“Lihat, kan, Al!” kata Alex sambil berkacak pinggang saat kami berdiri di muka pintu. “Aku punya perpustakaan pribadi.”
Aku memandang kamar yang lumayan luas itu tanpa minat. Kamar yang sudah ditinggal pemiliknya itu kotor dan tertutup debu. Alex segera meraih sapu dan kemoceng.
“Aku tidak pernah lupa memakai masker sebelum berperang dengan debu,” katanya sambil memakai masker.
Aku memandang luas ke seluruh penjuru kamar. Aku melihat lukisan ekspresionis seorang laki-laki setengah baya terpaut ke dinding sebelah utara kamar ini. Lukisan itu kotor dan berdebu.
“Lukisan itu sama sekali terlihat tak berharga bagiku,” gumam Alex sebal, lalu berpaling padaku. “Jadi, Al, jika kau tidak berniat membantu, aku akan dengan senang hati mempersilahkanmu untuk keluar.”
Aku memutar mata. “Oke,” kataku. “Aku akan menyiapkan sarapan. Kakek masih lari pagi bersama mahasiswa-mahasiswa itu.”
Aku berjalan menuruni tangga. Dari situ aku mendengar Alex bersin. Dan dari situ pula aku mendengar telepon berdering. Aku mengangkatnya, namun yang muncul malah pesan.
Rrt. Hai, Al, ini aku, Aaron. Aku akan datang ke rumahmu pukul 10 nanti.
Aku sudah menduga kalau Aaron akan datang. Entah apa yang dilakukannya, tapi dia biasa membawa Xbox kerumahku. Kakek dan Alex tidak akan keberatan.
“HEY, AL, AKU MENEMUKAN SESUATU!” teriak Alex dari kamar di sebelah barat.
Aku segera mendaki tangga lagi untuk melihat apa yang ditemukan Alex di atas. Aku berlari sepanjang koridor sempit yang hanya diterangi lampu dari lilin. Kamar itu berada di koridor paling ujung. Aku menemukan Alex sedang memandang lekat ke arah lukisan mendiang ayah kami.
“Kau menemukan apa?” tanyaku, lalu segera menghampirinnya.
Alex tidak memandangku. “Lukisan ini aneh,” gumamnya.
“Aneh bagaimana?” tanyaku.
“Perhatikan tangannya!” katanya.
Aku segera mendekat untuk memperhatikan tangan lukisan itu. Kupikir tidak ada yang istimewa dengan lukisan ini karena lukisan itu hanya menggambarkan potret ayah yang memakai jas hitam rapi dan berlatarbelakang rak buku perpustakaan. Telapak tangannya seperti menempel pada perut dan saling menumpuk. Telapak tangan kanan menumpuk telapak tangan kiri dan ibu jari kiri menindih ibu jari kanan. Aku berpaling kepada Alex yang sepetinya menunggu reaksiku.
“Ada gambar segitiga,” kataku datar. “Ada apa sih sebenarnya?”
Alex memperhatikan lukisan itu lagi. “Kenapa kita tidak boleh memindahkannya?.”
Aku memandang lukisan potret ayah dengan serius. “Jangan bilang kalau ada sesuatu yang dirahasiakan di sini.”
Alex memandangku nanar. “Kau keluar dulu. Aku akan membersihkan tempat ini,” kata Alex, lalu mendorongku keluar kamar dengan paksa.
“Ap-apa?” kataku, terkejut dengan reaksi Alex. “Apa yang kau tahu, Alex?! Katakan padaku….”
“Sana! Buat sarapan dulu!” kata Alex tegas.
“Tapi aku….”
Dia menutup pintu dengan keras tepat di depan wajahku. Aku mendengar kunci diputar. Dengan segera, aku menempelkan telingaku ke pintu untuk mencuri dengar apa yang sedang dilakukan Alex meskipun kecil kemungkinannya aku bisa mendengar gerakan. Namun bukan gerakan yang aku dengar, aku mendengar isakan. Alex terisak di dalam. Apa yang terjadi?.
Terdengar suara orang berjalan di koridor utara. Aku segera berjalan menjauhi kamar itu. Sambil menyusuri koridor yang hanya diterangi lilin itu, aku mengingat-ingat bentuk gambar segitiga yang dibentuk tangan ayah. Benar-benar gambar segitiga yang nyata.
Kepalaku tiba-tiba terbentur sesuatu yang keras.
“Ouch,” gerutuku.
“Allen, kau pasti tidak melihat aku datang!” kata kakek yang berdiri di depanku. Dia membawa setumpuk buku tebal yang terlihat sudah tua. “Apa Alex sedang membersihkan kamar itu?.”
Aku mengangguk. “Ya,” kataku. “Buku-buku itu akan dibawa kemana?.”
“Ke kamar Alex,” kata kakek. “Untuk penambah referensinya. Ayo, bantu aku membawanya.”
Aku mengambil beberapa buku tebal itu sekaligus, lalu berjalan mengekor di belakang kakek.
“Lukisan potret ayah kotor dan berdebu,” kataku. “Alex bahkan tak sudi hanya untuk melihatnya.”
Kakek tertawa. “Entahlah. Ayahmu yang bilang pada kakek untuk tidak melepasnya sampai Alex menginginkan kamar itu. Dan ia juga bilang pada kakek agar kakek saja yang melepasnya,” kata Kakek.
“Sampai segitunya,” kataku. “Apakah lukisan itu begitu penting bagi ayah?”
Kakek terkekeh. “Entah penting atau tidak, tapi kakek harus melaksanakan wasiat ayahmu, kan?” kata Kakek. Kami terus berjalan menyusuri koridor menuju kamar Alex.
Kakek berhenti di depan pintu toilet. “Allen, bawakan ini ke kamar Alex. Kakek harus….” Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, kakek sudah menghilang ke toilet. Dengan terpaksa aku harus membawa buku-buku itu ke kamar Alex di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of The Scientist Self-Portrait
Mystery / ThrillerTerbunuhnya sang kakek meninggalkan teka-teki. Sebuah lukisan tua menjadi karya penuh misteri. Alannise harus menembus kabut untuk menyingkap kebenaran. Apakah yang sebenarnya terjadi?