Day 7

145 20 0
                                    

Hai Diary, namaku Anna.

Pagi tadi berbeda. Mereka tidak lagi melempar piring ataupun gelas kearahku saat aku membuka pintu. Aku membuka pintu dan mereka menatapku. Kedua mata mereka manatapku memancarkan kepedihan yang mendalam. Aku tidak tahu kenapa, tapi mereka sedih dan aku tidak tahu mengapa.

Ayah mendekat, tangannya mengepal rahangnya mengeras menahan amarah. Ibu berlari ke kamarnya dan mengambil sebuah tali tambang. Aku diam. Menatap tingkah mereka berdua tanpa ekspresi.

Mereka berdua bersumpah serapah kepadaku. Oh, mereka tahu bahwa Bibi tetangga yang membayai dan mengantarkan aku ke sekolah itu menghasut aku untuk pergi dengannya.

Ayah menarik tanganku dan Ibu mengikatnya dengan erat. Aku meringis. Senyum tipisku mengrmbang kala aku memandangi wajah Ayah dan Ibu sedekat ini.

Aku bertanya, Ada apa?

Mereka berhenti dan menatapku sekilas. Tatapannya berubah menjadi amarah yang menakutkan. Aku mundur tertatur, namun kedua tanganku diikat dan ujung talinya digenggam oleh Ibu. Ayah mendekat. Dia menyumpahiku dan meludahiku. Ibu diam tanpa ekspresi menarik ujung tali agar aku tidak bisa berkilah kemana pun.

Dia berkata aku adalah anak durhaka, dia berkata aku tidak boleh sekolah dan harus membantu Ibu mengurus rumah yang selalu berantakan dengam pecahan kaca di mana-mana.

Benarkah aku anak durhaka?

Aku menyayangi kalian. Sungguh. Aku tidak pergi bersama Bibi, karena aku tahu. Kalian menyimpan luka kepedihan, tapi aku hanya tahu itu.

Aku ... menyayangi kalian ....

Ah, pergelangan tanganku terasa nyeri saat menuliskan ini. Cih. Ah aku harus tidur.


Tertanda,

Anna.

Kindness Diary {Blanc}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang