BAB XXI
Angga terus menariknya, sampai pada ruangan yang sepi. Angga baru melepaskan pegangan tangannya. Lalu menatap lekat-lekat wajah Dhikel. Dhikel yang merasa terus diperhatikan seperti itu merasa agak tidak nyaman. Dia berusaha memalingkan pandangannya kemanapun yang dia bisa. Agar tidak bertemu dengan wajah Angga yang sudah menatapnya tajam.
Angga berhasil menghipnotis Dhikel, sedikit pun Dhikel tidak bersuara, biasanya dia paling berisik . tapi saat ini malah dia ikut-ikutan membatu. Sepertinya angga tidak berniat menjelaskan apa-apa pada Dhikel, dia tetap diam menatap Dhikel. Melihat wajah Dhikel yang terus merunduk, hasrat Angga jadi muncul dan meningkat. Ditariknya janggut yang sejak tadi menunduk hingga tegak. Mata yang tadi hanya menatap lantai, kini berhasil melihat sosok tampan yang menatapnya dengan tajam, ngeri karena tatapan itu seperti tatapan kesal, elang yang siap menerkan mangsanya.
"aku gak suka kau dekat dengan Dion."
Angga berbicara dengan suara yang sangat pelan, membuat jantung Dhikel berdegup antara takut dan bersalah.
"tapi kenapa, bukankah kita sudah menikah? Apa yang kakak takutkan.?"
"buktikan kalau kita sudah menikah.?"
"apa??"
Dhikel sedikit menaikan nadanya menjadi sebuah nada yang menunjukan ketidak pahaman dia. Apa yang harus dibuktikannya. Memikirkan apa yang harus dibuktikannya. Dia lebih terkejut lagi saat wajah Angga mulai mendekat, dan semakin dekat lagi. Kini Dhikel mengerti apa yang harus dibuktikannya.
Karena Angga tahu, Dhikel pasti tidak akan mampu melakukannya. Angga langsung menggunakan kedua tangannya untuk menjaga agar Dhikel tidak kabur. Tangan kirinya melingkar dipinggang Dhikel, sementara tangan kanannya memegangi bagian belakang kepala Dhikel lalu menariknya hingga wajah mereka berdua sampai pada jarak minimum, bahkan sampai tak memiliki jarak lagi.
Dhikel tak bergerak bagai patung. Bahkan setelah ciuman yang diberikan Angga telah berlalu. Dhikel masih mematung tak bergerak sedikitpun. Matanya berhenti mengedip, napasnya terasa tak membutuhkan udara lagi. Dhikel seperti berdiri diatas awan, melayang-layang dan tak sadarkan diri.
Angga terus memperhatikannya, dia menyentuh pipi kiri Dhikel dengan telapak tangan kanannya. Sebenarnya Angga bermaksud ingin menyadarkan Dhikel dengan sentuhan itu, tapi hasilnya ternyata beda. Kejadiannya semakin rumit. Mata Dhikel yang tadi terbuka lebar-lebar karena kaget langsung tertutup. Badannya yang semula tegap dalam keadaan berdiri, kini mulai kehilangan keseimbangan. Untung Angga bergerak cepat. Langsung ditangkapnya tubuh Dhikel yang mulai sempoyongan itu. Kalau telat sedikit saja. Mungkin tubuh Dhikel akan membentur permukaan lantai yang keras.
***
Angga baru saja selesai mandi. Dia masih mengenakan handuknya untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Dia lihat Dhikel yang masih terbungkus selimut, sejak semalam dia masih belum sadarkan diri. Angga terpaksa membawanya kekamar dan melayani tamu-tamu undangan sendirian. Pakaian Dhikel masih belum diganti, dia masih mengenakan gaun pengantinnya. Angga hanya melepaskan sepatu haqnya saja.
Angga melangkahkan kakinya mendekati tempat Dhikel terbaring. Lalu duduk disamping tubuh Dhikel. Tangannya membelai kepala dan rambut Dhikel. Sesekali tangannya ikut membelai pipi Dhikel.
"jika kau terus pingsan saat aku cium, lalu bagaimana malam pertama kita.?"
Dengan tangan yang masih membelai, angga menggerakan ibu jarinya sesuai jalur bibir Dhikel. Dari kiri kekanan, dari kanan kekiri. Tubuhnya merunduk hendak mengulangi kejadian yang semalam.
Tubuh yang sejak tadi diam, tiba-tiba saja bergerak. Angga langsung menarik wajahnya menjauhi tubuh Dhikel. Mata Dhikel perlahan-lahan mulai terbuka. Dari mulai gelap, pandangan yang seperti berkabut, hingga terlihat jelas sosok Angga yang duduk disampingnya, namun tidak dengan tangan yang membelainya dan wajah yang mendekat. Dhikel memaksakan senyum yang sebenarnya mengawali tanda dia merasa bersalah, takut membuat suaminya kecewa.
"kamu sudah siuman.?"
"kak Angga..."
"apa sudah baikan.?"
Dhikel hanya tersenyum memberi pengertian bahwa dia sudah tidak apa-apa, ditambah dengan anggukan kepala yang sangat ayal, meyakinkan Angga bahwa dia tidak apa-apa.
"kamu bisa bergerak.?"
Dhikel Berusaha mencari jawabannya, dia menggerakan kepalanya, lalu tangannya, lalu kakinya. Setelah itu dia memberikan senyumnya kembali.
"bisa dong.!!"
"ya sudah, mandi sana. Salin bajumu."
Setelah memberi perintah singkat pada Dhikel. Angga langsung bangkit pergi meninggalkan Dhikel. Angga menghampiri lemari pakaiannya, lalu memilah-milah baju yang akan dipakainya. Ketika dia sudah dapatkan baju yang akan dipakainya. Angga menoleh ketempat Dhikel terbaring tadi, ternyata dia masih melihat sosok Dhikel yang sedang memperhatikannya dari tempat tidur.
"masih disini aja. Cepat sana mandi."
"ehh, ia ia."
Dhikel langsung buru-buru bangkit, mengambil seribu langkah untuk pergi kekamar mandi. Sekitar hampir 15 menit Dhikel dikamar mandi, masih belum juga keluar. Padahal Angga masih menunggunya keluar, ternyata lama. Akhirnya Angga memutuskan untuk pergi sebentar.
Tak lama Angga kembali lagi. Kali ini Dhikel sudah mengacak-acak rambutnya dengan handuk. Satu kebiasaan wanita, tentu saja saat dia keramas. Dia akan mengeringkan rambutnya terlebih dahulu. Begitu juga dengan Dhikel. Dia mengeringgkan rambutnya dengan handuk, dengan cara mengacak-acaknya sehingga rambutnya menjadi kusut. Setelah itu Dhikel menggulungnya dan menjepitnya dengan jepitan rambut miliknya.
Angga melangkah mendekati Dhikel, ditariknya jepit rambut yang menempel dikepala Dhikel, sehingga rambutnya yang terjepit tadi jatuh berantakan. Dan kejadian itu terulang lagi. Angga mengambil sisir yang ada dimeja rias, lalu mulai menyisiri rambut Dhikel. Belum sampai selesai Angga merapikan rambut Dhikel. Badan mungil itu bergerak memutar, kini menatap wajah Angga dengan keadaan diam , antara kaget , kagum dan terpesona. Angga baru saja mandi. Dia lebih menarik saat ini.
Angga yang semula menyisiri rambut Dhikel , kini hanya memegang sisir ditangan kanan. Dan tangan kirinya membelai rambut Dhikel. Angga pun ikut terpesona dengan gadis manis didepannya. Dia terus menatap Dhikel lekat-lekat, dan kali ini Dhikel sama sekali tidak menghindari tatapan itu. Dhikel malah ikut membalas tatapan tajam milik Angga. Seolah menantang untunk bertarung.
Angga mencoba mencondongkan wajahnya kedepan mendekati wajah Dhikel. Sangat ayal dan perlahan, penuh ambisi, namun sangat hati-hati. Perasaan aneh tiba-tiba munncul kembali. jantungnya berdegup kencang, terlalu kencang karena gejolak emosi. Saat itu dia takut tak mampu menahan diri lagi. dia hanya memejamkan mata. tak mampu melihat saat semua nya terjadi. ciuman yg kedua, bukan lagi sebagai kakak. Tapi sebagai seorang suami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salju Akhirnya Mencair
RomanceDhikel, sampai kapan kau akan terus mengganggu hidup ku. - sampai kakak mau jadi pacar aku.