“Hai, Al!” kata Aaron saat aku membuka pintu.
“Aaron, ayo masuk!” kataku, dan Aaron segera berjalan mendahuluiku. Aku menutup pintu.
“Rumahmu sepi sekali!” kata Aaron sambil memandangi ruang pertama yang dilihatnya.
Aku berjalan ke dapur. “Kakek dan Alex ada di atas. Dan aku selalu berada di bawah. Kemari, Aaron!.”
Aaron mengikutiku ke dapur.
“Duduk di situ,” kataku sambil menunjuk kursi kurus yang biasanya diduduki kakekku, sementara aku segera mematikan kompor dan mengambil piring.
“Kau sibuk sekali,” kata Aaron. “Jika aku tahu kau akan begini, aku tidak akan datang.” Tambahnya dengan nada tidak nyaman.
“Oh, ayolah,” kataku sambil meletakkan udang goreng ke atas piring. “Anggap saja kau menjadi asistenku.”
Dia tertawa. “Menjadi asisten chef rumahan?! Tergantung berapa gaji yang kau tawarkan.”
Terdengar suara pintu diketuk.
Aku segera berjalan menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Aku tidak mendengar suara Alex atau kakek di atas. Aku membuka pintu yang berat itu dengan sedikit mengeluarkan tenaga. Aku melihat Lawrence, mahasiswa Sejarah Asia Timur, yang kemarin datang kemari. Wajahnya kusut, namun penampilannya rapi.
“Aku ingin bertemu dengan Profesor Jim Walter,” katanya dengan cepat.
“Tunggu sebentar,” kataku formal. Aku segera berlari mendaki tangga dan langsung menuju koridor sebeah timur untuk menemui kakek. Lawrence datang lagi, entah apa tujuannya menemui kakek. Tapi kakek juga pernah bilag pada Lawrence agar datang kembali jika ia memerlukan sesuatu. Kupikir tidak ada masalah.
Aku mengetuk pintu kamar kakek. Tidak ada jawaban. “Kakek!” kataku sambil terus mengetuk. “Lawrence datang lagi. Dia ingin bertemu.” Tidak ada jawaban.
Aku keluar dari koridor timur untuk mencari kakek di koridor yang lain. Aku berhenti di tengah-tengah koridor yang menghubungkan koridor timur, barat, utara, dan selatan. Dan aku melihat kakek sedang menutup pintu kamar dimana Alex sedang membersihkan kamar itu. Kakek membawa lukisan potret ayah.
“Al-Allen!” kata kakek dengan nada agak terkejut.
“Lawrence ingin bertemu dengan kakek,” kataku. Aku melihat tangannya yang memegang lukisan bergetar dan berkeringat.
“Baiklah,” katanya, lalu menyandarkan lukisan itu pada dinding. Dia berjalan melewatiku. Aku melihat raut wajah marah yang sangat kentara. Aku segera berjalan menuruni tangga untuk menemani Aaron di dapur. Lawrence masih berdiri di depan pintu.
“Masuk, Lawrence!” kataku, lalu masuk ke dapur.
Aaron sedang berdiri di depan penggorengan. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya.
“Aaron, sedang apa kau?” tanyaku.
“Katamu aku asistenmu,” katanya ringan. “Jadi, saat kau pergi, aku yang menggantikanmu.”
Aku tersenyum. “Aku bercanda!.”
“Aku tahu!” katanya.
“Oh,” kataku, teringat dengan pesan Aaron. “Sebenarnya ada apa kau kemari?.”
Aaron memandangku, lalu duduk di kursi kurus. “Aku hanya berkunjung,” katanya. “Tidak boleh?”
“Boleh saja,” kataku, lalu mengambil alih menggoreng. “Aku tidak menyediakan gaji yang cukup!.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of The Scientist Self-Portrait
Mystery / ThrillerTerbunuhnya sang kakek meninggalkan teka-teki. Sebuah lukisan tua menjadi karya penuh misteri. Alannise harus menembus kabut untuk menyingkap kebenaran. Apakah yang sebenarnya terjadi?