"... karena saya sayang kamu, Ai...."
Airin berdecak gemas, mengusap wajah frustrasi. Napasnya terembus berat dan beberapa kali menggeram kesal. Kata-kata Raidan seminggu lalu belum juga hilang dari kepalanya dan saat ini, lelaki itu sedang berdiri menjulang di depan kelas sambil menjelaskan materi dengan penampilan yang selalu membuat setiap perempuan menatapnya dengan sorot memuja; celana kain hitam, kemeja biru slim fit panjang yang digulung sampai siku dan beberapa kancing teratasnya dilepas. Sepatu hitamnya mengkilat, serta jam tangan sewarna di pergelangan tangan kiri. Wajahnya segar dan rambutnya tersisir rapi.
Oke. Lama-lama Airin bisa gila. Raidan memang terlalu sulit diabaikan. Lelaki itu terlalu bisa menarik perhatian dan membuat siapapun berdecak kagum. Dan saat ini Airin merasakan jantungnya berdetak kencang sejak Raidan memasuki kelas. Lelaki itu seolah memiliki aura tersendiri supaya ditatap lama-lama. Seolah menarik perhatian siapa pun adalah keahliannya. Airin kesal sendiri jadinya. Lelaki itu penjahat, terutama untuk jantungnya.
"Sampai di sini ada yang mau ditanyakan? Karena minggu depan saya hanya akan memberi kuis evaluasi untuk tambahan nilai, jadi silakan bertanya sekarang." Raidan berucap sambil menyandarkan diri di tepian meja dan menyebar pandangan ke seluruh isi kelas.
Dinda, salah satu mahasiswi cantik yang selalu membawa kipas ke mana pun pergi, mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Boleh tanya di luar materi nggak, Pak?" tanyanya, tersenyum lebar.
Raidan mengangguk. "Silakan."
"Maaf nih, Pak, sebelumnya, tapi saya dengar minggu kemarin Bapak abis lamaran. Gimana hasilnya, Pak, diterima nggak lamarannya Bapak?"
Kelas langsung berubah gaduh. Yang perempuan berseru ingin tahu dan yang laki-laki berdecak sebal.
"Kepo banget lo, Din," celetuk Arif.
Dinda nyengir kuda. "Nggak apa-apa, dong. Daripada gue gosip yang nggak-nggak, mending gue tanyain langsung biar nggak fitnah," jawabnya, semringah. Lagi-lagi yang perempuan berseru senang sambil bertepuk tangan.
Di tempatnya duduk, Airin mendesis sebal. "Ngapain sih tanya-tanya, kepo banget urusan orang," gerutunya pelan.
Faye mencolek dagunya sambil menyeringai. "Ciyee... cemburu, ya?" godanya.
"Cemburu kepala lo!" sembur Airin sebal.
Faye terkekeh. "Ciye yang abis ditembak dosen kesayangan," godanya lagi sambil memainkan alis.
"Gue nggak ditembak, ya, Fay," cetus Airin, melotot sebal.
"Iya nggak ditembak, cuma dibilang 'saya sayang kamu, Ai'. Uh, so sweetttt...." Faye tergelak.
Airin mendengus. "Nyesel gue curhat sama lo."
Faye terawa geli, menyikut pelan Airin saat melihat Raidan mulai bersuara.
"Saya nggak mau jawab pertanyaan kamu," kata lelaki itu, tenang. "Karena masih di lingkungan universitas dan masih dalam jam mengajar, saya hanya akan menjawab pertanyaan seputar mata kuliah yang saya berikan," lanjutnya.
Dinda mengeluh manja. "Yah... Bapak... kan jarang-jarang Bapak out of topic. Sekali-sekali nggak apa-apa lah, Pak. Habis minggu depan kan kita-kita udah fokus skripsi dan belum tentu ketemu Bapak lagi. Anggap aja ini obrolan ringan sebelum perpisahan. Gimana, Pak?"
Banyak suara menyetujui. Raidan diam sejenak, tampak berpikir. Lalu, tatapannya menyebar dan saat bertubrukan dengan Airin. Perempuan itu memelototinya sambil menggeleng keras. Raidan buru-buru membuang pandangan. "Oke. Apa yang mau kamu tanyakan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK WEDDING
RomanceKehidupan Airin yang biasa-biasa aja, normal, lurus kayak kali deres, mendadak berguncang seratus delapan puluh derajat setelah kepulangan kedua orangtuanya dari Yogyakarta. Kepulangan yang semula ditunggu dengan segudang rindu, mendadak amblas tak...