BAB XV

70 3 0
                                    

BAB XV
Sudah hampir satu tahun Dhikel menjalani hidup tanpa sosok orang yang selalu menjadi bagian dalam pikirannya. Orang yang selalu membuat hatinya bahagia. Orang yang telah mengambil hatinya tanpa paksa dan tanpa permisi.
Kini dia dia sudah berhasil memenuhi permintaan Junior. Hari ini dia akan menunjukan semua keberhasilannya ke Junior.
Dhikel tersenyum lalu mengangkat sebuah piala penghargaan atas prestasi terbaik yang pernah dimilikinya. Piala penghargaan sebagai Lulusan siswa terbaik di SMA Negri 1 babelan.
"kakak. I'm coming."
Dhikel tertawa , lalu berlari lebih cepat.
"apa kau masih mencintaiku??"
Dhikel terkejut, kenapa bertanya seperti itu.
"hah?? Kenapa kau bertanya begitu."
"kau akan kecewa jika terus mencintaiku."
Junior sedikit bingung, kenapa gadis ini malah tertawa mendengar pernyataannya itu.
"apa ada yang lucu.?"
Dhikel berusaha menahan tawanya, memperkecil sebisa mungkin suara tawanya. Dia merasa sedikit lucu, kenapa Junior memikirkan perasaannya. Selama ini juga Dhikel selalu mencintainya, dan menyatakannya secara terang-terangan. Dan Junior secara terang-terangan pula akan menolak cintanya. Paling tidak ini sudah sedikit kemajuan. Dia menolak tapi masih memikirkan perasaan Dhikel. Tidak seperti dulu.
"bukankah dari dulu aku selalu mencintaimu. Aku tak pernah merasa kecewa sekalipun kau menolak ku dan memakiku secara terang-terangan. Aku masih bisa mencintaimu selama dan sebisa aku untuk tetap bernafas."
Junior sedikit tersentuh dengan pengakuan Dhikel. Jika bisa, dia pun ingin mencintai gadis itu sebisa dan semampu dia tetap mampu bernafas. Tapi sekarang sudah tidak bisa. Ada orang yang lebih mencintainya dari pada dirinya sendiri.
"kau akan tetap mencintaiku seumur hidupmu. Maksud mu begitu?" Dhikel memanggutkan kepala. Tapi tatapannya menunduk karena sedang meminum jus melonnya.
"kenapa tidak. Meskipun kau terus menerus menolakku, mencaci ku. Atau kau akan menghindariku selama. Mungkin juga jika kau sudah memiliki pasangan hidup dari pilihanmu sendiri dan bukan aku. Aku masih bisa mencintaimu. Tentusaja. Cinta tak selamanya harus memiliki."
Dhikel mulai menundukan kepalanya, bukan karena sedang meminum jusnya. Tapi sedang menatapi perkataannya yang baru saja terucap.
"aku masih tak berharap jika kau menolakku lagi. Aku sudah banyak berubah saat ini. Harusnya aku sudah memenuhi kriteriamu."
"memang ia."
"apa?"
Dhikel sedikit tak percaya dengan apa yang didengarnya. Apa tadi Junior bilang ia?
"iia. Kau memang sudah termasuk kriteriaku."
"a,,,,"
Dhikel bingung harus bicara apa lagi. Junior jelas bilang ia sama dia.
"apa itu benar. Berarti aku bisa menjadi pacarmu."
Jawab Dhikel senang,. Kali ini gadis itu sudah berhasil mengambil kekuatan unutk kembali menatap mata Junior.
"yah. Kau memang sudah memenuhi karakteristik ku. Kecuali."
"kecuali apa??"
"kau masih tak sepintar aku."
"ahh. Itu, tentu saja aku tak bisa menyaingimu. Bagimana cara aku membuktikannya. Kita kan sudah tak seangkatan lagi."
"jika kau bisa menjadi murid dengan lulusan yang terbaik saat kelulusan nanti. Mungkin aku akan memikirkannya."
"yang terbaik. Berarti....?"
"iia. Jadilah murid dengan lulusan terbaik. Setelah itu. Tapi..."
"tapi apa?"
"jika kau gagal membuktikannya. Selama aku tak akan mau menemuimu lagi."
Dhikel tidak langsung menjawab, untuk setuju atau tidak. Jika sampai dia gagal. Dia tak akan menemui Junior lagi . tapi jika dia berhasil.
"apa jika aku bisa memenuhinya. Kau akan menerimaku."
"tentu saja."

Langkah Dhikel terhenti, begitu dia menyadari ada sosok pemuda yang masih asing disekolahnya. benar."
Jawab Angga berusaha menjelaskan, dia tak tahu kapan sisa waktu Junior akan berakhir habis. Sejak awal temannya sudah tertarik dengan gadis yang juga dicintainya. Dhikel. Dan dia selalu memungkirinya karena sudah tahu tak akan hidup lama.
"kau benar. aku memang merencanakan itu semua. Aku terpikirkan cara itu saat aku melihat foto Dion di hp nya. Dan menemukan beberapa sms tentang mereka berdua. Aku fikir jika mereka bertemu. Itu akan membuka sedikit ingatan tentang Dhikel. Aku memintamu untuk menerima Dhikel, dan mendekatinya agar dia mau kau jadikan partner tempat observasi yang sudah aku atur sebelumnya. Aku tak ingin dia mengingatku sebagai kakak. Aku tak mau kehilangannya dan menyerahkannya kepada siapapun. Bahkan dengan sisa waktu hidup yang sudah ditentukan. Aku tak akan menyerahkannya."
Junior memaksa untuk tersenyum, tapi sedetik kemudian dia meringis menahan sakit atas nafas sesak yang diambilnya.
"aku tak berniat mengambil dia darimu. Akan tetapi, kami sudah berjanji akan bertemu saat kelulusannya nanti , jika dia berhasil menjadi murid terbaik disekolah. "
"aku sudah tak bisa memaksa, yang dicintainya kamu Junior, bukan aku."
"kalau begitu, bolehkah aku meminta tolong padamu?"
"katakanlah."
"bawa dia kepada ku jika saat itu tiba. Melihat kondiri ku seperti ini. Aku tak mungkin menemuinya pada saat itu. Aku mohon, bawalah dia kepadaku."
.....
"kau sudah akan berangkat Angga.
"iia kak. apa Deddy masih belum sehat?"
"tidak perlu khawatir. Deddy akan segera sehat. Setelah mengajak nya menemui Junior, jangan lupa ajak mampir kesini. Deddy merindukannya."
"tentu saja." Angga mencari-cari kunci motornya, lalu meletakan disaku celananya, dia mengambil tas ransel besar lalu menyangkilkannya ditangan sebelah kanannya.
"ini kunjunganmu yang pertama. Kau sudah berubah seperti ini. Apakah kau berharap bisa melampaui Junior.
Angga menyangkilkan tali tas ranselnya ketangan yang satunya lagi.
"aku akan melampaui nya."
Angga mulai mengambil langkah untuk pergi. Pandangan Egy masih mengikuti langkah Angga, dalam hati dia berharap, semoga gadis yang bernama Dhikel mau menerima adik kandungnya, yang bahkan selama dia menyadarinya tak ada satu orang pun gadis yang berhasil masuk kedalam hati Angga selain, Dhikel. Orang yang juga disayanginya.
"semoga berhasil."
Samar Egy mengucapkan bisikan kecil yang lebih terkesan untuk bergumam sendiri. mendoakan sang adik untuk berhasil. Angga sudah cukup sulit karena disalahkan oleh ayah nya atas kepergian Dhikel dari kehidupan mereka, sementara Egy sendiri tahu Junior jauh lebih menderita dari pada mereka sendiri.
Setiap hari menahan sakit didalam cinta nya yang tulus.
***
Angga sudah berdiri didepan gerbang sekolah sang gadis. Meskipun menyakitkan megikhlaskan gadis yang dicintainya bersama sahabatnya. Kini dia harus menahan sakit itu demi janjinya pada Junior. dia akan membawa Gadis yang dicintainya, kehadapan Junior.
Begitu sang gadis yang dicarinya terlihat. Angga langsung mengambil langkah untuk menghampirinya, melebihi langkah gadis itu sendiri yang berjalan santai kearahnya.
Gadis itu tampak ragu, dia menoleh kekiri dan kekanan memastikan ada siapa disekitarnya. Tapi yang bisa dilihatnya hanyalah dirinya seorang, sementara yang lain ada yang berbisik atau sekedar melongo menatap kearah laki-laki itu. Dan sebagian yang lain sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
"hai." Dhikel menoleh begitu dia mendengar suara sapaan sepertinya tak asing ditelinganya. Awalnya dia menoleh untuk melihat milik siapa suara yang begitu dikenalnya itu. Tapi usaha untuk mengenali orang itu terlupakan begitu dia menyadari sebuah wajah menunduk kearahnya dengan posisi yang sangat dekat. Begitu dekat hingga dengan spontan dia memundurkan tubuhnya satu langkah kebelakang.
"siapa kau.?"
Tanya Dhikel tak mampu mengenali, tapi dia yakin pernah mengenal laki-laki itu.
"wah. Sudah lama tak bertemu , kau sudah tak mengenali aku lagi?"
"apa kita pernah bertemu?"
"payah."
Laki-laki itu menjauhkan kepalanya dari pandangan Dhikel. Dia memperhatikan ada banyak mata yang sedang mengawasinya. Tak tahu kenapa mereka menjadikan dirinya dan gadis itu sebuah tontonan. Padahal dia tak melakukan apa-apa dengan gadis ini.
Angga kembali menatap gadis yang tampak bingung didepannya.
"ayo ikut."
angga menggerakan tangan kanannya untuk meraih pergelangan tangan kiri Dhikel.
"terlalu banyak saksi mata untuk bicara."
Angga menarik tangan Dhikel, mengajaknya melangkah mengikuti tuntunan tangan Angga.
Gadis itu hanya diam, menerima dengan pasrah perlakuan dari Angga. Tapi tak lama kemudian, saat mereka sudah sampai digerbang, Dhikel mendapati kesadarannya. Tak seharusnya dia mengikuti perintah orang yang tak dikenalnya. Dengan kasar dan penuh sentakan Dhikel melepaskan pergelangan tangannya dari belenggu orang asing yang hanya menurut perasaannya saja dia mengenalnya, tapi Dhikel masih tidak bisa mengenal siapa laki-laki itu.
"tunggu dulu. Kenapa aku harus ikut denganmu. Aku kenal kau saja tidak."
Dhikel ragu mengatakan itu. Hatinya masih membentak , bahwa itu salah. Dia memang mengenal laki-laki itu.
"kau tidak mengenaliku?"
"tidak sama sekali."
Dhikel berkacak pinggang menantang kebenaran tentang pernyataannya yang dia sendiri ragu untuk itu.
Angga mulai memikirkan bagaimana caranya Dhikel mau mengikuti permintaannya dan dia tak perlu tahu sekarang tentang dirinya. Ini sebenarnya suatu keberuntungan karena Dhikel tak bisa mengenalinya. Jika saja Dhikel mengenalinya saat ini. Dia tidak akan mau diajak pergi olehnya, atau bahkan Dhikel akan langsung lari begitu melihat dirinya.
"kau pernah merasa ada seorang laki-laki yang berjanji untuk menemui mu jika kau berhasil menjadi murid terbaik?"
"yah. Bagaimana kau tahu?" Angga mengabaikan pertanyaan gadis itu. Bukan saat nya berlama-lama.
"apa kau berhasil?"
"tentu saja, ini pialanya."
Dhikel menunjuka piala yang sejak tadi dipegangnya kedepan wajah laki-laki itu.
"bagus.kalau begitu ayo."
Baru hendak laki-laki itu kembali meraih tangannya. Dhikel kali ini dengan sigap menyingkirkan tangannya itu. Dia tak akan membiarkan laki-laki itu dengan mudah meraih tangannya dan menyeretnya seperti tadi.
"tunggu dulu. Kenapa aku harus mengikutimu.?"
"karena aku lah yang akan mengantarkanmu kepadanya. Junior ingin kau yang menemuinya, bukan dia yang menemuimu. Jadi jika kau ingin menemuinya. Ikutlah denganku."
Beberapa detik Dhikel masih tak memberikan reaksi apapun, dan tak ada tanda-tanda dia akan menjawab perkataannya Junior.
Beberapa detik terlewat dengan entah apa yang membuat gadis itu terkejut. Sebal Angga menunggu reaksi gadis nya yang lambat itu, tanpa kompromi lagi dia meraih tangan sang gadis. Lalu menariknya. Meski sedikit ada penolakan dari sang gadis. Angga masih bisa mengatasi itu. Secara perlahan gadis itu mulai mengikuti langkahnya atas kemauannya sendiri, bukan karena terpaksa ditarik.
Angga memberikan helm kepada sang adis. Dhikel menerima helm itu lalu memakainya. Karena dia masih mengenakan seragam, terpaksa Dhikel mengangkat rok panjangnya tinggi-tinggi untuk bisa mencapai jok motor yang tidak terlalu tinggi. Tapi rok yang dikenakan merupakan rok maxi yang tidak terlalu luas untuk melangkah.
"siap.?"
Tanya Angga yang sudah siap dengan posisi mengemudinya. Yang ditanya tak menjawab apapun . hanya menganggukan kepalanya. Angga berhasil melihat anggukan kepala itu lewat kaca sepiun, secara perlahan dia mulai melaju sepeda motornya. Sebagai awal dari deruman pertamanya.
Laju sepeda motor Angga masih standar para penggua motor, hanya lebih kencang sedikit. Itu tak membuat Dhikel sulit untuk menjaga keseimbangannya tanpa harus melekatkan tangannya kuat-kuat dipunggung laki-laki itu. Tapi sering kali Angga menghentikan remnya secara mendadak, jika sedang terjebak macet, membuat Dhikel terpental kebelakang lalu kembali lagi kekeadaan awal, hanya saja dengan sedikit dorongan lebih, gadis itu sering membenturkan tubuhnya ketubuh Angga, dan dengan cepat gadis itu langsung memperbaiki posisi awalnya. Menjauhkan dirinya sebisa mungkin, dan menahan dirinya untuk tidak membentur tubuh laki-laki itu lagi.
Akan tetapi Angga sering melakukan itu. Selalu mengerem mendadak, terutama sejak mereka memasuki perkampungan ini. Banyak polisi tidur, yang membuatnya terpaksa menginjak rem, namun setiap kali Angga menginjak remnya, saat itu juga tubuh Dhikel terpental menubruk tubuh Angga yang didepan, dan dia kembali memperbaiki posisi duduknya lagi.

Salju Akhirnya MencairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang