"Airin! Heh, Airin, bangun! Airin! Bangun, woy! Airiiiin!"
Suara melengking Faye berhasil membangunkan Airin yang betah menelungkupkan kepala di atas meja yang penuh buku. Suara lenguhan dan kuapan lebarnya membalas lengkingan Faye tanpa rasa malu, lalu dengan penuh percaya diri, ia mengangkat wajah seraya membersihkan saliva yang menetes di sudut-sudut mulut, kemudian menguap sekali lagi.
"Jam berapa sih sekarang?"
Airin bergumam entah pada siapa. Suaranya tidak kedengaran jelas dan wajahnya masih kelihatan mengantuk berat. Matanya mengerjap-kerjap pelan, mentralisir cahaya terang yang membuat matanya menyipit silau, baru setelah pandangannya jelas dan menyadari di mana ia sekarang, mata Airin membola maksimal dan memekik keras.
"Astagfirullah hal adzim!! Kenapa gue masih di kelas?!"
Beberapa seruan sebal sekaligus jengkel menyahuti pekikan Airin satu-persatu, disusul bisikan sana sini yang mencibir dirinya dari berbagai sudut. Di sampingnya, Faye menoyor kepalanya tanpa merasa bersalah. "Lo tidur atau mati suri sih? Pules banget," komentarnya galak.
Airin terkekeh tanpa dosa, memainkan alisnya lucu sambil senyum-senyum nggak jelas. "Biasa, Fay, gue abis taruhan bola sama Mas Angga semalem, dan baru tidur abis subuh."
Faye hanya geleng-geleng kepala seraya menarik napas lelah. "Besok-besok, lo nggak usah tidur aja sampe pagi, biar ambruk sekalian di kelas," geramnya, berbisik, sambil melirik ke arah depan.
Bibir Airin maju-maju tidak jelas, bersungut-sungut sebal pada sahabatnya yang dirasa nggak punya empati sama sekali hari ini. "Lo nggak simpati banget sih, Fay, sama gue. Harusnya lo pinjemin pundak lo kek, biar tidur gue makin pules dan mimpi indah, bukannya ikutan kesel kayak yang lain."
"Pinjemin pundak dari Hongkong? Harusnya lo sadar ada di mana sekarang. Wajar lah anak-anak yang lain pada gondok, tidur lo itu ganggu aktifitas perkuliahan, tau nggak?" balas Faye, ikutan gondok.
Airin sudah siap menyahut saat suara dehaman dari arah depan kelas menginterupsi. Sekatika, bola mata Airin melebar maksimal dan refleks menekap mulut. Bulu kuduknya langsung berdiri dan suasana kelas mendadak hening.
"Be careful, Babe. Kali ini lo berhadapan sama eligible bachelor yang jonesnya nggak ketolongan. Siap-siap habis lo hari ini," gumam Faye tepat di telinga Airin, nada suaranya terdengar mewanti-wanti.
Airin menelan saliva susah payah sambil mengerjap-kerjap cemas. Pelan-pelan, ia membenahi duduk dan menghadap ke depan dengan gerak perlahan. Jantungnya mulai bertingkah heboh.
"Sudah puas tidurnya, Airin Maheswari? Apa perlu saya kasih waktu tambahan?"
Ludah Airin semakin sulit dikais mendengar suara berat dan dalam dari sosok jangkung yang berdiri di depan kelas dengan tangan terlipat di dada dan tatapan tajam. Mendadak mata Airin terasa perih hingga harus mengerjap cepat berulang kali. Kedua sudut bibirnya terasa kelu untuk ditarik, hingga yang sanggup dibentuknya hanyalah cengiran kaku yang menakutkan.
"E-eh, Bapak. Se-selamat siang, Pak Raidan...," sapa Airin, tercengir kaku. Suaranya tercekat di tenggorokan.
Sosok yang dipanggil Pak Raidan hanya mendengus sinis, kemudian tatapannya beralih pada seluruh penghuni kelas. "Oke, perkuliahan saya cukupkan sampai di sini. Buat semua kelompok yang sudah mendapat tugas, jangan lupa tugasnya dikerjakan dan serahkan sama saya di pertemuan selanjutnya. Buat yang hari ini nggak masuk, atau yang puas tidur cantik di kelas, silakan menghadap saya secara pribadi di ruang dosen."
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK WEDDING
RomanceKehidupan Airin yang biasa-biasa aja, normal, lurus kayak kali deres, mendadak berguncang seratus delapan puluh derajat setelah kepulangan kedua orangtuanya dari Yogyakarta. Kepulangan yang semula ditunggu dengan segudang rindu, mendadak amblas tak...