Digo masih saja menanyakan apa yang terjadi sampai dia di minta ikut pulang bersama Prilly saat itu juga.
"Jawab aku Prill, ada apa?" Digo pegang kedua tangan Prilly tanpa sengaja.
"Udah nanti kamu juga tahu kalau udah sampai rumah. Kamu istirahat aja dulu."
Prilly tak juga menjawab pertanyaan Digo. Digo yang kesal akhirnya duduk diam tanpa banyak bicara lagi. Begitu pun Prilly dia lebih banyak diam lagi karena dia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Empat jam dengan kereta sudah mereka tempuh dari Yogya ke Madiun selama itu juga tak ada pembicaraan apa pun di antara mereka. Setelah sampai stasiun, mereka langsung saja pulang ke rumah Digo, setengah jam mereka lalui dengan angkutan umum untuk bisa sampai di rumah Digo. Sesampainya di rumah, Digo berdiri terdiam mendapati keadaan rumahnya yang cukup ramai. beberapa tetangga datang memakai pakaian serba hitam dan membuat dia bingung.
"Ada apa ini, kok ramai sekali rumah ku." Digo menerobos orang-orang berbaju hitam yang ada di depan rumahnya.
Di ambang pintu Digo bertemu dengan kakak laki-lakinya, Gilang. Dia menyambut kedatangan adiknya dengan sedikit pelukan. Gilang berusaha memberikan ketenangan untuk Digo.
"Ada apa ini mas, kok rumah rame-rame begini. Mama mana?" Digo tak sabar, semua pertanyaannya sudah di lontarkan semua. Gilang menahan langkah Digo yang ingin segera masuk ke dalam rumah.
"Seng sabar yo. Papa wes ra ono. Ojo nangis melas mama." Digo mendadak diam tak bergeming sedikit pun dari tempatnya berada. Ucapan Gilang seperti sambaran petir di siang hari.
Digo memiringkan tubuhnya, mencoba melihat keadaan di dalam dan mencari mamanya. Di lihatnya sang mama sedang duduk menangis tersedu di sudut ruangan, sesekali mengusap hidungnya yang sudah mulai memerah. Digo merasa sedih melihat mamanya yang seperti itu. Dia menghampirinya setelah beberapa orang yang di lewatinya mengucapkan bela sungkawa padanya.
"Mama." Digo bersimpuh di hadapan mama yang masih saja berlinangan air mata walaupun tak sederas tadi. Perlahan di usapnya sisa-sisa air mata yang membasahi wajah keriput mama. Digo tak sanggup melihat wanita kesayangannya itu menangis.
"Mama sabar ya." Digo mencoba menenangkan mama walaupun hatinya sendiri pedih. Digo tak mendapatkan kabar jika ayahnya sakit, tahu-tahu dia mendapatkan kabar bahwa ayahnya sudah tak ada di dunia ini.
Setelah menemui mama, sebentar Digo masuk ke dalam kamarnya. Tak ada satupun yang di ajaknya bicara termasuk Gilang dan mamanya. Rumah Digo sudah mulai sepi, pelayat satu persatu sudah pulang. Tinggalah Prilly, Gilang, dan juga mama Digo yang tersisa. Prilly memutuskan untuk tetap tinggal karena dia tahu Digo sangat terguncang hebat.
Mama Digo sudah mulai terlihat lapang menerima semua ini. Sekarang tinggalah Digo yang tak ingin di temui siapa pun. Mamanya sudah beberapa kali membawakan makanan untuk Digo tapi di tolaknya. Mama sendiri bingung apa yang harus Digo.akukan. Digo sangat dekat dengan ayahnya, apapun yang dia lakukan ayahnya selalu tahu. Tak ada satupun yang di sembunyikan Digo.
***
Dua hari berlalu dan Digo tak keluar dari kamarnya, Digo pun masih saja duduk terdiam menghadap ke jendela. Pikirannya menerawang jauh membayangkan sosok ayahnya itu. Digo sangat dekat dengan ayahnya, jadi dia sangat amat terpukul saat di tinggalkan beliau. Rasa penyesalan menghampiri relung hatinya yang paling dalam, dia merasa belum ada yang bisa di lakukannya untuk ayahanda tercintanya.
"Pa, Digo belum sempat bahagiain papa. Papa belum sempat lihat Digo sukses di sini pa." Pandangan Digo masih saja menatap jalanan yang mulai dilewati kendaraan silih berganti. Air matanya luluh, sisi lain seorang Digo terpancar saat kesedihan datang menghampirinya.
"Digo, buka pintunya ini aku." Suara Prilly terdengar di balik pintu kamar Digo.
"Digo, buka pintunya sekarang atau aku pulang ke Yogya sekarang juga." Prilly mulai mengancam karena tak dapat respon dari Digo.
Prilly hanya khawatir karena Digo tak kunjung keluar dari kamarnya. Dalam kondisi seperti ini apa pun bisa terjadi, hal buruk sekalipun.
'Klekk
Suara pintu terdengar di buka dari dalam. Prilly mundur selangkah menjauh dari pintu kamar.Digo terlihat acak-acakan dari rambutnya yang tak beraturan, sama pakaian yang belum di gantinya sejak kemarin. Dengan nampan berisi makanan Prilly masuk dan meletakkannya di atas nakas. Prilly melihatnya sangat iba, laki-laki yang selama ini di kenalnya cukup tegar bahkan bisa serapuh ini. Prilly berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak meninggalkan Digo dalam kondisi seperti ini.
"Kamu makan dulu ya, kata mama kamu dari kemarin belum makan. Kenapa nggak makan sih, nanti kalau sakit gimana. Makan ya aku suapin." Digo hanya mengangguk pasrah, jangankan makan, untuk memperhatikan dirinya sendiri pun rasanya sulit.
"Digo kamu jangan kaya gini dong, kasihan keluarga kamu, kasian mama sama Mas Gilang, mereka khawatir sama kamu. Barusan juga ada teman-teman kamu datang dari Batalyon kamu juga nggak mau menemui mereka." Prilly menyuapi satu sendok lagi ke dalam mulit Digo.
"Aku belum bisa bahagiain papa," ucap Digo lirih dengan menatap sendu wajah Prilly.
Prilly meletakkan piring yang di pegangnya ke atas nakas. Memberikan segelas minum untuk Digo.
"Kalau kamu ingin papa kamu bahagia, kamu harus bangkit, kamu harus ikhlas, kalau kamu kaya gini terus papa nggak akan pernah bahagia. Lihat keadaan kamu sekarang, bahkan kamu mengabaikan keluargamu juga." Prilly melihat keadaan Digo dari atas sampai bawah yang sudah mulai berantakan.
Digo langsung berhambur dalam pelukan Prilly. Prilly menepuk-nepuk punggung Digo, memberikan ketenangan di sana. Mungkin, dengan begitu Digo akan kembali lagi seperti dulu.
"Apa aku bisa Prill, aku nggak sekuat itu, aku belum bisa bahagiain papa aku."
"Yakinkan dan serahkan semua sama Allah, Allah pasti kasih kekuatan lebih buat kamu. Kamu pasti bisa. Percaya sama kekuasaannya." Prilly menepuk pundak Digo pelan.
"Terima kasih sudah ada buat aku, aku nggak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan mu."
"Cukup kamu kembali pada keluarga mu Digo." Digo mengangguk dalam dekapan Prilly.
"Menangislah setelah itu kembali lah." Prilly masih mencoba menenangkan Digo.
Sesakit dan semarah apa pun Prilly, dia masih memiliki hati nurani, dia tak akan pergi meninggalkan Digo dengan kondisi yang seperti ini. Dia sadar dan paham betul bagaimana rasanya terpuruk sendiri, walaupun kasusnya berbeda tapi mereka sama-sama kehilangan.
Kehilangan seseorang yang sangat di cintai dan sangat berarti itu memang sulit. Tapi Tuhan tahu mana jalan yang terbaik bagi hamba-hambanya. Ingatlah bahwa ada sesuatu hal yang sangat berarti di setiap musibah yang terjadi.
***
Digo mulai terpuruk lagi, prilly masih aja setia nemenin digo. Besar sekali hati prilly ya.
Tunggu satu chapter lagi ya 😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY OF PAST "First Love is Never Die"
RomanceKejadian saat itu membuat ku mengerti apa itu cinta, cinta itu kebahagiaan bukan air mata, cinta itu setia bukan mendua, cinta itu nyata AKU dan KAMU -BAHAGIA- Cover : @irastories_