BAB XVII

72 3 0
                                    

BAB XVII

Pagi yang cerah, matahai sudah menyinari bumi memberikan kesan yang baik untuk hari ini. Gadis itu masih berdiri tegap menyongsong matahari pagi yang sehat. Dia membawa bunga dikeranjang kecil, lalu menaburkan bunga itu secara perlahan kemakam yang ada didepannya.
"kenapa kau begitu jahat. Bahkan disaat terakhir kau masih tak mau membuatku bahagia. Kita kan sudah berjanji untuk bertemu jika aku berhasil nanti. Aku sudah berhasil menjadi murid terbaik, tapi kau malah mengingkari janjimu."
Tanpa terasa air mata sang gadis sudah mengalir, tak bisa ditahan lagi. Memaksa untuk tetap tersenyum, tapi dia masih tak bisa menghapus airmatanya.
Gadis itu menyentuh papan nisan dan mengusapnya, meletakan kepalanya bersandar dinisan tersebut.
"aku masih tak bisa memaafkan pengingkaran janjimu itu?."
Gadis itu mengambil nafas sebentar. Untuk berjaga-jaga takut dia akan kehabisan udara.
" Aku mencintaimu kak. Sangat mencintaimu."
Gadis itu memejamkan matanya, menikmati panas nya mentari dan hembusan angin pagi yang membuatnya sesak.
"sudah beberapa bulan berlalu. Kau masih saja suka menangis jika mengunjungi makamnya. Apa aku perlu memindahkan makamnya dan menyembunyikannya agar kau tak terus-menerus menangisinya."
Dhikel bergerak, membuka matanya dan memutar pandangannya. Dia bangkit untuk berdiir, lalu mencari milik siapa suara yang sudah mengganggunya itu.
"coba saja. aku akan membunuhmu."
Angga sudah berdiri belakangnya. Kini dia melangkah mendekati kemakam Junior. Dan berdiri tepat disamping Dhikel.
"kau dengar kawan. Dia ingin membunuhku. Sepertinya kau salah sudah mencintainya. Dia seorang penjahat kelas atas, berani-beraninya dia membunuh sahabatmu."
"apa-apaan kau ini."
Dhikel menginjakkan kakinya kekaki milik Angga, sekuat tenaga yang dia punya, tapi tetap saja, itu tak berarti anyak untuk Anga, sekuat apapun tenaga perempuan tak akan mempu menandingi tenaga laki-lagi. Apalagi Dhikel tidak memakai hak tinggi. Hanya sepatu sket biasa, tentu saja sakitnya tidak terlalu terasa.
"wah Junior, ternyata dia tak main-main dengan ancamannya itu. Kau lihat aku sudah dianiayanya. Kau harus tahu dia tak main-main dengan ucapannya tadi. Kakiku sakit diinjaknya."
"kau ini."
Suara Dhikel sudah terdengar marah, hendak melakukan kekekrasan yang lain yang bisa membuat laki-laki ini jera. Tapi sebelum dia bisa melakukannya, angga sudah berlari meninggalkan Dhikel.
"hei tunggu kau, jangan lari."
Dhikel mengejar kakaknya yang sudah berlari lebih dulu. Tanpa disadarinya , senyum dan tawa mulai menghiasi wajahnya.
Sesekali Angga menoleh kearah Dhikel. Memastikan agar larinya tidak terlalu kencang, dan membuat jarak mereka terlampau jauh. Gadis itu sedang tertawa ditengah larinya. Angga ikut tertawa melihat Dhikel tertawa sepertiitu. Dia senang gadis itu tak terlalu larut dengan kesedihannya.
Kau lihat Junior? Dia tertawa.. aku pasti akan menjaganya, dan membuatnya bahagia. Aku janji.
Tanpa disadari Angga. Jaraknya dengan Dhikel sudah terlampau dekat, dan gadis itu sudah bisa meraih kemejanya dan menahannya untuk tidak berlari lagi.
"awas kau yah. Rasain nih."
Dhikel mencubit bagian tubuh Angga sedapatnya, memukulnya, menendangnya.terlalu­ banyak dan bertubi-tubi penganiayaan yang diberikan gadis itu, sehingga lama kelamaan Angga bisa merasakan sakit dari semua yang dilakukan Dhikel padanya. Saat tangan sang gadis mulai meluncurkan serangan yang lainnya. Angga mengambil kedua tangan itu dan menghentikan serangannya. Hening sebentar. Dhikel sedikit terpesona dengan apa yang dilakukan Angga, Angga sendiri lebih terpesona dengan kecantikan yang dimiliki sang gadis.
"sudah cukup. Sakit Dhikel."
Perkataan Angga yang lembut itu bukannya menyadarkan Dhikel untuk melepaskan tangannya, malah membuat Dhikel menyerangnya dengan seranga yang lain, memberontak melepaskan tangannya dan melancarkan serangan kembali.
"sudah Dhikel. Cukup"
Angga berusaha menegaskan dengan lembut, dan berusaha menangkap kembali tangan sang gadis. Tapi kali ini Angga tak bisa menangkap tangan sang gadis. Saat dia bertubi-tubi mendapat serangan, tiba-tiba tubuhnya kewalahan dan keseimbangan tubuhnya tak mampu dia pertahankan. .
"seperti ini saja tidak akan sakit bukan?" Dhikel masih hendak memukul kan kembali, tapi tubuh yang dipukulnya terhunyung kebelakang, dan berhasil mendapati tangannya yang sudah tertangkap saat hendak memukul. Bukannya mampu mempertahankan posisi mereka untuk tetap berdiri. Tapi tenaga sang gadis terlalu lemah hingga dia malah ikut tertarik, jatuh kedepan tanpa ada tenaga yang mampu menahannya untuk tetap tegap. Dengan keras tubuh sang gadis membentur tubuh Angga dan menindihnya dari atas.
Lama keduanya terpana untuk sesaat, diam tak bergerak, sunyi tak bersuara. Keduanya masih sama terkejut dengan kajadian kali ini. Wajah mereka terlampau dekat dan nyaris saling menyentuh, sementara kedua tangannya terlekat erat dikedua genggaman tangan milik Angga.
Tidak terlalu lama untuk kembali mendapati kesadaran mereka. Buru-buru Dhikel melepaskan tangan dari genggaman Angga, lalu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Angga sebisa mungkin. Salting, bingung, ragu. Apa yang harus dikatakannya setelah itu. Keduanya hanya berdiri dan saling membersihkan diri, terutama Angga yang membentur rumput secara langsung, sementara Dhikel hanya diam melihat ketanah.
"maaf."
Ucap Dhikel ragu, senyumnya sudah menghilang dan berganti rasa was-was.
"tenang saja ini bukan salahmu, begitu saja aku tidak akan patah tulang."
Angga berusaha mencairkan suasana,sementara tangannya mengusap-ngusap bagian tubuh belakangnya yang bisa dipaktikan kotor kaena rumput hijau ditempat itu. Tapi Angga masih bisa tetap ceria dan penuh tersenyum diatas kejadian itu. Seolah tak terjadi apa-apa diantara mereka saat itu.
Angga menoleh mendapati sang gadis masih menatap tanah berwarna hijau penuh dengan lumut. Gadis itu masih terlalu polos. Dia masih terbawa suasana tentang kejadian itu.
"hei, kenapa cemberut gitu. Sudah ku bilang tidak apa-apa kan? Ayoolah, kau terlihat jelek seperti itu. Ayo kita pulang. Kau sudah pamit dengan Junior?" Dhikel menoleh. Laki-laki didepannya sudah tersenyum menatap kearahnya. Dhikel tersenyum paksa , mencoba tetap bertahan untuk tegar.
....
"hari ini acara wisuda mu bukan?"Dhikel berjalan disamping Angga, keduanya sama-sama berjalan perlahan.
Angga menoleh mendapati sang gadis ternyata juga menoleh kearahnya.
Dhikel tersenyum, senyum meledek lebih tepatnya.
"bagaimana rasanya wisuda tanpa Deddy. "
Ayah mereka sudah hampir satu tahun dirawat dirumah sakit, dan beberapa bulan yang lalu ayahnya sudah pergi berobat keluar negri ditemani oleh Khaiv. Sementara Angga harus fokus dengan acara wisuda, dan kakak nya Egy, harus menggantikan posisi ayahnya diperusahan, dan sekarang sedang bertugas diluar negri.
"tidak terlalu buruk, masih ada kau yang menemaniku."
"huh. Pantas saja kau menjemput ku lebih awal. Bagaimana pun kau tetap berhutang budi pada ku."
"berhutang budi apa? Kau sendiri yang mau ikut . aku hanya menawari."
"lah. Kan awalnya kau bilang. Dhikel, kakak mau ziarah kemakan Junior. Kau mau ikut?. Tidak ada perkataanmu yang bilang untuk ikut menyaksikan acara wisuda mu."
Selama beberapa bulan ini hubungan Angga dan Dhikel mulai membaik, mereka sudah mulai dekat, bahkan jauh lebih dekat dari pada dengan kakak-kakaknya yang lain sebelum ini.
Angga sering main kerumah Dhikel, hanya sekedar menjenguk, menanyakan kabar. Atau sekedar mengajak Dhikel bermain diluar. Terakhir kali mereka makan disebuah restoran mewah, dan paginya mereka pergi jalan-jalan kedunia wisata Ancol. Itu pertama kalinya Dhikel memasuki tempat itu. Satu dari banyak hal yang paling dia suka adalah bermain jetz couster di sana. Dan hal yang paling dia tidak suka adalah saat mereka memasuki rumah hantu.
Dhikel paling takut dengan hantu, sepanjang jalan yang dilakukannya hanyalah bersembunyi di bahu Angga.
Sejujurnya Angga memang merasa senang karena sepanjang jalan, tangan Dhikel tak pernah terlepas dari bahunya. Tapi lama-kelamaan ketakutan Dhikel mulai tak bisa dikendalikan. Terkadang dia berteriak kencang, menutup mata dan tak mau melanjutkan perjalanan. Lebih parah lagi ketika gadis itu juga menangis begitu mereka keluar dari rumah itu.
Sebagian besar tenaga Angga terkuras karena harus menyeret Dhikel untuk mau berjalan. Gadis itu benar-benar tak mau menggunakan tenaganya, Angga nyaris menggendongnya untuk bisa membawa mereka keluar.
"sudah. Buka matamu, "
"apa kita sudah keluar." Dhikel melebarkan matanya, lalu perlahan dia membuka sedikit celah dari kedua jarinya untuk sekedar mengintip diluar. Ternyata sudah tidak ada apa-apa lagi. Semangat Dhikel membuang kedua tangannya dari wajahnya.
"huh... tadi itu menegangkan. Apa lain kali kita akan kesana lagi?"
"itu tidak akan terjadi."
"lho? Kenapa?"
"lain kali. Kalau kau tidak membatu, kau pasti pingsan. Membuat ku repot saja."
Angga mulai melangkah berjalan, menjauhi Dhikel yang masih berdiri.
Dhikel mengejar, dia berlari kecil untuk menyamai langkah Angga, setelah langkah mereka sejajar. Dhikel memperlambat larinya dan kembali berjalan normal.
"lain kali aku yang akan menggendongmu deh. Gimana?"
"tidak mungkin, aku tidak akan pingsan hanya karena hantu bohongan."
"sombong. Suatu saat kau harus pingsan sesekali. Biar kau merasakan yang aku rasakan. Hemmm. Tapi apa yah?"
"apa kenapa?"
"yang bisa membuat mu takut."
Dhikel mengetuk-ngetuk kepalanya dengan tangan kanannya. Berusaha mengingat apa yang bisa membuat Angga takut.
Sementara Angga sendiri tersenyum ,
Untuk apa difikirkan. Yang aku takuti saat ini hanya lah kamu . takut kehilanganmu. Dhikel.

Salju Akhirnya MencairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang