DOP - 17

2.8K 316 34
                                    

Hubungan Prilly dan Digo semakin memburuk, bahkan Digo sering kali marah-marah tak jelas saat sedang emosi. Prilly tahu kesalahannya apa, tapi apa itu balasannya yang Digo berikan saat Prilly mulai memaafkan semua kesalahannya dulu.

Prilly sudah sangat lelah menjalani hubungan selama 7 tahun bersama Digo yang tak menghasilkan apa-apa, bahkan cintanya yang dulu sangat di agung-angungkan perlahan mulai mati. Rasanya lelah berjuang sendiri mempertahankan apa yang tak seharusnya di pertahankan. Rasa sesak selalu memenuhi rongga dadanya setiap kali kata-kata kasar terucap dari mulut laki-laki yang sangat di cintainya.

"Aku capek sama kamu, kamu itu jadi perempuan nggak bisa jaga diri, nggak bisa jaga hati. Mana janji kamu yang mau jaga hati, ucapan nggak bisa di pegang."

Digo sedang berhadapan langsung dengan Prilly. Dia bilang dia ingin menyelesaikan masalahnya yang sudah semakin berlarut-larut itu. Tapi nyatanya, bukannya masalah itu selesai, yang ada justru semakin meruncing.

"Apa kabarnya kamu yang main perempuan sana sini, memangnya kamu pikir aku ini halte bus yang bisa seenaknya naik turunin penumpang. Aku manusia biasa Digo, punya hati punya perasaan. Jangan kamu pikir aku cinta sama kamu, jadi kamu bisa seenaknya bertindak seperti itu, aku bukan boneka yang bisa seenaknnya kamu mainkan. Kamu laki-laki dewasa kan bukan anak perempuan balita yang senang bermain boneka!" Sorot mata amarah juga sudah terpancar dari mata Prilly. Kekesalannya yang selama ini di pendam tak mampu terbendung lagi.

"Sudah berani rupanya ya kamu bilang gitu, berapa kali aku bilang mereka itu cuma mainan aku aja, nggak lebih." Digo masih berusaha membela dirinya.

"Kalau begitu apa bedanya sama aku Digo, aku juga cuma mainan kamu aja kan? Buktinya kamu dengan seenaknya bisa datang dan pergi sesuka hati kamu. Bahkan mainin hati aku sekalipun kamu sanggup, di mana letak perbedaan kami Digo." Nada suara Prilly sudah meninggi, rasa sakit itu semakin terasa menusuk-nusuk hati.

Tak akan ada keajaiban bagi hubungan mereka yang selalu di pertahankan dan di banggakan. Hanya ada kekecewaan dan amarah yang memenuhi hati dan pikiran keduanya. Merasa sama-sama benar dan sama-sama menderita, hanya hati yang tegar dan lapang yang mampu menyikapi keadaan yang ada.

"Apa sih mau kamu sebenarnya. Aku ajak ketemu kamu itu buat nyelesaiin masalah bukan ribut terus sama kamu begini," ucap Digo.

Semilir angin malam di laut berhembus mengibarkan helaian rambut Prilly yang mulai panjang. Suara deburan ombak pantai Parangtritis menjadi saksi pertengkaran mereka berdua.

"Kalau kamu lelah aku lebih lelah lagi Digo, kamu hancurkan semua perasaan yang aku bangun dan aku dirikan sendiri buat kamu. Apa aku salah, kalau aku cuma minta kamu setia!"

"Aku setia sama kamu, buktinya sampai saat ini kamu masih jadi pacar aku."

"Status pacar itu nggak cukup Digo, semua butuh bukti bukan status belaka. Aku lelah Digo."

Prilly menatap hamparan laut yang mulai berubah jingga, mentari mulai tenggelam dan kembali ke peraduannya. Puluhan bintang mulai bermunculan satu persatu menemani bulan. Suara deburan ombak menjadi melodi yang indah untuk di dengarkan.

"Apa mau kamu sekarang?" Prilly membalikkan tubuhnya menatap Digo tepat di manik matanya. Emosi Prilly mulai mereda setelah dia mulai berhasil berdamai dengan hati.

"Aku masih mau sama-sama kamu Prill. Maaf atas semua perlakuan aku ke kamu. Maaf udah mainin perasaan kamu." Digo menatap Prilly iba, tapi Prilly yang di lihatnya berusaha tetap kuat dan tegar.

'Dddrrttt dddrrrttt

Ponsel Prilly bergetar ada panggilan masuk di sana. 'Guardian' tertera di layar ponsel Prilly. Digo yang melihatnya langsung mengambil paksa ponsel Prilly.

DIARY OF PAST "First Love is Never Die"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang