[31] : Lie Is Hurt, But Truth is Hurt More

1K 100 5
                                    

2. Oliver

"Ah, lo bener-bener datang untuk menagih janji gue, Oliver."

Angie berdiri di halaman belakang sekolah, dengan sebelah tangannya memainkan kuncup mawar yang sehalus beledu. Gadis itu terbalut dalam seragamnya yang dilapis lagi dengan kardigan putih tipis. Rambut cokelat tuanya yang panjang diangkat tinggi, namun tetap, nyaris setengah air mukanya tak bisa kubaca.

Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya. "Ya."

Kami berdua jatuh dalam keheningan, membiarkan saja simfoni semilir angin sepoi yang mengisi kekosongan di antara kami. Langit siang ini secara mengejutkan tampak cerah, tidak dirundungi oleh awan kelabu seperti biasanya.

"Itu...." Ujung jarinya dengan gugup memuntir kuncup bunga  yang ada di tangannya agak terlalu keras. "Gue pengen memberi kesempatan yang sama antara lo dan Jevon."

Aku sudah tahu itu.

"Apa lo nggak takut dengan Jev yang akhirnya akan memilih Kiera?"

Ia mengayun-ayunkan kakinya pelahan. "Jawabannya mungkin sama dengan lo."

Aku menoleh saat merasakan beban yang tiba-tiba memberatkan bahuku. Mata cokelat Angie terpejam di balik rambutnya yang berwarna senada, sementara ia menarik napas panjang dan dalam. "Tolong jangan tolak gue dulu. Bentar aja, gue capek."

Jemariku tanpa sadar menyibakkan rambutnya, dan dengan lembut menyelipkan helaian itu ke balik telinga. "Nggak apa-apa Ang. Semua orang memang butuh tempat untuk bersandar. Dan lo, cewek paling kuat yang pernah gue temuin, yang dengan tabah menjalani tahap dari mencintai yang paling tinggi."

Yaitu mencintai tanpa pamrih, bahkan memperjuangkan agar orang yang dicintainya bersatu dengan pujaan hatinya, walau hal itu malah membuat lo tambah sakit.

Dia terdiam.

"Kenapa sih gue nggak bisa jatuh cinta sama lo aja?" tanyanya pelahan. "Kenapa sih harus Jev?"

"Gue mengerti kok." Aku menggeser posisiku sedikit mendekat, membuat posisi kami berdua lebih nyaman. "Yang namanya jatuh cinta memang benar-benar seperti jatuh. Dan pasti bakalan sakit, kalau nggak ada yang siap menangkap lo di bawah sana."

Tawa pendek Angie bergema di kesunyian. "Analogi yang lucu."

"Tapi kenyataannya nggak."

"Kadang gue nggak tahu, apa yang membuat gue tetep bertahan walaupun sakit rasanya." Tawanya terdengar renyah, walau menyembunyikan perasaan yang mendalam. "Kadang denger kebohongan itu lebih menyenangkan, karena ternyata, kebenaran memang menyakitkan."

Dengung suara malam menjadi penghias pembicaraan kami, diiringi pula dengan angin sepoi yang menurunkan suhu beberapa derajat lebih rendah. Begitu tenang. Seakan keheningan hendak menghanyutkan perasaan kami berdua jauh-jauh. Aku memejamkan mata, menikmati semuanya.

"Lo mau membiarkan aja mereka?" tanyaku sambil menyibakkan kembali helaian rambutnya.

Tanpa sadar, di kepalaku kembali terputar kejadian di taman ria itu. Di mana aku hanya bisa melihat dari jauh, saat jari mereka saling terkait, dan mata mereka saling terpaut.

V.S [1] : Catch Me If You CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang