PW part 5 - Pasti Bercandaan, kan?

15.1K 1.8K 95
                                    

            Keluarga Raidan sudah pulang sejak setengah jam yang lalu, menyisakan Airin yang kelihatan murung karena tidak bisa bermain lama-lama dengan bayi selucu Rifki. Dia memang sangat menyukai anak kecil. Pernah meminta adik pada Ibu, tapi Ibu menolak. Selain usia yang sudah tidak lagi muda, Bapak dan Ibu merasa sudah cukup punya tiga anak.

"Kenapa, Nduk, masih kepengin main sama Rifki?" tanya Uti tiba-tiba, membuyarkan lamunan Airin.

Airin nyengir lemah, menggeser duduk untuk Uti. "Nggak, Ti. Cuma sayang aja. Anak selucu itu nggak bisa ada di rumah ini lama-lama. Aku pasti betah di rumah kalo ada bayi lucu begitu."

"Bikin aja sendiri," celetuk Angga dari depan tv.

Sudut bibir Airin berkedut-kedut gemas. "Memangnya segampang itu bikin bayi?" desisnya, kesal.

"Oh, iya ya. Kamu kan belum punya pasangan. Susah juga bikin kalo nggak ada pasangannya." Angga tergelak keras.

"Mas Angga nyebelin! Aku nggak mau ngomong sama Mas!" Airin merengut sebal, melipat tangan di dada. "Awas, ya, Mas, jangan minta dikenalin sama temen-temen cewek aku!"

"Ciye marah ciyeeee...," goda Angga, makin jadi.

"Jangan ngegodain adikmu terus, Ga," kata Bapak, mengambil tempat di samping Eyang Putri. "Attar mana, Nduk?" tanyanya pada Airin.

Airin menggeleng. "Nggak tau, Pak. Di kamarnya, kali."

Bapak mengangguk, lalu melirik Eyang Putri. Ketika Uti balas mengangguk, Bapak langsung memanggil Ibu yang sedang merapikan piring di dapur. Ibu langsung mendekat, disusul Attar yang datang dengan wajah datar sambil menenteng sebuah jaket.

"Ini jaket siapa, Dek?" tanya Attar datar, melirik Angga dan Airin. "Mas baru liat jaket ini di jemuran. Ini jaket kamu, Ga?"

Angga melirik Attar dari balik lengan sofa. "Bukan, Mas. Aku nggak punya jaket model begitu."

Lalu, tatapan Attar jatuh pada Airin. Airin cuma bisa nyengir kaku. Dia lupa membenahi jaket Raidan yang baru kemarin dia cuci. "Itu... jaket temen aku, Mas, kemaren dipinjemin pas aku pulang keujanan."

"Cewek atau cowok?" desak Attar.

"Dari modelnya kayak jaket cowok." Angga menimpali. "Wah, jaket siapa tuh, Dek? Kamu punya pacar, ya?" sambungnya mengompori.

Airin mendelik tajam Angga yang malah terkekeh geli sambil memainkan alis dengan menyebalkan. Lalu, menatap Attar takut-takut. "Bu-bukan, Mas. Itu jaket..."

Belum sempat Airin menyelesaikan kalimatnya, Bapak sudah berkata lebih dulu. "Lupain dulu jaketnya, Le. Sini duduk, Bapak mau ngomongin sesuatu."

Attar mengangguk, meletakkan jaket tadi di atas lengan sofa tempat Angga berbaring, lalu duduk di samping Ibu.

"Angga, sini, Le. Ikut ngobrol sama Bapak dan Uti," ajak Bapak.

Angga menggeleng tanpa menoleh. "Aku dengerin dari sini aja, Pak. Lagi nanggung."

"Airlangga," panggil Ibu, nada suaranya lembut namun tegas. Kalau sudah menggunakan nada begitu, pertanda Ibu tak bisa dibantah.

Angga mendekat dengan ogah-ogahan, lalu duduk di samping Attar.

Airin menatap Ibu dan Bapaknya serta Uti, lalu mengedikkan dagu dan memainkan mata dengan Angga, bertanya 'ada apa' tanpa suara. Tapi Angga hanya mengedik bahu.

PINK WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang