Aaron pulang beberapa jam sebelum makan malam. Alex tidak ikut sarapan dan makan siang. Dia masih mengunci diri di kamar ayah. Lawrence baru saja keluar dari ruang kerja kakek dengan wajah lebih kusut dari sebelumnya. Aku berdiri di tengah-tengah koridor, berharap kakek atau Alex akan keluar dari ruangan masing-masing.
Kakek keluar dari ruang kerjanya. “Kau menunggu Alex?.”
“Dia tidak sarapan dan tidak makan siang,” kataku.
“Dia ‘kan sudah kembali ke London,” kata Kakek, lalu berjalan melewatiku. “Dia tidak pamit padamu?.”
Aku menggeleng. “Tidak.”
“Dia terlihat terburu-buru,” kata kakek. “Dia bahkan tidak menyelesaikan pembersihan di kamar barat saat aku masuk untuk mengambil lukisan itu.”
Aku berjalan di belakang kakek. Apakah kepergian Alex ada hubungannya dengan segitiga yang dibentuk tangan ayah yang sampai membuatnya terisak itu?. Tapi dia tidak lewat tangga penghubung dan juga tidak terlihat lewat di depan dapur. Apakah simbol itu penting sekali?.
“Kapan dia berangkat?” tanyaku.
“Setelah Lawrence masuk ruang kerjaku, dia juga masuk untuk pamit,” kata kakek. Sekarang kami menuruni tangga. “Dia membawa koper yang dibawanya kemarin. Kuharap dia juga membawa buku-buku referensi yang kuberikan untuknya.”
Menurutku simbol segitiga itu sangat penting bagi Alex. Dia mungkin sekarang sedang berada Royal Holloway untuk mencari tahu arti simbol itu. Tapi simbol tidak penting sekali. Bentuk segitiga itu hanya kebetulan dan keberangkatan Alex sangat tidak masuk akal. Jika dia pergi membawa koper,koper itu seharusnya menimbulkan suara yang ribut saat menuruni tangga karena diseret. Tapi aku tidak tahu koper seperti apa yang dibawa Alex saat dia datang kemari. Alex mempunyai beberapa koper. Ada yang diseret dan ada yang diangkat. Atau mungkin dia membawa koper angkat.
Aku tidak bisa tidur karena memikirkan keberangkatan Alex yang mendadak itu. Aku sudah mengirim pesan ke ponselnya dan meneleponnya, tapi dia tidak menjawab pesan atau panggilanku.
Mrs. Combe duduk di bangku guru sambil mengetik sesuatu pada laptopnya. Kelas Sembilan C sunyi. Ethan, anak laki-laki pendek hitam yang duduk di sampingku, berkali-kali bersin. Lalu Phyllis, anak perempuan dengan wajah penuh make up yang duduk di depanku, memoles bibirnya dengan lipgloss setiap beberapa menit. Sebenarnya dia tidak mengganggu, tapi aku hanya tidak nyaman saja duduk di belakangnya. Tidak akan ada yang mau tukar tempat denganku, di pojok paling belakang. Terkucilkan dan terisolasi.
“Gau bunya tisu?” tanya Ethan. Aku bisa melihat hidungnya yang berwarna merah itu seperti bergerak-gerak.
Aku segera merogoh tas dan memberikan seplastik tisu yang masih baru kepadanya. Aku tidak tahan melihatnya bersin-bersin terus sementara Phyllis tidak henti-hentinya melempar pandang jijik kepada Ethan.
“Terima gasih,” kata Ethan.
“Psst,” desah Phyllis kepada Ethan. “Bisakah kau berhenti melakukan hal menjijikkan itu di kelas?” tanyanya jengkel.
“HATSYU!. Mbaaf, agu didak bisa,” kata Ethan.
“Dasar aneh!” kata Rupert, anak laki-laki berambut coklat seperti warna bulu hamster yang duduk di depan Ethan. “Kau flu tepat pada akhir musim semi menjelang musim panas. Tidak ada orang normal yang flu menjelang musim panas, Ethan!.”
“Mbaaf,” kata Ethan pelan. HATSYU!
“Dia memang aneh,” sahut Pamela, gadis yang duduk di depan Rupert.
“Tuan Brooks,” kata Mrs. Combe dari meja guru. “Kenapa kau tidak berbaring di UKS saja?. Duduk tidak membuatmu lebih baik.”
Kini semua anak di dalam kelas memandang ke arah Ethan dengan sebal.
“Agu baik-baik saja,” kata Ethan. “Duduk idu menjeatgan, Mrs. Gombe.”
“Menyebalkan,” gerutu Nathan, anak laki-laki yang duduk paling depan.
Mrs. Combe bangkit. “Nona Dwayne, aku akan sangat berterima kasih jika kau mau membantu Tuan Brooks ke UKS.” Aku bisa menebak raut wajah Phyllis saat ia mendengar perintah itu.
“Kenapa tidak Walter saja?” sahut Malcolm, anak laki-laki gendut yang duduk di belakang Nathan.
“Ya, Walter saja!” seru Nathan.
Mrs. Combe memandangku. “Aku akan sangat berterima kasih, Nona Walter,” katanya sambil mengerling. Mata abu-abu di balik kaca mata persegi berantai itu benar-benar mengucapkan terima kasih.
Aku segera bangkit dan mengangkat bahu Ethan. Pandangan semua orang kini tertuju padaku.
“Jangan khawatir, Ethan,” kata Malcolm dengan suara manis yang dibuat-buat. “Semua akan baik-baik saja. HAHAHAHAHAHA!.”
Dan seisi kelas tertawa, kecuali Mrs. Combe. Wanita tua itu memandang Ethan dengan penuh belas kasihan. Saat Ethan akan bangkit untuk berjalan, seseorang mengetuk pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of The Scientist Self-Portrait
Mystery / ThrillerTerbunuhnya sang kakek meninggalkan teka-teki. Sebuah lukisan tua menjadi karya penuh misteri. Alannise harus menembus kabut untuk menyingkap kebenaran. Apakah yang sebenarnya terjadi?