“Seperti yang kukatakan tadi,” kata pria bertopi bowler. “Profesor Walter meninggal karena bunuh diri.”
Polisi berkumis Stalin berjalan menuju kursi. Aku melihat kakekku duduk kaku di sana. Matanya menutup dan sudah tidak bernafas lagi. Aku menunduk pasrah.
“Profesor Jim Walter dibunuh,” katanya, lalu mendekatkan wajahnya ke leher mayat kakek dengan mata menyipit. “Beliau dibunuh dengan cara mencekik lehernya dengan tali atau benang tipis yang kuat,” dia menunjuk bekas tali melingkar di leher kakek.
Laki-laki bertopi bowler yang bernam Hale memeriksa leher kakek dengan saksama. “Ya, tentu saja. Maaf, Lesburke,” katanya. “Tapi jika Profesor dibunuh, bagaimana pelaku dapat masuk ke kamar kerja?. Bukankah semua jendela di sini terkunci?.”
Polisi berkumis Stalin bernama Lesburke memandangku. “Pelaku?. Kenapa kita tidak memulai dari awal mengapa Profesor berada di ruangan ini pada malam terjadinya pembunuhan?.”
Hale melihatku. “Nak,Siapa namamu?” tanyanya.
“Alannise,” kataku singkat.
“ Nah, Alannise,” dia memilin jemarinya. “Bolehkah kami bertaya sesuatu?.”
Aku mengangguk tegas.
“Apa yang biasanya Profesor lakukan setiap malam sebelum tidur?” Tanya Hale.
Aku menarik nafas. “Beliau biasanya membaca buku di ruang tengah atau mengunci diri di kamar kerja.”
“Apakah beliau menyukai kopi sampai membawanya kemari?” Tanya Hale. Aku benar-benar diinterogasi.
Aku melirik gelas yang berisi kopi di atas meja. “Aku tidak pernah melihat Kakek minum kopi. Tapi sabtu kemarin beliau terlihat sedih dan lelah setelah rapat pembantalan proyek beliau di universitas. Mungkin itu lah yang membuat Kakek berpikir tentang kafein.”
Polisi Lesburke mencatat sesuatu pada buku kecilnya. Sepertinya dia sedang merekam segala sesuatu yang kukatakan.
“Apakah kemarin Profesor bertemu dengan seseorang sebelum mengunci diri di ruang kerja?” Tanya Hale.
Aku mengangguk lemah. “Ya. Beliau bertemu dengan Lawrence Verne.”
“Siapa Lawrence Verne?”
“Dia mahasiswa Sejarah asia timur dari asrama Fitzwilliam,” kataku.
“Panggil Lawrence Verne!” kata Hale.
Polisi jangkung besar segera keluar dari ruang kerja.
“Dimana kau saat pembunuhan tadi malam?” Tanya polisi bernama Lesburke.
“Saya tidur di kamar yang terletak di sebelah utara di lantai dua,” kataku mantap. Aku melirik lukisan potret ayahku yang tergeletak di bawah jendela yang tertutup.
Hale dan Lesburke sepertinya mengetahui tindakanku. Hale mengambil lukisan itu dan memperhatikannya. “Siapa ini?”
“Itu ayahku,” kataku. “Kakek melepasnya dari dinding kamar sebelah barat. Kamar itu sekarang milik Alex.”
“Siapa itu Alex?” Tanya Hale. Aku mulai merasa sebal dengan orang ini.
“Kakakku,”kataku. “Namanya Alessandro. Dia sekarang berada di London. Dia baru berangkat kemarin.”
“Alex berangkat sebelum pembunuhan terjadi,” kata Lesburke berkomentar.”Apakah Alex bicara dengan Profesor sebelumnya?.”
Aku memandang mayat kakek. “Sebenarnya aku tidak tahu keberangkatan Alex. Kakek bilang kalau Alex terburu-buru pergi dan hanya pamit padanya.”
“Dimana Alex kuliah?” Tanya Hale.
“Royal Holloway, universitas London,” kataku.
Pintu terbuka. Aku dan dua polisi yang masih tersisa di sini segera menoleh ke arah pintu. Lawrence Verne, diiringi polisi jangkung besar, masuk dengan wajah lesu seperti sebelumnya.
Lawrence berjalan ke tengah ruangan. Dia terkejut melihat mayat Profesor yang amat dihormatinya itu. Ia memandang kepada aku, Hale, dan Lesburke bergantian. Aku yakin sekali Lawrence sama sekali tidak terkait dengan kasus pembunuhan kakekku.
“Apa kau Lawrence Verne, mahasiswa Sejarah asia timur dari asrama Fitzwilliam?” Tanya Hale. Aku mulai kagum dengan gaya bicara Hale. Dia seperti terlahir hanya untuk menjadi ahli Interogasi.
“Ya,” kata Lawrence lemah. “Untuk apa aku dipanggil kemari?.”
“Well, Verne,” kata Hale. Aku semakin yakin dia memang dilahirkan dengan keahlian berbicara yang mengagumkan. “Bolehkah kami bertanya beberapa hal padamu?.”
Lawrence mengangguk.
“Well, “ Hale berjalan melewatiku. “Seperti yang kau saksikan sekarang, Profesor Jim Walter meninggal sekitar sembilan jam yang lalu. Kami belum memastikan beliau dibunuh atau bunuh diri. Namun, menurut seorang saksi, Profesor Jim Walter sempat bertemu dengan seseorang dan berbincang-bincang di ruang kerja. Orang itu bersaksi bahwa Profesor Walter tidak bertemu dengan siapa-siapa lagi setelah itu. Pertanyaan kami adalah benarkah kau bertemu dengan Profesor kemarin?”
“Ya,” kata Lawrence. Dia sekarang memandangku tanpa ekspresi.
“Pukul berapa kau datang kemari?”
Lawrence diam sejenak. “Aku berangkat dari asrama pukul 10 dan tiba di sini pukul 10 lebih.”
“Ada keperluan apa kau datang menemui professor?”Tanya Hale. Aku masih berdiri di samping lemari buku. Lawrence menatap kakekku yang sudah tak bernyawa dengan sedih.
“Aku ingin membicarakan proyek bersama Profesor,” kata Lawrence.
Hale dan Lesburke memandang Lawrence.
“Proyek penelitian tentang fosil tulang tengkorak yang ditemukan arkeolog Inggris di lembah sungai Nil,” lanjut Lawrence. “Tetapi Rektor tidak menyetujui proyek ini dan Profesor Jim terpaksa membatalkannya.”
“Pukul berapa kau pulang?” Tanya Hale.
“Profesor menyuruhku pulang pukul 1 siang dan menyuruhku kembali pukul tiga sore, “Lawrence memandang gelas kopi (atau mungkin hanya perasaanku saja) di atas meja. “Setelah aku datang untuk yang kedua kalinya pada pukul tiga, aku pulang pukul 9 malam.”
“Kejahatan sempurna, Hale!” gumam Lesburke, lalu berjalan ke jendela kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of The Scientist Self-Portrait
Mystery / ThrillerTerbunuhnya sang kakek meninggalkan teka-teki. Sebuah lukisan tua menjadi karya penuh misteri. Alannise harus menembus kabut untuk menyingkap kebenaran. Apakah yang sebenarnya terjadi?