Rai-Ai kembaliiiiii, yeayy! ^^
Selamat menikmatiii yaa... semoga terhiburrr ^^
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Udah, jangan manyun terus. Kayak pindahnya jauh aja."
Airin mencebikkan bibir menanggapi kata-kata Ibu, tapi tangannya tidak berhenti melipat baju-baju dan memasukkannya ke tas besar warna hitam dengan kesal. Raidan sedang pergi bersama Attar dan Angga, memindahkan sekaligus membenahi barang-barang berat di hunian baru yang akan mereka tempati nanti, menyisakan Airin yang terus mendumal seraya melipat pakaian Raidan asal-asalan.
Setelah debat kusir yang memakan waktu dan tenaga, akhirnya Airin menurut untuk pindah ke rumah baru bersama Raidan. Walau sebenarnya hati kecilnya tidak rela. Sejak semalam ia terus memandangi kamarnya dengan sedih, seolah tidak memiliki kesempatan menghuninya lagi di lain hari.
"Ibu udah nggak sayang lagi sama aku. Aku baru nikah kemarin, tapi hari ini udah disuruh pindah. Ibu jahat." Airin memberengut, wajahnya ditekuk dalam.
"Nikah kemarin apanya?" cibir Ibu sambil membantu melipat pakaian yang terburai di atas tempat tidur. "Udah seminggu kamu di sini. Raidan sampai harus bolak-balik ke rumahnya cuma buat ambil pakaian kerja. Kamu nggak kasian sama suami sendiri?"
Airin berdecak sebal. "Itu resiko, Bu. Lagian, siapa suruh bohong? Bilangnya mau bulan madu, tapi malah terima kerjaan bareng Mas Attar," sungutnya. "Aku jadi merasa dikhianati."
Ibu berdecak remeh. "Halah. Ngakunya belum siap punya anak, tapi bulan madu batal malah ngomel-ngomel."
"Ya gimana aku nggak ngomel, Bu? Pak Raidan janji mau ngajak ke Seoul, Paris, bahkan Jepang. Tapi nyatanya? Boro-boro ke Seoul, ke Bandung aja nggak jadi," rengut Airin. "Dasar lelaki kardus," makinya keki.
Tepat saat itu, deru mesin mobil memasuki pelataran. Ibu mengintip dari jendela dan melihat Raidan, Attar, serta Angga berjalan beriringan memasuki rumah.
"Raidan udah balik, tuh. Ayo, senyum. Nggak baik menyambut suami pulang cemberut begitu. Kasian menantu ibu lagi capek," seloroh Ibu, kemudian melenggang keluar.
Sudut bibir Airin berkedut-kedut gemas. "Terus aja belain Raidan. Aku mah apa atuh, cuma remahan biskuit yang disapu langsung jadi debu," gerutunya sebal. Setiap mengadu tentang sikap menyebalkan Raidan, selalu saja lelaki itu yang dibela. Airin jadi ragu. Jangan-jangan dia anak pungut. Huh!
Bunyi ketukan di pintu disusul suara langkah mendekat memaksa Airin melirik lewat bahu, tetapi kemudian kembali membuang muka saat melihat Raidan.
"Belum selesai, Ai?" tanya lelaki itu.
Airin tak menyahut. Ia menekuk wajah dengan masam dan tidak menggubris keberadaan lelaki itu sama sekali.
"Ai?" panggil Raidan sekali lagi.
Airin berdecak. "Nggak lihat, nih, saya lagi apa?" sungutnya, jengkel.
Raidan mengembuskan napas. "Kamu masih marah?"
"Menurut ngana?" sahut Airin, sebal.
"Maaf, Ai, tapi—"
"Bosen lah saya, Pak, maaf-maaf terus. Memangnya lagi lebaran maaf-maafan terus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK WEDDING
RomanceKehidupan Airin yang biasa-biasa aja, normal, lurus kayak kali deres, mendadak berguncang seratus delapan puluh derajat setelah kepulangan kedua orangtuanya dari Yogyakarta. Kepulangan yang semula ditunggu dengan segudang rindu, mendadak amblas tak...