Chapter 7 : A House of Code

284 21 0
                                    

Pagi yang cerah, matahari bersinar hangat disela-sela awan putih yang tapak lembut. Burung-burung liar berkicau mengiringi deburan ombak Laut Jawa, membuat pagi hari terasa spesial.

Setelah melepas penat perjalanan yang memakan waktu seharian kemarin, D'Breakers pun siap mengawali hari pertama di villa tersebut. Selepas berolahraga dan mandi, mereka bergegas menuju ruang makan. Di sana Pak Alfred sudah menunggu mereka. Disampingnya, duduk seorang pemuda berumur sekitar 17 tahun. Entah siapa pemuda itu, sebab semalam mereka tak melihat orang lain selain Pak Alfred, Pak Jarot dan Bi Inah yang menyiapkan kebutuhan mereka.

"Selamat pagi, Pak." Shin mengawali rekan-rekannya untuk memberi salam pada Pak Alfred.

"Selamat pagi, anak-anak. Silakan duduk, mari kita sarapan bersama."

"Terimakasih, Pak." Mereka berempat pun duduk dengan sopan.

"Ah, perkenalkan, salah satu keponakan saya, Edgar."

"Halo, saya Edgar, salam kenal," ucap Edgar sembari mengangguk ke arah Shin dan kawan-kawannya yang dibalas anggukan dan mereka pun menyebut nama satu-persatu.

"Jadi, Edgar ini anak dari Pak Benjamin?" tanya Kim.

"Ya, dia adalah salah satu anak kakak saya," jawab Pak Alfred sembari mengambil nasi goreng dan lauk-pauk yang terhidang di meja makan.

"Apa Edgar cuma sendiri, Pak? Bagaimana dengan saudaranya yang lain?" Shin yang tak bisa menahan keingintahuannya pun ikut bertanya.

"Tiga saudaranya yang lain menyusul. Pak Jarot juga yang akan menjemput mereka di dermaga. Mungkin mereka akan tiba pukul satu siang nanti."

"Tiga? Tapi bukankah putra Pak Benjamin ada lima?! Maaf, kami mendengar ceritanya dari Pak Karman," potong Shin.

"Ya, seharusnya begitu, tapi ... " Edgar tanpak tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

"Uhm, sebenarnya kakak Edgar meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Ia tewas dalam kecelakaan pesawat di Bandara Mulia Papua," lanjut Pak Alfred.

"Ah, maaf atas pertanyaan ini. Kami turut berduka cita mendengarnya." Alis buru-buru menyampaikan belasungkawanya.

"Tidak apa-apa, terimakasih," ujar Edgar mencoba mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang.

"Ah, kalau begitu mari kita sarapan dulu. Hari masih panjang untuk membicarakan hal ini." Pak Alfred mencoba mengalihkan topik agar dapat melalui makan paginya dengan tenang. Mereka berenam pun makan dengan lahap.

-Selepas sarapan-

"Oh ya, Pak, desain ruang makan ini sungguh unik. Bentuknya persegi, lantainya dari dua macam ubin yang dipasang saling silang, seperti motif sarung orang bali yang menggambarkan dewaya dan butaya." Shin mencoba mengawali pembicaraan ringan dengan Pak Alfred setelah sarapan.

"Tadi aku sempat mengamatinya, jumlah ubin ada 64 buah. Di salah satu sisi ruangan ini ada perapian, di dekatnya ada lukisan Pak Suharto dan King David. Aku penasaran, siapa arsitek villa ini?" Alis ikut nimbrung dalam obrolan Shin dan Pak Alfred.

"Ah, ya, villa ini memang mengagumkan. Kalau tidak salah, nama arsitek villa ini Asandi Anaz. Apa kalian pernah mendengarnya?"

"Asandi Anaz? Setahuku dia bukan arsitek biasa. Dia seorang pembuat teka-teki." Alis kembali menunjukan kehebatan daya ingatnya.

"Hmm, berarti bisa dibilang rumah ini menyimpan teka-teki di dalamnya." Shin menimpali.

"Mungkin saja. Kurasa ini ada hubungannya dengan surat wasiat yang Pak Ben tinggalkan," terka Alis.

"Kalau begitu, mungkin kita perlu melihat lebih jauh tentang villa ini." Shin mulai tampak bersemangat, ingin segera menjelajah dan memulai aksinya dalam memecahkan kode.

"Aku bisa mengantar kalian melihat-lihat villa ini. Dulu aku tinggal di sini, kurasa aku masih hafal ruangan-ruangannya." Edgar angkat bicara, menawarkan diri untuk bergabung dalam penyelidikan yang akan Shin lakukan bersama teman-temannya.

"Wah, kami merasa terbantu. Terimakasih, Edgar. Pak Alfred, kami permisi dulu." Shin memohon pamit pada Pak Alfred.

"Bagaimana kalau kita mulai dari ruang tamu?" ajak Edgar.

"Boleh, ayo!" Semangat yang terpancar dari wajah Shin tampak jelas. Saking semangatnya, ia berjalan mendahului Edgar dan Edgar pun mempercepat langkahnya, tak ingin ketinggalan. Sementara itu Alis, Kim, dan Ken mengikuti mereka dari belakang.

---

"Ruangan ini fantastik! Desain interiornya berbeda dengan ruangan lain, ada patung-patung juga lukisan. Terutama patung marmer James Brook dan Barrack Obama ini, begitu memikat." Shin mendekat dan mengamati patung kedua tokoh dunia tersebut. Siapa tahu ada petunjuk yang ia dapatkan.

"Ini tidak seperti ruang tamu," gumam Ken.

"Kau benar, Kak. Ruangan ini lebih mirip galeri yang diberi meja-kursi untuk menjamu tamu." Alis sependapat dengan kakaknya.

"Tampaknya Pak Ben penggemar tokoh-tokoh dunia." Kim ikut berpendapat.

"Ya, dia sangat menyukai banyak tokoh dunia, sampai-sampai dia mengoleksi lukisan dan patung mereka," terang Edgar. Memandang datar pada setiap patung dan lukisan yang ada di sana.

Disaat Shin larut mengamati patung James Brook, tanpa sengaja Kim menyenggol patung Barrack Obama di sebelah Shin hingga hampir jatuh. Dengan refleks Kim segera menahan patung itu agar kembali stabil.

"Hey, hati-hati, Kim!" ujar Shin masih dengan keterkejutannya.

"Maaf, tidak sengaja. Hehe ... ," Kim lega karena ia tidak jadi terlibat dalam masalah. Entah berapa biaya yang harus dibayarnya jika patung itu jatuh.

"Ini aneh, patung ini tampak begitu solid, tapi kena senggol sedikit saja sudah hampir jatuh. Sepertinya patung-patung ini tak seberat yang kita kira." Ken mengungkapkan keanehan yang dirasakannya.

"Coba kuangkat," ujar Shin sembari mengangkat patung James Brook di sebelahnya.
"Kau benar, Ken. Ini ringan," lanjutnya.

"Lalu, apa ada maksud tersembunyi dari lukisan-lukisan ini?" Alis menunjuk satu persatu lukisan yang terpajang di sana, dimulai dari lukisan Margaret Thatcher, John F. Kennedy, Napoleon Bonaparte, dan Julius Caesar. Mereka adalah tokoh dunia dari negara yang berbeda.

"Mungkin saja. Kurasa ini ada hubungannya dengan kode yang kita dapatkan dari surat wasiat itu. Kupikir kita perlu melihat-lihat lebih jauh." Shin memberi kode pada Edgar agar melanjutkan acara tour villa.

"Ah, baik. Kalau begitu ruangan selanjutnya langsung ke kamar ayah saja."

"Tunggu sebentar, kurasa antingku hilang." Alis memegang-megang telinga dan bahu, lalu menunduk dan mengamati sekitarnya, mungkin saja antingnya terjatuh tak jauh dari tempat ia berdiri saat itu.

"Apa kau yakin tadi memakainya? Mungkin tertinggal di kamar," terka Kim. Meski berkata begitu, pandangan matanya ikut menyapu lantai, mencari anting Alis.

"Tidak mungkin. Aku selalu memakainya, dan sejak kemarin aku sama sekali tak melepaskannya. Sepertinya jatuh di sekitar sini."

"Baiklah, kita coba cari sebentar," usul Shin pada rekan-rekannya.

"Semoga ketemu. Meski hanya dari logam biasa, tapi bagiku anting itu sangat berharga." Mata Alis mulai berkaca-kaca.

Shin dan Alis mencari di sudut-sudut ruangan. Ken mencoba memeriksa ruang makan. Kim dan Edgar memeriksa di sekitar patung. Namun hampir setengah jam berlalu, mereka masih belum dapat menemukan anting Alis.

"Kita sudah cukup lama di ruangan ini. Bagaimana kalau kita cari lagi antingnya nanti." Kim mencoba memberi saran.

"Bagaimana, Alis?" Shin meminta pendapat Alis dengan sungkan.

Ken menepuk pundak adik kesayangannya dan mengangguk.

"Baiklah, nanti kita bisa mencarinya lagi. Kuharap kita dapat menemukannya." Alis membalas anggukan dan tatapan kakaknya.

"Kalau begitu, mari saya antar ke ruangan ayah." Edgar berjalan melewati Kim yang sudah berdiri di mulut pintu.

... Tbc ...

D'Breakers "Misteri Villa Raja"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang