Heart too Hurt part 16

2.3K 118 2
                                    

"Kak Lio!" Lyn menghela napas lega begitu menemukan kakaknya duduk di teras belakang. Dia mendekat dengan berlari-lari kecil sambil mengacungkan botol obat dan air mineral.

"Makasih ya adikku sayang…"

"Buruan minum obatnya nanti makan parah lagi bentol-bentolnya." Lyn mengamati tangan kakaknya yang terdapat bercak kemerahan. "Kakak sih udah tahu alergi udang, masih juga dimakan," sungutnya kesal. "Nggak enak lagi."

"Diandra kan udah susah-susah masak buat kita, masa nggak dimakan. Kasihan, dia baru sembuh bela-belain lho…" Lio menutup botol air mineralnya. Diandra memberi mereka masakannya sendiri untuk pertama kalinya.

"Tapi kan Kakak harusnya bilang kalau alergi udang."

"Itu namanya white lie, dek." Lio mengacak rambut adiknya. Berbohong demi kebaikan. "Kamu kan denger ucapan dokter, kita harus jaga perasaan Diandra biar dia cepat pulih.

"Kakak serius ya mau pacaran sama Di?" Lyn cemberut, sebal perhatian kakaknya akan dibagi. "White lie, white lie, white lie…" Lyn mengucapkannya berulang kali. Kakaknya hanya bisa menahan tawa.

"Kakak!" Lyn terbangun dengan leher dan kening basah. Mimpi lagi. Mimpi itu memang pernah terjadi sembilan tahun lalu.

Dia mengusap wajah dan rambutnya, menenangkan deru napasnya. Dia memandang ke sekeliling. Bukan kamarnya, dia masih terkurung di ruang musik sejak lima jam lalu. Sendirian. Sudah jam tujuh malam, semua orang pasti sudah pulang. Dia sudah lelah menggedor-gedor kaca minta tolong. Yang bisa dia harapkan hanyalah pak satpam yang jaga malam. Jika berkeliling sampai ke sana tentu saja. Ruang musik terletak di gedung paling belakang, berderet dengan ruang klub kesenian dan jurnalistik. Dekat dengan gudang dan kantin lama yang dibiarkan kosong. Jika ada hantu usil yang memindahkannya ke luar seperti di cerita horror maka dia akan sangat berterima kasih.

Orion, awas saja ya bocah itu. Dia akan menjadi yang pertama dia datangi jika dia gentayangan setelah mati.

Lyn menghidupkan AC dalam skala paling kecil untuk mengurangi rasa gerahnya. Dia tidak takut berada di sana sendirian, sudah biasa jika hanya di rumah sendirian. Soal hantu atau makhluk makhluk menyeramkan juga tidak membuatnya khawatir. Temannya di Korea, Ji Sun bisa melihat hantu dan sering bercerita apa yang dia lihat padanya. Dia juga suka menunjukkan pada Lyn, itu di sana, yang di sana sedang melihat kita, yang di sana hantu anak kecil dan bla… bla… bla. Yah walaupun dia tidak bisa melihat namun lama-lama dia terbiasa.

Yang paling menakutkan baginya adalah jika tidak ada obat di tasnya.

"Sejak kapan aku ketiduran?" Lyn memandangi layar ponselnya yang hitam. Sialnya mama, papa dan tante Hani pergi ke Tangerang dan menginap. Kalau tidak pasti mereka sudah kalap mencarinya dan dia bisa selamat. Di ruangan itu juga tidak ada komputer atau laptop. Dia tidak bisa minta bantuan lewat sosmed.

Lyn berjalan ke jendela, mencoba melihat keadaan di luar. Gelap gulita.

Tidak adakah yang mencoba meneleponnya dan curiga kenapa ponselnya tidak aktif? Tidak adakah yang curiga kenapa BBM nya off?

Apa Dennis tidak menghubunginya malam ini? Dia belum tahu arti angka-angka itu, apa dia tidak ingin memberitahunya?

Setengah jam kemudian Lyn habiskan dengan mondar-mandir memutari ruang musik. Beberapa hari ini kakaknya muncul di mimpinya. Apa kakaknya rindu padanya? Ah, dia belum mengunjungi makamnya lagi. Dasar adik durhaka.

White lie? Lyn memandang ke langit-langit. Kalau demi melindungi seseorang maka harus menyakiti lebih dari seorang, apa itu juga termasuk white lie?

Heart Too HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang