Keluarga Profesor

230 6 0
                                    

KELUARGA PROFESOR

“Selamat datang di rumah, Allen!” kata laki-laki muda jangkung yang berdiri di puncak tangga. Wajahnya sama persis dengan lukisan wajah laki-laki di dinding di belakangnya. Rambut hitamnya tidak rapi dan mencuat kemana-mana. Mata coklatnya terlihat lelah dan penampilannya berantakan. Dia lah kakakku, Alessandro Walter.

“Kapan kau datang?” tanyaku.

Alex berjalan menuruni tangga. “Sekitar sepuluh menit yang lalu.”

Aku berjalan ke dapur. “Kau sudah bertemu kakek?” tanyaku, lalu membuka lemari es dan mengambil botol Coca Cola. Sekarang Alex berdiri di ambang pintu dapur sementara aku duduk sambil minum Coca Cola.

“Ya,” katanya. “Kenapa kakek murung begitu?.”

Aku memandangnya.

Alex segera duduk. Dia memandangku antusias. “Kau pasti tahu kenapa!” dia memvonisku.

“Kau pasti tahu kalau kita tidak boleh mencampuri urusan orang dewasa,” kataku ringan, lalu minum lagi.

Alex terlihat tidak senang. “Aku sudah dewasa, Al!”katanya sebal.

“Kalau begitu, kita tidak boleh mencampuri urusan kakek, kecuali kalau itu urusan keluarga!” kataku lagi, semakin membuatnya kesal. “Apa yang dikatakan Kakek padamu?” tanyaku.

Dia mengambil botol Coca Cola dariku. “Kakek hanya bilang ‘kau sebaiknya beristirahat. Aku yakin sekali Royal Holloway sudah membuat kepalamu berasap berhari-hari’. Siapkan makan malam, Alex!’, hanya itu!” kata Alex, lalu dia meminum Coca Cola.

“Lalu, kenapa kau masih duduk di situ?” tanyaku. “Bukankah kakek memintamu menyiapkan makan malam?”

Alex mendengus kesal. “Aku akan membantumu!.”

“Bilang saja kalau ‘aku butuh bantuanmu’,” kataku, lalu merebut botol darinya dan segera memasukkan botol itu ke dalam lemari es. “Aku hanya bercanda, Kakak!” tambahku saat melihat raut wajahnya penuh ancaman.

“Kita akan makan sup malam ini,” katanya, lalu membuka lemari es dan mengeluarkan kubis.

“Sup?” kata sebuah suara dari pintu. “Terdengar enak!.”

Aku dan Alex secara otomatis menolah ke arah sumber suara. Kakek berdiri di pintu dengan senyum mengembang. Rambutnya yang sudah memutih dan hampir botak itu dengan jelas menunjukkan identitasnya sebagai seorang intelektual. Kumisnya juga memutih dan tubuhnya kurus. Kakek selalu mengingatkanku dengan tokoh Dokter John Watson dalam novel Sherlock Holmes karangan Arthur Conan Doyle, namun edisi tua.

“Ya, kakek, kita akan makan sup malam ini,” sahutku senang sambil merebut kubis dari tangan Alex. Alex akhrinya memilih untuk menyingkir, lalu memilih untuk menyalakan kompor.

Kakek duduk di kursi. “Sudah kubilang, kan, Alex, kalau kepalamu sudah berasap berhari-hari. Lihat, Al! untuk apa dia menyalakan kompor?” kata kakek sambil membuka toples biskuit.

Aku sedang mengambil wortel dan kentang, lalu meletakkannya di atas meja. Alex sekarang duduk berhadapan dengan kakek.

“Memanaskan kompor, tentu saja,” katanya sambil mencomot biskuit dari toples yang dibuka kakek.

Aku mengambil buncis, seledri, dan bawang prei, lalu meletakkannya di atas meja untuk diiris. “Persediaan daging kita kosong. Bagaimana kalau baksonya kita ganti dengan sosis?” kataku pada dua pelangganku.

“Ya, itu juga enak,” kata kakek.

“Terserah,” tambah Alex.

Dan begitulah. Aku menyiapkan makan malam sementara kakek dan Alex mengbrol tentang kuliah Alex dan tesis yang akan disusunnya. Kakek berkali-kali menyarankan buku untuk tambahan referensi Alex, dan Alex berkali-kali juga menyangkal teori-teori yang dijelaskan oleh kakek. Pekerjaanku akhirnya selesai dan keinginan untuk makan malam dengan sup terwujud.

“Apakah aku boleh menggunakan kamar sebelah barat untuk perpustakaan pribadiku, Kek?” tanya Alex.

“Ya,” kata kakek.” Dan tolong barang-barang bekas di sana kau musnahkan. Ada rak penuh buku milik ayahmu yang bisa kau gunakan. Tapi kau jangan musnahkan lukisan ayahmu.”

Aku mengernyit. “Kenapa?” tanyaku.

            “Karena rumah ini kekuarangan barang-barang kuno di dinding-dindingnya,” kata kakek. “Jika kau memindahkannya,” sekarang dia berpaling kepada Alex, “sebaiknya tidak usah. Kakek sendiri yang akan memindahkannya.”

Aku dan Alex saling berpandangan.

“Tidak perlu bingung,” kata kakek saat melihat ekspresi kami. “Itu wasiat ayah kalian.”

“Baiklah,” kata Alex. “Ayah kita tersayang, Al!.”

Secret of The Scientist Self-PortraitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang