Chapter 8 : Black Rose

250 19 6
                                    

"Wow, ruangan ini tidak kalah keren. Nyaman sekali di sini." Shin tampak bersemangat melihat-lihat isi ruangan Pak Ben.

"Benarkah?! Menurutku ruangan ini tampak biasa saja, lebih sederhana bila dibandingkan ruangan lain yang bernuansa penuh karya seni. Hanya ada lukisan seseorang yang tampak sedang membaca catatan di atas cahaya lilin," ujar Kim meragukan ucapan Shin yang sejak tadi masih terbakar semangat penyelidikan.

"Orang dalam lukisan itu ayahku," kata Edgar tiba-tiba.
Mendengar pernyataan itu, perhatian D'Breakers tertuju pada Edgar.

"Ayah? Maksudmu Pak Benjamin?" tanya Alis memastikan.

"Ya, ayah sangat menyukai lukisan ini. Dia bahkan memberinya nama, 'membaca kehidupan'," lanjut Edgar.

"Membaca kehidupan?" Shin tampak penasaran.

"Ya, dulu dia pernah berkata padaku bahwa keahlian yang paling penting di dunia ini adalah membaca. Dengan membaca, kita menjadi tahu makna bacaan kita. Seperti halnya buku, benda-benda di sekitar kita juga punya informasi yang penting bila kita bisa membacanya." Sejenak Edgar memandang Shin.
"Seperti ketika aku melihat Shin contohnya. Meskipun tinggimu tak seberapa, tapi aku tahu bahwa kau bukan orang yang pemalu dan mudah bergaul. Kau juga tampak tak mudah tersinggung. Well, bisa dibilang cukup menyenangkan. Karena itu aku bersikap santai dan tak perlu terlalu kaku, sebab Shin pasti tak menyukai orang yang kaku." Edgar tersenyum melihat Kim, Ken dan Alis menahan tawa mereka.

"Aku mulai paham sekarang," Shin tersenyum canggung.

"Ya, kehidupan juga demikian. Jika kita tak pandai membaca dan mengambil inti pokok dari kehidupan ini, sudah pasti hidup kita akan sia-sia. Bahkan karena tak mampu membaca sisi positif dari suatu masalah, tak jarang orang lebih memilih mengakhiri hidupnya. Padahal aku yakin tak ada masalah yang tak dapat dipecahkan di dunia ini." Edgar melanjutkan ucapannya. Sepertinya ia mulai dapat menerima dan mencoba terbuka dengan D'Breakers, toh mereka seumuran.

"Ternyata Pak Ben orang yang berpandangan ke depan. Pesannya yang disampaikan padamu cukup dalam juga," ujar Shin.

"Hmm, mungkin saja." Edgar tampak ragu menanggapinya.

"Sepertinya di villa ini memang menyimpan harta tersembunyi." Mata Alis tampak berbinar. Ia sudah lupa dengan antingnya yang hilang dan hampir membuatnya menangis seharian.

"Mungkin. Tapi sebesar apapun harta tersembunyi itu, aku tidak tertarik." Raut muka Edgar tampak serius.

"Lalu kenapa kau mau datang ke sini dan bahkan membantu kami berkeliling villa?" Shin sepertinya minta dijitak. Toh ini rumah Edgar juga. Suka-suka dia dong mau datang atau tidak. Ah, dasar, kau ini.

"Aku sebenarnya tidak ada niat untuk datang lagi ke sini. Bagiku rumah ini hanyalah masalalu yang tak pantas untuk diingat. Aku juga tidak tertarik dengan apa yang tersimpan di dalamnya. Andai saja paman Alfred tak memintaku datang untuk meluruskan perihal surat wasiat itu, mungkin sekarang aku tak di sini."

"Ah, maaf. Sepertinya kami telah menyinggung hal yang sensitif." Alis meminta maaf atas ulah Shin yang tak bisa menjaga mulutnya.

"Tidak apa-apa. Santai saja. Maaf aku jadi merusak suasana." Edgar tersenyum kikuk.

Kyaaa!!!

Tiba-tiba Alis menjerit ketakutan. Ia bersembunyi di balik punggung Ken.

"Ada apa, Alis?!" Kim dengan sigap menghampiri Alis.

"I ... itu, itu ... " Alis menunjuk-nunjuk sesuatu yang bergerak di tengah ruangan. Semua pandangan mata tertuju ke arah yang Alis tunjuk. Sesuatu berwarna coklat pipih bergerak tak beraturan mendekat ke kaki mereka berlima.

D'Breakers "Misteri Villa Raja"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang