OLAH TKP

235 11 0
                                    

Dia membuka tirai. Sinar matahari pagi masuk ke dalam ruangan. Aku bisa melihat mata Lawrence berkaca-kaca. Aku hanya diam saja. Aku menatap kakekku yang sudah kaku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya.

“Jadi kau pulang pada pukul 9,” kata Lesburke, lalu berpaling kepada Lawrence.

Lawrence mengangguk. “Kalian bisa bertanya pada Bradley!.”

Hale berjalan ke jendela, lalu berjongkok. Aku menyimpulkan kalau dia bukan seorang polisi, tapi seorang detektif. Aku mulai tertarik dengan kehadiran Hale yang mengagumkan itu.

“Jendela terkunci dari dalam,” kata Hale. “Pintu juga terkunci dari dalam. Apakah di sekitar sini ada pintu rahasia yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan lain atau jalan keluar?.”

Aku yakin seklai kalau Hale pasti bertanya padaku. “Sejauh yang kutahu, tidak ada.”

Pintu berdebam terbuka dan empat orang laki-laki masuk. Mereka adalah laki-laki berpakaian sama yang memeriksa kamar kakekku saat aku mengecek kamar itu.

“Kamar Profesor sudah diperiksa, Inspektur,” kata salah satu laki-laki dari empat orang berseragam itu. “Kami tidak menemukan apa-apa kecuali perabotan-perabotan umum. Di dalam kamar hanya ditemukan DNA korban. Pada gagang pintu juga hanya ada DNA korban.”

“Baiklah, Hale,” kata Lesburke sambil memilin kumisnya sementara Hale seperti sedang meneliti setiap inchi jendela  kaca dengan saksama. “Tidak ada yang kita temukan di kamar tidur. Tidak ada DNA lain yang tertinggal di sini selain DNA korban sendiri.”

Aku memandang dua penyelidik itu. Aku sama sekali belum mengerti. “Inspektur, jika semua jendela dan pintu terkunci, lalu bagaimana anda bisa mengetahui kakek saya telah meninggal di tempat ini?” tanyaku, setelah menyadari kehadiran dua orang itu berguna.

Hale tidak mengacuhkanku, tapi dia masih terus berfokus dengan penyelidikannya sendiri. Lesburke memandangku. Lawrence seperti sangat terpukul sampai ia diam seribu bahasa.

“Periksa seluruh rumah ini,” kata Lesburke, lalu tim penyelidik itu segera menghilang dari ruang kerja. “Begini, Alannise,” dia sekarang memandangku. “Apakah Profesor, atau mungkin, kau sendiri yang mengurus segala sesuatu di rumah ini? Seperti bersih-bersih?.”

Aku mendongak. “Apakah maksud anda Mrs. Ethel Prawn?” tanyaku.      

“Ya,” kata Lesburke. “Nyonya Prawn, pembantu rumah ini yang tinggal di ujung jalan, yang menemukan Profesor Walter saat dia mau membersihkan rumah. Dia tidak menemukan Profesor di kamarnya, lalu dia kemari untuk membangunkan Profesor yang katanya sering ketiduran di ruang baca karena ada beberapa mahasiswa yang menunggu di luar. Pintu ruangan ini terkunci dan dia sebenarnya tidak mau membangunkan Profesor. Dia mengetuk pintu sampai berkali-kali, tapi Profesot tidak menjawab. Nyonya Prawn juga membunyikan bel di ruang kerja, tapi Profesor tidak menjawab. Nyonya Prawn bingung dan memutuskan untuk mengintip lewat lubang kunci.”

Aku masih belum mengerti. “Bagaimana dengan pintu yang terkunci itu?. Mrs. Prawn tidak mungkin mendobraknya.”

Lesburke mendekat. “Dia memanggil mahasiswa-mahasiswa itu, lalu mereka mendobraknya.”

“Enam mahasiswa mendobrak pintu itu,” kata Hale, mengoreksi. Dia bangkit, lalu berjalan keluar.

“Kau mau kemana, Hale?” tanya Lesburke.

“Keluar,” kata Hale, lalu menghilang di balik pintu.

Polisi jangkung besar masuk. “Inspektur, para pelayat itu bersikeras ingin melihat jenazah mendiang Profesor,” katanya.

Secret of The Scientist Self-PortraitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang