[Sembilan]

4.2K 189 2
                                    

Setapak demi setapak mereka bertiga melangkahkan kakinya. Sesekali Reyhan mengajak Karine mengobrol tentang beberapa sejarah London yang ia ketahui. Jalan-jalan dipenuhi dengan salju yang tebal. Kursi-kursi kecil di samping jalan juga terpenuhi dengan salju. Lampu terus berpijar dalam kegelapan. Cahaya tetap mampu menerangi perjalanan mereka. Suara lalu lintas juga tetap menyertai mereka.

Batang-batang pepohonan telah kehabisan daunnya. Salju juga menutupi mereka. Tetapi tetap indah dipandang mata. Keindahan yang sangat sulit dilewati oleh Karine. London. Ia baru tahu bahwa kota ini jauh lebih indah daripada yang dipikirkannya. Ia benar-benar beruntung bisa menapakkan dirinya di kota ini. Bila ada kesempatan, ia akan berterima kasih kepada Adrick yang telah membawanya ke kota indah ini.

"Aku akan pergi membeli kopi hangat. Kalian tunggu disini ya" Ujarnya sambil berlari ke arah kedai yang cukup ramai. Kami berhenti, duduk menunggunya di salah satu kursi jalanan. Karine menggosokkan kedua tangannya yang mulai terasa kaku karena mulai turun rintik-rintik salju.

"Apa kau sering ke sini?" Tanya Karine membuka pembicaraan. "Ya. Dulu aku tinggal di sini" Jawabnya menatap langit-langit. Entah mengapa Karine merasa tatapan itu seperti menggambarkan suatu kerinduan yang sangat dalam. "Apa kau dan Reyhan berteman sejak kecil?" Tanya Karine lagi. Berbicara dapat membuatnya melupakan perasaan dingin yang menyelimutinya. "Sejak SMP. Kami satu sekolah" Jawabnya lagi. "Bagaimana denganmu?" Tanyanya balik. "Ehm. Aku baru pertama kali meninggalkan Indonesia" "Sudah kuduga" Gumamnya.

Kenapa dia selalu tahu ya? Apa jangan-jangan ia berbakat untuk meramal? Membaca pikiran? Bisik Karine dalam hati. "Aku bukan peramal" Ia tersenyum tipis. Membuat Karine sedikit menghangat. Ia jarang melihat Adrick tersenyum. Ia hanya sempat melihatnya menyeringai. Dan itu sedikit menyeramkan baginya.

"Kenapa kau selalu membaca pikiranku?" Tanya Karine, dia benar-benar​ bingung. "Aku tidak membaca. Aku dapat melihatnya secara otomatis" "Apa kau jurusan Psikologi?" Tanya Karine bingung. Mungkin jurusannya itu dapat menjadi jawabannya. "Bukan. Aku jurusan Ilmu Hukum" Karine mengangguk. Sepertinya ia salah kaprah.

"Apa kau selalu bisa membaca ehm.. atau melihat pikiran seseorang?" Tanya Karine. Ia menjulurkan tangannya, menyentuh salju walau tangannya mulai kaku.
"Memangnya aku bisa membaca pikiranmu?" Tanyanya.

Karine mengangguk. "Aku bisa ikut merasakan hati seseorang hanya dengan melihat matanya" Ujar Adrick. Tatapan itu lagi. Tatapan yang sangat hampa dan sedih.

"Benarkah? Kalau begitu aku harus menggunakan kacamata hitam" Ujar Karine sambil tersenyum manis. Adrick tersenyum tipis. "Tapi hanya kepada seseorang saja" Ujarnya menerawang. Seperti mengingat seseorang. Karine tersenyum miris, malu. Ia kira ia adalah seseorang yang dimaksud Adrick. Ternyata sangat jauh dari pemikirannya. Ia menggelengkan kepalanya. Bingung mengapa selalu muncul harapan-harapan kecil tentang Adrick dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan angin sejuknya salju menerpa wajahnya. Agar ia sadar bahwa tidak layak memikirkan hal yang tidak-tidak.

Suara panggilan nama Adrick membuat Adrick memalingkan wajahnya. Wanita bertubuh tinggi yang terbalut dengan pakaian hangat berwarna biru langit mendatangi mereka dengan senyuman secerah mentari pagi. Matanya yang sangat teduh membuat siapapun yang menatapnya akan menghangat.

"Hai" Ujarnya gugup saat ia berdiri di depan Karine dan Adrick. Saat melihat dengan jelas, ia tahu bahwa wanita itu wanita yang menampar Adrick di Cuprise. Adrick tersenyum, tetapi kehangatan tidak ada di matanya.

"Bisa bicara sebentar?" Tanyanya sambil sedikit melirik Karine. Karine terkesiap dan langsung berdiri untuk memberikan ruang bicara. "Kau tetap duduk disini. Aku akan pergi 7 menit" Ujarnya pada Karine yang membuatnya mau tak mau duduk kembali.

Unlock My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang