Kepala Airin menyembul dari balik pintu toilet perempuan. Matanya menjelajahi dengan awas koridor kampus yang ramai, lalu pelan-pelan mengendap-endap menuju area parkir. Waktu hukuman Raidan akan dimulai setengah jam lagi, tetapi hari ini dia sedang tidak berselera bertatap muka dengan lelaki itu dan memutuskan untuk membolos.
Getar telepon genggam menginterupsi langkahnya. Airin melirik kiri dan kanan sambil memeriksa notifikasi WhatsApp. Satu pesan dari Faye. Perempuan itu sudah menunggunya di parkiran. Buru-buru, Airin mempercepat langkah, berusaha menghindari keberadaan teman-teman sekelasnya.
Terserah lah kalau Raidan ingin ngamuk. Tetapi hari ini, dia benar-benar tidak ingin bertemu lelaki itu. Seminggu belakangan sudah cukup membuatnya frustasi, jadi dia memutuskan membolos saja sekarang. Membolos sesekali tidak apa-apa, kan?
"Maaf, maaf aja, ya, Pak. Tapi saya nggak mau cepet tua," gerutunya sepanjang jalan menuju parkiran. Senyumnya melebar saat menangkap bayangan Faye yang sedang berkutat dengan telepon genggam, lalu mempercepat langkah.
***
Senyum senang Airin belum hilang sampai mobil yang ditumpanginya merayap di jalan raya yang lumayan padat. Di balik kursi kemudi, Faye meliriknya datar. "Jangan senyum-senyum terus. Kena karma baru tau rasa lo," komentarnya, judes.
Airin nyengir tiga jari. "Nggak apa-apa kali, Fay. Jarang-jarang 'kan gue bolos begini."
Faye berdecak pelan. "Bilang aja cari perhatian. Nggak takut kena sembur Raidan, apa?"
"Sori, sori aja. Gue bukan orang yang kekurangan perhatian sampe minta diperhatiin Raidan. Gue cuma males liat mukanya yang lempeng kayak jalan tol," gerutu Airin.
Faye menyeringai. "Males apa males...?" godanya, lalu tergelak saat melihat Airin memutar bola mata dengan sebal. "Gue heran deh sama lo. Cewek-cewek di kampus tuh pada seneng deket-deket Raidan, termasuk gue. Tapi kenapa lo malah sebaliknya? Raidan ganteng kali, Rin."
Airin mendengus malas. "Ganteng sih, tapi nggak seru."
"Nggak seru gimana?" alis Faye terangkat. "Buat sekedar cuci mata sih udah lebih dari oke lah si Raidan itu, apa lagi kalo bisa diajak jalan."
"Lo aja sana yang ngajak dia jalan," sungut Airin, menatap jalanan di depannya. "Mending gue sama yang lain."
"Lo segitu nggak sukanya, ya, sama Raidan?"
"Bukan nggak suka, Fay." Airin membenahi hijab melalui spion. "Gue akuin dia ganteng, tapi dia itu terlalu kaku, kurang santai, kurang senyum, sinis, judes, jutek, lagi. Pokoknya nggak ada manis-manisnya, deh," ungkapnya semangat. "Lagian, Raidan udah punya calon istri. Gue nggak mau deket-deket cowok yang udah taken, takut disangka pihak ke tiga," lanjutnya.
Kening Faye berkerut tipis. "Lo yakin Bu Rainaya itu calonnya Raidan?" tanyanya sambil berbelok di tikungan depan. Beberapa hari yang lalu dia sempat kaget saat Airin menceritakan bahwa Raidan sudah mempunyai calon istri. Tetapi masa iya calonnya itu Rainaya?
"Bu Rainaya emang dosen baru, ya. Tapi setau gue, dia sama Raidan itu masih ada hubungan sodara—adik atau sepupu jauh lah, gitu," lanjut Faye.
Airin mengedik bahu. "Bukan urusan gue juga sih, mereka mau sodaraan atau bukan. Tapi secara fisik, mereka mirip, Fay. Katanya kalo cowok sama cewek mirip, mereka jodoh."
"Kayak lo sama Angga, gitu? Kalian berdua juga mirip."
"Yee... gue sama Mas Angga kan sodara, Fay."
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK WEDDING
RomanceKehidupan Airin yang biasa-biasa aja, normal, lurus kayak kali deres, mendadak berguncang seratus delapan puluh derajat setelah kepulangan kedua orangtuanya dari Yogyakarta. Kepulangan yang semula ditunggu dengan segudang rindu, mendadak amblas tak...