulan.
"Pakai peluk-peluk segala?" geram Bulan kesal.
Apa dia lupa kalau aku ini sekretarisnya? Sekretaris. Bukan pacarnya!
"Honey....mereka selalu memperhatikan kita. Jangan membuat mereka curiga ya? Dan ingat jangan panggil pak."
Bulan melirik ke sofa yang lainnya. Mama Aska sedang mengobrol dengan Artha tapi mata mereka malah asyik menontonnya. Bulan menghela napas.
"Memangnya saya harus memanggil apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
MIDDLE EAST
Fiksi UmumBulan tertegun. Gedung berlantai tujuh yang ada di hadapannya membuatnya tak bisa berkedip. Ya, Tuhan...apa saja yang sudah kulakukan? Aku bekerja disini? "Ayo, Bulan! Sebentar lagi jam delapan, Jangan sampai terlambat!" tegur ayah sambil membuka si...